"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Urgensi Pemindahan Ibukota Negara Oleh: Dr. Mutiara Hikmah, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Urgensi Pemindahan Ibukota Negara Oleh: Dr. Mutiara Hikmah, S.H., M.H.

Jakarta tidak harus ditinggalkan. Saat ini DKI Jakarta justru kian layak sebagai  ibukota negara. Jakarta sekarang tampil sebagai kota yang indah, bersih, nyaman dan teratur. Jakarta merupakan provinsi terpadat penduduknya, dibandingkan  dengan luas wilayahnya di negara Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan ibukota negara-negara lain, Jakarta adalah ibukota dengan tingkat kepadatan duduk tertinggi.

Namun hal yang menarik juga, Jakarta merupakan wilayah yang setiap hari dikunjungi oleh warga masyarakat yang tinggal disekitarnya secara rutin. Data terakhir dari Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta, menggambarkan bahwa terdapat 600.000 kendaraan (1,2 juta orang) dari Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi masuk Jakarta setiap hari. Bahkan ada wacana dari Wilayah Bekasi, Depok dan Tangerang Selatan akan bergabung ke Jakarta dengan berbagai pertimbangan dari masing-masing pemimpin wilayah tersebut.

Serangkaian perubahan baik secara struktural maupun kultural telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, demi pengembangan sektor transportasi massa yang lebih baik. Pentingnya perubahan struktural didasari dengan digulirkannya isu global yaitu Good Urban Governance oleh PBB melalui program pembangunannya untuk mengagendakan  program dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Jika mencatat prestasi yang telah diukir oleh Gubernur Anies Baswedan, di tahun 2018 sampai 2019 ini, sudah 21 penghargaan diraih oleh DKI Jakarta baik untuk tingkat nasional maupun internasional. TribunNews per Jumat 30 Agustus 2019 mencatat penghargaan-penghargaan tersebut antara lain: dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, Laporan Keuangan Tahun 2017 mendapat nilai WTP/Wajar Tanpa Pengecualian. Belum lagi 3 penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi, dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, empat penghargaan dari Bidang Ketenagakerjaan salah satunya adalah Penghargaan INTEGRA/Indeks Prestasi Pembangunan Ketenagakerjaan.

Dalam hal keterbukaan informasi Publik DKI pun memperoleh penghargaan. Selanjutnya versi BPS RI memperoleh gelar  Indeks Demokrasi Terbaik. Dalam bidang sosial dan budaya, dari Kementerian Sosial RI memperoleh penghargaan kota dengan Komitmen Tinggi Terhadap Pelaksanaan Pembangunan Sosial bagi anak jalanan. Dari penghargaan ini, Jakarta termasuk dalam 10 besar kota layak anak. Dari BAPENAS RI, mendapat Investment Award 2018, terbaik ketiga se-Indonesia. DKI Jakarta juga mendapat penghargaan Terbaik se Jawa Bali sebagai Tim Pengendali Inflasi Daerah/TPID.

Di tingkat internasional, penghargaan yang diperoleh DKI adalah di bidang kesehatan, dari Universal Health Care 2018, Propinsi dengan Cakupan Jaminan Kesehatan 95%. Untuk bidang transportasi, DKI Jakarta memperoleh Sustainable Transport Award 2019 di Forteleza, Brazil. Sehingga DKI masuk tiga besar dunia untuk perbaikan sistem transportasi dan mobilitas kota.     

Ibukota Negara versus Permasalahan Bangsa

Sementara itu, pada Senin 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri PUPR Basuki Hadi Mulyono dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro melakukan konferensi pers di Istana Negara  Jakarta, yang mengumumkan tentang rencana pemindahan ibukota negara. Saat ini DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Indonesia (berdasarkan Undang-Undang No.29 Tahun 2007 jo. UU no 34 Tahun 1999), rencana ibukota akan dipindahkan ke Propinsi Kutai Kertanegara dan Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur.

Atas pernyataan yang diumumkan oleh Presiden Jokowi tersebut, telah  menimbulkan pro dan kontra, mengingat kondisi negara saat ini sangat kurang kondusif dari segi situasi keamanan, pertahanan, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini antara lain terkait dengan adanya penyerangan Asrama Mahasiswa di Jawa Timur baru-baru ini, kejadian pembakaran bendera Merah Putih di depan kantor DPRD Papua, pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara Jakarta, sampai isu referendum dari OPM/Organisasi Papua Merdeka. Belum lagi isu-isu lain yang tengah meramaikan dan mengancam terjadinya perpecahan umat Islam di negeri ini, radikal, anti pancasila, intoleran sampai isu terorisme. Namun isu-isu tersebut seakan tertutup dengan isu pemindahan ibukota negara.

Indonesia dengan ciri negara demokrasi, di mana pemerintahan berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sepertinya tidak terlihat dalam pembahasan pemindahan ibukota ini. Presiden dengan beberapa menteri terkait mengumumkan secara resmi di Istana Negara, sedangkan sehari sesudahnya baru Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan Rapat Paripurna ke-4, Masa Persidangan pertama pada 2019-2020.

Agenda dari Sidang Paripurna DPR tersebut adalah membahas Pemindahan Ibukota berdasarkan Surat Presiden kepada DPR No. R34/PRES/08/2019, tertanggal 23 Agustus 2019. Yang menjadi ironinya adalah ketika Sidang Paripurna DPR yang seharusnya dihadiri oleh 560 anggota DPR, hanya sejumlah 60 orang di dalam ruang sidang dan sebanyak 282 yang telah mengisi daftar hadir tetapi secara fisik tidak ada penampakan.

Berdasarkan Surat Keputusan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Anggota DPR RI, maka jumlah peserta yang hanya 60 orang merupakan jumlah yang sangat jauh dari kuorum. Tidaklah heran akhirnya, walau telah dibahas di dalam Rapat Paripurna DPR RI, namun masih meninggalkan perbedaan pendapat dan pandangan dari elemen-elemen yang ada dalam masyarakat.

Mari coba mengenal lebih dekat wilayah yang akan dijadikan ibukota baru, yaitu Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Ada apakah dengan wilayah tersebut? Apakah memiliki nilai lebih seperti layaknya Kota Jakarta? Alangkah baiknya kita mengenal lebih dekat kabupaten tersebut secara geografis, kependudukan, serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat setempat.

Kutai Kertanagera dan Penajam Paser Utara

Melihat aspek geografis dan kependudukan, Kalimantan Timur menurut data BPS RI per 2018 memiliki jumlah desa sebanyak 156, dengan kepadatan penduduk 105 jiwa/km persegi (data per 2 Maret 2017). Jumlah penduduk pada 2010 berkisar 3.553.143 (per 9 Juli 2012). Laju pertumbuhan penduduk per 21 November 2017, berada pada angka 2,58 % dengan Dependency Ratio tahun 2010-2030 sebesar 44,5 % ditahun 2020. Data per 2013, untuk perkebunan terdapat sejumlah 116 perusahaan di Kalimantan Timur dengan jumlah tenaga kerja sejumlah 39.414 orang.

Secara social budaya, penduduk di Kutai Kartanegara terbagi atas penduduk asli (yang terdiri dari delapan suku, yaitu Suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung, Dayak Bahau, Dayak Modang, Dayak Kenyah, Dayak Punan dan Dayak Kayan) sedangkan penduduk pendatang terdiri dari tujuh suku (Suku Banjar, Jawa, Bugis, Mandar, Madura, Buton dan Timor).  

Dari sudut topografi, wilayah Kutai Kartanegara sebagian besar bergelombang dan berbukit dengan kelerengan landai sampai curam. Daerah dengan kemiringan datar sampai landai terdapat di beberapa bagian, yaitu wilayah pantai dan daerah aliran sungai Mahakam. Pada wilayah pedalaman dan perbatasan pada umumnya merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian antara 500 hingga 2.000 m di atas permukaan laut.

Kabupaten kedua yang menjadi calon ibukota juga adalah Penajam Paser Utara/PPU. Kabupaten PPU merupakan yang termuda ke dua di Kalimantan Timur. Akhirnya setelah melalui perjuangan panjang yang dilakukan oleh masyarakat yang bercita–cita untuk dapat hidup lebih sejahtera dapat tercapai. Ini ditandai dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara secara yuridis formal berdasarkan UU No. 7 tahun 2002 yang berisi tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara. Dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 7 tahun 2002 ini, maka empat kecamatan, yakni Kecamatan Penajam, Waru, Babulu dan Sepaku telah resmi menjadi satu dalam wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara yang merupakan Kabupaten ke-13 di Provinsi Kalimantan Timur.

Secara geografis kedua kabupaten calon ibukota negara terlihat di tengah-tengah khatulistiwa. Dengan jumlah hutannya yang masih sangat luas, sehingga Kaltim dikenal sebagai paru-paru dunia. Studi kelayakan diperlukan untuk menjadikan kedua kabupaten tersebut sebagai ibukota, mengingat kedua kabupaten di Kaltim tersebut merupakan wilayah yang masih kental dengan masyarakat adatnya. Apakah urgent bagi Presiden Jokowi melakukan pemindahan ibukota negara?

Menurut penulis tidak urgent. Ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam hal ini, antara lain pertama, alasan pemerataan pembangunan dan ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Presiden  Jokowi pada Pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 di Istana Negara. Ini bukanlah alasan tepat untuk melakukan pemindahan ibukota hanya untuk pemerataan pembangunan dan ekonomi.

Pemerataan pembangunan dan ekonomi yang berkeadilan tidaklah bisa diukur dari peran ibukotanya, namun pada kebijakan pemerintah yang pro rakyat kecil untuk mensejahterakan ekonomi rakyatnya dari Sabang sampai Merauke. Hal penting adalah peningkatan jumlah sarana dan prasarana untuk rakyat agar menumbuhkan dan menghidupkan giat ekonomi masyarakat dengan penghasilan rendah, bahkan masyarakat miskin. Pemberian kredit permodalan dengan basis syariah tanpa bunga, jauh lebih efektif untuk masyarakat pedesaan dan UKM.

Alasan kedua, secara sosial budaya, apakah penduduk setempat sudah terinformasi dengan terbuka dan tercerahkan pada akan adanya perubahan secara menyeluruh pada bidang kehidupan mereka. Apakah hal ini sudah dipelajari dengan seksama, mengingat Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki 15 suku asli dan pendatang, demikian pula dengan Kabupaten PPU. Perlu waktu dan proses yang tidak singkat untuk meyakinkan penduduk asli terhadap kebaruan dan transformasi berbagai bidang kehidupan. 

Alasan ketiga, dari aspek sarana prasarana dan keuangan negara. Saat ini tiga lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), kementerian, kedutaan besar, lembaga-lembaga negara non kementerian, lembaga pertahanan dan keamanan, semua berpusat di ibukota DKI Jakarta. Bisa diperhitungkan dan diprediksikan berapa dana diperlukan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana serupa di ibukota baru. Apalagi pada beberapa kali jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa tahun 2019 defisit APBN mencapai triliunan rupiah. Belum lagi jumlah hutang Indonesia dengan lembaga keuangan asing dan negara lain sudah mencapai tingkat kronis. Melakukan pemindahan ibukota pada saat ini adalah bukan keputusan yang bijak dari segi ekonomi dan keuangan negara. 

Keempat, dari aspek ketatanegaraan. Sejak dinyatakan sebagai ibukota negara pada tahun 1961, ada beberapa pembaruan peraturan sehubungan dengan status DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Seperti Undang-Undang No.11 Tahun 1990 yang ditandatangani Presiden Soeharto, Undang-undang No. 34 Tahun 1999 yang ditandatangani oleh Presiden BJ. Habibie, sampai yang terakhir saat ini Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, telah dituangkan oleh SBY di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007.

Jadi apabila Presiden Jokowi ingin memindahkan ibukota negara dari DKI Jakarta ke wilayah lain seperti Kalimantan Timur, hal tersebut sah-sah saja asalkan undang-undang yang menjadi payung hukumnya sudah mengatur dengan jelas dan perencanaannya pun sudah baku dengan didukung oleh studi kelayakan yang memadai. Hal itu diatur di dalam Pasal 18 A dan Pasal 20 UUD 1945.

Kelima, alasan seni, budaya, pariwisata dan pendidikan. Sejumlah museum, gedung-gedung bersejarah dan tempat rekreasi, bahkan institusi pendidikan. Jakarta adalah surga bagi semua warga masyarakat Indonesia. Universitas tertua dan salah satu perguruan tinggi dengan menyandang nama bangsa dan negara adalah Universitas Indonesia. Harus ada ide dan kreatifitas baru apabila ibukota pindah ke Kalimantan Timur, karena lirik lagu Genderang UI akan menjadi tidak relevan (Universitas Indonesia…, Univesitas Kami…, Ibukota Negara…, Pusat ilmu Budaya Bangsa..).

Dari lima alasan yang penulis kemukakan, ada baiknya menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah untuk melakukan pemindahan ibukota negara. Masih begitu banyak PR yang lebih urgent untuk Pemerintah, antara lain, meredam konflik antar suku, antar agama dan permasalahan sosial yang saat ini menimpa Bangsa Indonesia. Yang paling urgent adalah mensejahterakan rakyatnya melalui peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, ketimbang memindahkan ibukota negara.

 

*)Mutiara Hikmah adalah Dosen Fakultas Hukum UI untuk kelompok Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional, Hukum dan HAM dan Mata Kuliah Economic and Business Law di FEB UI. Ketua Bidang Studi Hukum Internasional Fakultas Hukum UI. Anggota Senat Akademik UI periode 2014-2019 dan Bakal Calon Rektor  UI periode 2019-2024.

Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Sumber: https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5d6f7de9860cc/urgensi-pemindahan-ibukota-negara-oleh–mutiara-hikmah?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI