Sejak disetujui menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu, UU Cipta Kerja terus menuai kontroversial terutama dari sisi proses pembentukannya. Sebab, draf UU Cipta Kerja telah beberapa kali mengalami perubahan baik dari sisi jumlah halaman maupun diduga substansinya yang kemudian terungkap ke publik. Setelah dibacakan dalam sidang paripurna, beredar naskah UU Cipta kerja versi 905 halaman.
Dianggap belum final, setelah itu beredar naskah UU Cipta Kerja sebanyak 1.035 halaman yang dikatakan Sekjen DPR Indra Iskandar sebagai draf final RUU Cipta Kerja. Kuasa Hukum Para Pemohon uji formil UU Cipta Kerja Viktor Santoso Tandiasa mengaku menemukan beberapa perubahan substansi diantaranya perbandingan Pasal 5 dan Pasal 6 dalam naskah UU Cipta Kerja versi 905 dan 1.035 halaman.
Pada 14 Oktober 2020, DPR menyerahkan naskah UU Cipta Kerja ke pemerintah melalui Sekretariat Negara (Setneg), berubah lagi menjadi 812 halaman. Naskah berubah lagi menjadi 1.187 halaman setelah MUI dan Muhammadiyah menerima draf tersebut dari Setneg, Rabu (21/10/2020). Pada Kamis (22/10/2020), ada temuan hilangnya Pasal 46 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dalam naskah UU Cipta Kerja versi 1.187 halaman yang sudah dipegang pemerintah. Padahal, dalam draf UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal itu masih ada dan terdiri dari 4 ayat.
Terakhir, setelah ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan dalam lembaran negara pada 2 November 2020, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih saja ditemukan kekeliruan. Kekeliruannya berupa salah merujuk pasal dalam Pasal 6 dan Pasal 175 UU Cipta Kerja yang dinilai mempengaruhi substansi. Sejak persetujuan bersama, sejumlah pihak telah mengajukan uji formil dan materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta pembatalan UU Cipta Kerja dan sejumlah pasal yang diuji materi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Jimly Assiddiqie mengatakan sepanjang materi muatan, naskah UU Cipta Kerja setelah persetujuan bersama dalam sidang paripurna seharusnya sudah final. Setelah itu, mutlak tidak boleh lagi ada perubahan substansi (materi muatan) karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.
“Seharusnya ketika sudah disahkan di DPR semuanya sudah final. Praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau spelling saja,” kata Jimly.
Apalagi, bila ada kesalahan dalam UU Cipta Kerja setelah ditandatangani Presiden, yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Namun demikian, UU Cipta Kerja setelah ditandatangani Presiden sah dan berlaku mengikat sesuai asas Preasumption Iustae Causae bahwa UU ini sudah berlaku mengikat untuk umum dan harus diterima, terlepas suka atau tidak suka. Hingga pejabat berwenang menetapkan proses pembentukan UU Cipta Kerja dan/atau materi muatan tertentu yang terdapat didalamnya tidak berlaku mengikat untuk umum.
Selanjutnya, kata Jimly, biarlah persoalan ini diselesaikan karena sudah menjadi perkara di MK. Nanti buktikan saja kalau UU Cipta Kerja ini cacat formil dan materil. Dalam buku-bukunya, ia selalu membedakan antara pengesahan di DPR bersifat materil dan pengesahan di Presiden bersifat administratif atau formil.
“Jika saya masih menjadi hakim MK, saya memeriksa terlebih dahulu uji formil UU Cipta Kerja ini, nanti 1.000 persen saya kabulkan, bukan 100 persen lagi, tapi 1.000 persen,” kata Ketua MK pertama periode 2003-2008 ini saat dihubungi Hukumonline, Kamis (5/11/2020).
Namun, kepada pemerintah dan DPR diingatkan dalam pertimbangan putusan bahwa mereka bisa kembali memproses UU Cipta Kerja untuk diperbaiki kembali (legislative review). “Ini menjadi solusi, jadi sidang DPR lagi, ini hanya persoalan waktu dan ditunda saja. Nantinya, partisipasi publik diperbaiki, dibuka kembali perdebatan pembahasannya. “Ini sekarang kan sok tahu, sok-sok sudah pada baca, padahal anggota DPR-nya saja ada yang tidak membaca juga, ini bagaimana?”
Menurut Jimly, pembahasan satu UU setebal 100 halaman saja setengah mati pembahasannya dalam sidang. “UU Cipta Kerja ini kan banya sekali UU (76 UU, red) didalamnya, tapi dikerjakan selama 100 hari, mana ada yang baca? Dijamin 1.000 persen anggota DPR nggak baca, menteri-menteri nggak ada yang baca juga. Karena yang baca itu tim perumus. Jangan sampai lagi nanti mahasiswa ribut-ribut, dimarah-marahin karena dianggap belum baca. Padahal yang bilang itu belum tentu baca juga karena terlalu tebal UU Cipta Kerja itu,” lanjutnya.
“Tidak ada UU yang dibuat manusia di seluruh dunia itu sempurna, pasti ada kekurangannya. Sekarang kita bangun tradisi hormat pada hukum, jadi berlakulah prinsip preasumption iustae causae termasuk jika putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja tidak mengikat untuk umum, maka harus dilaksanakan terlepas puas atau tidak puas.”
Untuk itu, Jimly menyarankan hakim MK harus berpikir progresif saat menguji UU Cipta Kerja ini. Sebab, Indonesia saat ini sedang tumbuh berkembang dan belum stabil. Dia mengingatkan MK dan MA sebagai cabang kekuatan ketiga, menjadi pengontrol eksekutif dan legislatif. Karena itu, seorang hakim dituntut jangan berpikir biasa-biasa saja.
“Hakim harus berpikir progresif, ada semangat aktivisme (judicial activism, red) dalam kondisi yang belum normal dan belum stabil di tengah pandemi begini. Kecuali, keadaannya normal, maka hakim dapat bersikap lebih arif dan membatasi diri,” kata dia.
Dia pun meminta agar hakim MK harus aktif dalam menangani uji UU Cipta Kerja ini. Misalnya, saat ini ada pihak yang mengajukan permohonan uji formil dan materil sekaligus. Menurutnya, pengujian formil dan materil harus diperiksa dan dinilai terpisah. Keduanya, tidak saling mempengaruhi dan berproses masing-masing.
“Ini kan dua hal yang berbeda, kalau uji materil banyak sekali pasalnya, selesainya bisa berbulan-bulan. Sebaiknya diperiksa dulu uji formilnya, setelah itu uji materilnya.”