Dalam komposisi Kabinet Kerja tidak ada menteri bersuku Batak. Lantas timbul pernyataan, apakah ini adalah sejarah baru?
Sebenarnya tidak juga. Orang Batak selalu menjadi menteri sejak Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) hingga Kabinet Indonesia Bersatu II (2009 –2014).
Namun tidak ada menteri bersuku Batak dalam Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949), Kabinet Hatta II (4 Agustus – 14 Desember 1949), Kabinet Republik Indonesia Serikat (20 Desember 1949 – 6 September 1950), Kabinet Susanto (20 Desember 1949 – 21 Januari 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950 – 20 Maret 1951), Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952), dan Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953).
Fakta di atas tidak menghentikan timbulnya sejumlah pertanyaan seperti: Apakah Presiden Jokowi tidak memperhitungkan jasa dan dukungan orang Batak selama masa kampanye? Bukankah orang Batak banyak berjasa membesarkan PDIP? Bukankah kualitas orang Batak mumpuni?
Lantas di jejaring sosial beredar tulisan yang mempertanyakan secara lebih tajam kondisi ‘ganjil’ ini. Meski tulisan itu menyatakan tidak bersifat primodial, namun rasanya sulit menepis motivasi tersebut jika ujung-ujungnya mempertanyakan mengapa tidak ada menteri bersuku Batak.
Semua pertanyaan pasca pengumuman Kabinet Kerja sebenarnya merancukan antara kesukuan dan kualitas. Misalnya, apakah ‘ABS’ (Asal Batak Sukunya) berkualitas dan berkinerja bagus?
Jawabannya mudah, kita lihat saja kinerja menteri-menteri ABS di kabinet terakhir. Apakah mereka yang mempertanyakan pilihan Jokowi puas dan bangga dengan kualitas dan kinerja Sudi Silalahi dan Tifatul Sembiring?
Dugaan saya, yang melekat di ingatan orang-orang Batak adalah nama-nama legendaris yang pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan seperti: Amir Sjarifuddin (Harahap), Tahi Bonar Simatupang, Abdul Harris Nasution, dan Adam Malik (Batubara).
Kualitas, kapasitas dan pencapaian mereka selamanya akan mendatangkan kebanggaan bangsa Indonesia. Amir Sjarifuddin berjasa besar menyebarkan ide nasionalisme dan kemerdekaan kepada generasi muda Indonesia saat penjajahan Belanda dan menggalang gerakan bawah tanah di masa pendudukan Jepang.
Selama Republik ini berdiri, tidak akan pernah ada lagi orang Indonesia menjadi Kepala Staf Angkatan Perang di usia 29 tahun (ya 29, ini bukan salah-ketik) seperti Jenderal Mayor T.B. Simatupang. Ia berjasa memodernisasi TNI, dan berusaha keras menjunjung tinggi supremasi sipil atas militer.
Jenderal Besar A.H. Nasution bukan hanya “Bapak Angkatan Darat”, tapi juga ahli perang. Ia menulis buku tentang perang gerilya, yang kemudian dijadikan pegangan oleh tentara Vietnam dalam berperang melawan Amerika Serikat.
Adam Malik bukan hanya salah seorang pendiri Kantor Berita Antara, tapi juga seorang diplomat ulung. Ialah putra Indonesia pertama yang memimpin Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Memilih pembantu adalah hak prerogatif Presiden. Karena pengisian kabinet sepenuhnya adalah penilaian subyektif Jokowi, maka sebenarnya tidak bisa kita ganggu-gugat. Kecuali, sekali lagi kecuali, jika Jokowi melewati orang-orang Batak dengan kaliber setara dengan nama-nama legendaris di atas, barulah kita layak persoalkan.
Kalau semata persoalan menjadi menteri, rasanya keminoritasan suku Batak tidak sebanding dengan jumlah menterinya. Bahkan kalau bicara jabatan publik, fakta berikut menunjukkan hanya posisi Kepala Negara, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Mahkamah Konstitusi yang belum pernah dijabat suku Batak. Lainnya sudah.
1. Ketua MPR(S): A.H. Nasution, Adam Malik
2. Wakil Presiden: Adam Malik
3. Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri): Amir Sjarifuddin, Burhanuddin Harahap
4. Wakil Perdana Menteri (untuk Urusan Sosial dan Politik): Adam Malik
5. WakilMenteri Pertama/Koordinator Pertahanan/Keamanan: A.H. Nasution
6. Ketua DPR: Adam Malik, Akbar Tanjung
7. Ketua BPK: Anwar Nasution
8. Ketua Dewan Pertimbangan Agung: Maraden Panggabean
9. Kepala Staf Angkatan Perang: Jenderal Mayor T.B. Simatupang
10. Panglima ABRI: Jenderal Maraden Panggabean, Jenderal Feisal Tanjung
11. Kepala Staf Angkatan Darat: Kolonel/Jenderal A.H.Nasution, Kolonel Zulkifli Lubis, Jenderal M. Panggabean
12. Menteri Keamanan Rakyat: Amir Sjarifuddin
13. Menteri Pertahanan: Amir Sjarifuddin, Burhanuddin Harahap
14. Menteri Keamanan dan Pertahanan: A.H. Nasution
15. Menteri Keamanan Nasional: A.H. Nasution
16. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI: M. Panggabean, Feisal Tanjung
17. Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan: Feisal Tanjung
18. MenteriKoordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin: Adam Malik
19. Menteri Koordinator/Kepala Staf ABRI: Jenderal A.H.Nasution
20. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan: M.Panggabean
21. Menteri Luar Negeri: Adam Malik
22. Menteri Perdagangan: Arifin Harahap, Arifin Siregar
23. Menteri Muda Perdagangan: Arifin Harahap
24. Menteri Perindustrian dan Perdagangan: Luhut B. Panjaitan
25. Menteri Pengajaran: Todung Sutan Gunung Mulia (Harahap)
26. Menteri Penerangan: Amir Sjarifuddin, F. L. Tobing
27. Menteri Pekerjaan Umum: Mananti Sitompul
28. Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan: Mananti Sitompul
29. Menteri Kesehatan: F. L. Tobing (sebagai ad interim), H. Sinaga
30. Menteri Negara (Urusan Hubungan Antar Daerah): F. L. Tobing
31. Menteri Negara (Urusan Transmigrasi): F. L. Tobing
32. Menteri Urusan Anggaran Negara: Arifin Harahap
33. Menteri Negara: Arifin Harahap
34. Menteri Diperbantukan pada Menteri Koordinator Kompatimen Perindustiran Rakyat untuk“Berdikari”: T. D. Pardede
35. Menko Diperbantukan pada Presiden Urusan Hubungan Ekonomi Luar Negeri: Adam Malik
36. Menteri Sosial: A. M. Tambunan
37. Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib): Jenderal M. Panggabean
38. Menteri Negara Perumahan Rakyat: Cosmas Batubara, Akbar Tanjung
39. Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman: Cosmas Batubara, Akbar Tanjung
40. Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat: Cosmas Batubara
41. Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras: Hasjrul Harahap
42. Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan: J. H. Hutasoit
43. Menteri Kehutanan: Hasjrul Harahap
44. Menteri Kehutanan dan Perkebunan: Muslimin Nasution
45. Menteri Tenaga Kerja: Cosmas Batubara
46. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Bomer Pasaribu
47. Menteri Pemuda dan Olah Raga: Akbar Tanjung, Mahadi Sinambela
48. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara: T. B. Silalahi
49. Menteri Negara Sekretaris Negara: Akbar Tanjung
50. Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal: Panangian Siregar
51. Menteri Hukum dan Perundang-undangan: Marsillam Simanjuntak
52. Menteri Pertanian: Bungaran Saragih
53. Jaksa Agung: Marsillam Simanjuntak
54. Gubernur Bank Indonesia: Arifin Siregar, Darmin Nasution
55. Kepala Badan Intelijen Negara: Zulkifli Lubis, Syamsir Siregar
Ketiadaan suku Batak di Kabinet Kerja tak usahlah menjadi suatu persoalan. Apalagi keluhan tersebut terjadi di seputaran peringatan Sumpah Pemuda. Bukankah setelah hampir tujuh dekade merdeka, seharusnya kepentingan bangsa berada di atas sentimen kesukuan?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada saudara sebangsa dan se-Tanah Air dari suku lain, bukankah sesungguhnya suku Batak sudah menunjukkan kualitas, kapasitas dan pencapaian yang jauh dari porsinya sebagai suku minoritas?
Jabatan menteri adalah jabatan politik. Namun arena berkiprah toh tidak semata di bidang politik. Fakta dan sejarah telah menunjukkan. arena berkiprah suku Batak sangatlah beragam. Kualitas, kapasitas, dan pencapaian mereka pun mendatangkan decak kagum.
Kakak-beradik Sanusi dan Armijn Pane akan tetap harum sebagai pujangga kita. Figur wartawan ideal akan selalu identik dengan nama Mochtar Lubis. Komposer Indonesia akan selalu dibandingkan dengan nama Cornel Simanjutak (pencipta lagu “Maju Tak Gentar) ataupun Alfred Simanjuntak (pencipta lagu “Bangun Pemudi-Pemuda”).
Arsitek kita selamanya akan dibandingkan dengan nama Frederich Silaban (seorang Kristen yang menjadi arsitek Masjid Istiqlal). Sineas Wahyu Sihombing telah mencuri hati bangsa Indonesia dengan serial “Losmen”-nya. Kakak-beradik Bornok dan Berlian Hutauruk serta Diana Nasution telah menetapkan standar untuk seorang biduan layak menyandang gelar “diva”.
Untuk pembaca bersuku Batak, tiadanya orang Batak menjadi menteri bukanlah hal penting.
Untuk pembaca bersuku lain, keluhan tentang ketiadaan menteri Batak janganlah terlalu Anda persoalkan. Orang Batak itu terlalu jujur dalam mengungkapkan suara hatinya. Tapi setelah ia keluarkan, ia bisa menerima kenyataan.
Dari Selasar.com Jumat, 31 Oktober 2014