"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Pemberhentian Ahok Hamid Chalid Republika

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > Pemberhentian Ahok Hamid Chalid Republika

Pemberhentian Ahok

HAMID CHALID

Doktor Ilmu Hukum dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

Pada dasarnya, tulisan ini bukan soal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atau hantu blau lain yang sejenisnya. Ini soal kekhawatiran penggiringan NKRI dari negara hukum menjadi negara kekuasaan.

Biang keroknya tentu saja kontroversi pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kembali memanas setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberi isyarat kembali menunda pemberhentian sementara Ahok.

Mendagri mengatakan, pemberhentian sementara Ahok harus menunggu pembacaan tuntutan dari jaksa. Jika jaksa menuntut Ahok dengan tuntutan pidana penjara lima tahun barulah dapat diberhentikan sementara.

Apabila tuntutan jaksa kurang dari lima tahun, menurut Mendagri, Ahok tidak dapat dikenakan pemberhentian sementara (Tjahjo Kumolo, CNN Indonesia, 6 Februari 20×7).

Pernyataan Mendagri itulah yang saat ini menjadi perdebatan dan kritik luas dari masyarakat, khususnya ahli hukum. Pernyataan itu dianggap sebagai “akrobat” pemerintah yang berusaha menarik-ulur ketentuan pemberhentian sementara yang diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah agar sebisa mungkin menguntungkan Ahok.

Sebab, pernyataan Mendagri menyimpang-dari ketentuan UU Pemda. Tampak nyata, gang penguasa yang berada di balik dukungan pencalonan Ahok sebagai gubernur DKI, berusaha mengulur waktu mengingat Pilkada digelar hanya dalam beberapa hari ke depan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan ini sangatlah jelas, tidak multitafsir, dan tidak ada ketentuan perundang-undangan lain yang dapat dipertentangkan dengannya.

Menurut Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara dari jabatannya manakala yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam kasus pidana yang diancam dengan hukuman (paling kurang, minimal J lima tahun penjara.

Ayat (2)-nya menyatakan, pemberhentian sementara itu didasarkan pada bukti registerperkara di pengadilan. Sedangkan ayat berikutnya mengatur, pemberhentian sementara terhadap gubernur dan wakil gubernur dilakukan oleh presiden.

Kita tahu, Ahok telah berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penistaan Alquran yang didakwa dengan Pasal I56a KUHP yang ancaman pidananya lima tahun penjara.

Secara materiil, dugaan tindak pidana yang didakwakan kepada Ahok memenuhi kualifikasi tindak pidana yang berkonsekuensi pemberhentian sementara, ancaman pidananya memenuhi Pasal 83 UU Pemda, pidana lima tahun penjara.

Sesuai ketentuan Pasal 83 UU Pemda di atas, seharusnya Presiden memberhentikan sementara Ahok segera setelah menjadi terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan jaksa dan teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016.

Sikap pemerintan yang menunjukkan keengganan atau setidaknya sedang berupaya mengulur proses pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta ini, tidak hanya terjadi kah ini saja, melainkan sudah berkali-kali.

Mula-mula, ketika Ahok resmi menjadi terdakwa pada awal Desember 2016, seharusnya Presiden mengeluarkan keputusan pemberhentian sementara Ahok. Namun, pemerintah mangkir dari keharusan tersebut.

Dalihnya, pemberhentian sementara belum perlu, karena Ahok masih cuti kampanye. Namun, setelah masa cuti berakhir, 11 Februari 2017, Mendagri membuat pernyataan yang tampaknya ingin sekali lagi mengulur proses pemberhentian sementara Ahok.

Mendagri mencoba mengarang penafsiran ketentuan pemberhentian sementara dalam Pasal 83 UU Pemda dengan mengatakan pemberhentian sementara terhadap Ahok belum dapat dilakukan karena masih harus menunggu tuntutan jaksa.

Bagaimana bunyi ketentuan yang demikian jelas dapat ditafsirkan demikian? Setiap orang yang berakal sehat tidak memerlukan seorang ahli hukum pun untuk memahami bahwa yang sedang dimainkan ini bukanlah tafsir atas bunyi ketentuan undang-undang.

Namun, ini kayu kekuasaan yang sedang mengayun ke sana-kemari yang menunjukkan kepanikan. Sudah jelas yang menjadi ukuran menilai apakah suatu tindak pidana dilakukan kepala daerah itu cukup dilihat dari ancaman pidana bukan tuntutan pidana.

Lagipula ayat (2) dari Pasal 83 UU Pemda menegaskan, yang menjadi dasar pemberhentian sementara itu adalah adanya registrasi perkara pidana di pengadilan, bukan pembacaan tuntutan oleh jaksa.

Jadi, manakala perkaranya sudah dilimpahkan jaksa ke pengadilan dan telah teregistrasi di pengadilan, sejak saat itu presidenharus mengeluarkan keppres pemberhentian sementara atas kepala daerah tersebut.

Sebab, bukti registrasi perkara itulah yang akan ditulis dan menjadi dasar dikeluarkannya keppres. Pernyataan Mendagri merupakan tindakan subjektif dan spesifik hanya berlaku bagi Ahok.

Sebab, kenyataan menunjukkan, dalam kasus lain, Mendagri yang sama dan Presiden yang sama selalu tanpa ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara kepala daerah, sesuai UU Pemda.

Misalnya, Wakil Wah Kota Probolinggo, HM Suhadak, yang keputusan pemberhentian sementaranya ditandatangani pada 22 November 2016 oleh Mendagri, tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus terdakwa.

Contoh lainnya, keputusan pemberhentian sementara Bupati Subang yang ditandatangani Mendagri tanggal 3 Oktober 2016, juga tidak lama setelah berstatus terdakwa.

Baru dalam kasus Ahok ini saja, Presiden dan (melalui) Mendagri dengan sengaja mengesampingkan hukum dan mengedepankan kekuasaan. Meski berkilah seribu satu alasan, namun fakta keberpihakan pemerintah dalam menyikapi kasus pemberhentian sementara Ahok ini terlalu jelas.

Ini tentu merupakan pelanggaran konstitusional yang sangat serius bagi seorang kepala pemerintahan. Apabila hal itu terjadi, maka DPR harus mengambil tindakan. Salah satu instrumen yang dapat ditempuh DPR adalah menggunakan hak angket sesuai Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.

Jangan hancurkan Republik ini!

Sebagai penutup, penulis ingin kembali menekankan, NKRI adalah negara hukum. Mohon kiranya pihak-pihak yang sedang merasa punya kendali atas negeri ini, menahan diri dan bisa melihat bahaya besar yang sedang mengancam Republik ini.

Bahaya itu datang bukan dari demonstrasi di jalanan yang menuntut penegakan hukum atas Ahok, tetapi justru dari sikap penguasa yang menganggap sepele pentingnya penegakan hukum.

Dan akhirnya, tuntutan keadilan dari rakyat diabaikan. Kalau penguasa melihat ini atau berusaha membangun opini bahwa ini adalah teriakan kelompok garis keras yang mendengungkan sikap antikebinekaan. maka pemerintah meminjam kacamata dan pena yang salah dari tangan orang yang salah.

Alangkah baiknya jika pemerintah tidak menutup pendengaran dan penglihatan mata dan hatinya, dan mau kembali membaca sejarah. Lihatlah bagaimana kekuasaan yang paling adidaya sekalipun, tumbang oleh kepongahan dan ketidakpeduliannya pada jeritan keadilan dari rakyatnya sendiri.

Opini ini dimuat di Republika Senin, 13 Februari 2017

 

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI