Hal-hal berikut saya sajikan untuk kemudahan Anda membaca. Pembahasan di sini sepenuhnya saya uraikan dari sisi ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
1. Apakah UU Pilkada sudah sah berlaku? Belum. Meskipun pada 26 September 2014 pemungutan suara di DPR telah menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, masih tersisa satu tahapan lagi, yakni pengesahan.
2. Apakah yang dimaksud dengan “pengesahan”? Hal ini adalah pembubuhan tanda tangan oleh Presiden Republik Indonesia. Pengesahan hanya dapat dilakukan di ibukota: Jakarta.
Prosesnya adalah sebagai berikut: dalam waktu paling lambat 7 hari (3 Oktober 2014) setelah Presiden dan DPR menyetujui RUU Pilkada, Pimpinan DPR mengirimkan RUU tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paling lambat 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut, Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) dapat membubuhkan tanda tangannya.
3. Bisakah Presiden Republik Indonesia menolak mengesahkan UU Pilkada? Bisa, dan penolakan ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.
4. Jika Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) menolak, apakah UU Pilkada batal berlaku? Tidak. Setelah Presiden SBY dan DPR bersama-sama menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, pengesahan hanyalah suatu perbuatan seremonial belaka. Berdasarkan Pasal 20(5) UUD1945 (Perubahan Kedua), 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut UU Pilkada resmi berlaku.
5. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara bahwa Presiden memegang 50% kekuasaan legislatif? Benar. Meskipun menurut Pasal 20(1) UUD 1945 (Perubahan Pertama) DPR memegang kekuasaan membentuk UU, namun DPR tidak bisa secara mandiri membuat, membahas,dan menyetujui suatu RUU menjadi UU. DPR harus bekerja sama dengan Presiden dalam membahas dan menyetujui RUU (Pilkada) menjadi UU (Pilkada).
6. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara lain bahwa “persetujuan bersama [Presiden dan DPR] itu dilakukan dalam sidang paripurna DPR?” Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku terkait pembuatan UU. RUU Pilkada telah menjalani dua tingkat pembicaraan.
Tingkat I adalah dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Di tingkat ini Presiden mengutus Menteri Dalam Negeri untuk berdiskusi dengan DPR.
Pembicaraan Tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna. Di tahap ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan pendapat akhirnya. (Meski UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan tidak menjelaskan lebih lanjut kapan persisnya Presiden harus menyetujui suatu RUU, adalah suatu skandal ketatanegaraan jika pada tanggal 26 September 2014 kemarin DPR melakukan pemungutan suara atas RUU yang belum Presiden setujui!)
Berdasarkan tingkatan tersebut, jika Presiden tidak setuju dengan RUU, maka secara hukum tidak ada “persetujuan bersama” dengan DPR. Sulit untuk kita terima secara akal sehat bahwa tidak ada satu orang pun dari 560 anggota DPR yang tidak menyuarakan hal ini, yakni: “tidak adanya persetujuan dari Presiden (lewat Menteri Dalam Negeri)”.
Oleh karena itu pernyataan ini tidak memiliki kebenaran secara hukum, dan harus kita tolak. Pendapat ini sangat berbahaya, sebab secara tersirat telah dengan serius menuduh bahwa DPR melakukan fait accompliterhadap Presiden.
Pendapat ini juga sangat berbahaya, karena secara tersirat telah dengan serius menuduh ketidakbecusan kerja Presiden, dan jajarannya (baca: Menteri Dalam Negeri), sehingga dapat mengerucut pada pelanggaran sumpah jabatan.
Namun fakta hukum yang ada menunjukkan, pendapat di atas adalah jauh panggang dari api.
7. Apakah tantangan kepada SBY untuk menerbitkan Dekrit Presiden membatalkan UU Pilkada suatu langkah yang benar? Sama sekali tidak. Dekrit Presiden pertama-tama adalah produk politik, sekaligus produk hukum yang ekstra-parlementer. Kekuatan hukum Dekrit Presiden hanya dapat dibenarkan bila ada suasana kegentingan yang mendesak. Hal mana tidak terjadi dalam konteks UU Pilkada.
Selain itu, UU Pilkada adalah hasil persetujuan bersama Presiden SBY dan DPR. Desakan mengeluarkan dekrit hanya akan menyudutkan SBY untuk mengkhinanati DPR. Mengingat DPR yang menyetujui UU Pilkada akan bubar per 1 Oktober 2014, dan Presiden SBY juga akan selesai masa jabatannya per 20 Oktober 2014, Dekrit Presiden hanya akan meninggalkan masalah lebih runyam bagi Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019.
8. SBY baru saja menyatakan posisi dilematisnya pasca pemungutan suara di DPR: “Di satu sisi, saya harus sesuai konstitusi, di sisi lain harus memperhatikan kehendak rakyat.” Apakah penyataan ini secara hukum benar? Sama sekali tidak.
Dekrit Pilkada langsung adalah yang sesuai dengan UUD 1945. Sebagian dari rakyat menghendaki pilkada tetap langsung, sebagian lagi tidak langsung. Mereka yang menghendaki pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan dasar hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pendukung pilkada langsung bisa.
9. Jika posisi SBY benar dilematis, apakah yang seharusnya ia lakukan? Seharusnya ia sejak dulu memerintahkan Menteri Dalam Negeri menghentikan pembahasan RUU Pilkada dengan DPR, dan membiarkan Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019 mengambil-alih.
10. Seberapa mendesakkah pembahasan RUU Pilkada? Sama sekali tidak mendesak! Tidak ada alasan rasional, baik secara hukum, ekonomi, maupun logika, mengapa kita harus punya UU Pilkada baru dalam waktu kurang dari 30 hari berakhirnya masa jabatan Presiden SBY.
11. Adakah cara Presiden SBY menolak UU Pilkada? Tidak, sekarang sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. UU Pilkada tetap akan berlaku meski SBY, sebagai Presiden, menolaknya.
12. Bertanggungjawabkah SBY atas UU Pilkada? Ya, SBY bertanggung jawab penuh, baik secara hukum maupun secara politik. SBY tidak bisa mengelak.
13. Bila SBY bertanggung jawab atas UU Pilkada, apakah itu artinya SBY telah berbuat salah? Secara hukum “bertanggung jawab” tidak sama dengan “benar atau salah”. Terlepas dari benar atau salah, presiden sebagai kepala negara bertanggung jawab atas semua yang terjadi di Indonesia selama masa jabatannya.
Ihwal “benar atau salah” harus terbukti dalam sidang di pengadilan. Karena persetujuan SBY atas UU Pilkada tidak termasuk ke dalam “pelanggaran hukum berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela” (Pasal 7A UUD 1945 (Perubahan Ketiga)), maka Anda pribadi yang bisa sepenuhnya berhak menilai apakah SBY telah berbuat salah atau benar.
14. Apakah reaksi pendukung pilkada langsung rasional? Ya, karena pilkada langsung adalah yang sesuai dengan kedaulatan rakyat menurut UUD 1945.
15. Apakah pendukung pilkada tidak langsung tidak rasional? Sejauh alasan mereka yang kemukakan seperti efisiensi biaya pilkada, mencegah korupsi, dan lainnya, maka rasionalitasnya terukur secara ilmiah, yakni: ilmu ekonomi keuangan, ilmu makro-ekonomi, dll.
Namun pendukung pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan argumentasi hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, sejauh ini, secara hukum dukungan mereka tidak rasional.
16. Bukankah banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa Pilkada lewat DPRD jauh lebih efisien dan minim biaya? Tidak ada seorang pun ahli hukum yang kompeten untuk berpendapat tentang efisiensi biaya terkait pilkada! Hanya seorang ahli ekonomi (keuangan dan makro ekonomi) yang berhak dan kompeten untuk mengeluarkan pendapat terkait biaya pilkada.
17. Adakah cara untuk membatalkan UU Pilkada? Ada, dengan mengajukan judicial review.
18. Apakah yang dimaksud dengan judicial review atau “pengujian UU terhadap UUD 1945”? Pengujian adalah proses yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa apakah UU (Pilkada) sesuai atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ada dua hal yang dapat diuji: pertama, proses pembentukan UU Pilkada (formil); kedua, bunyi pasal atau ayat (materil).
19. Apakah UU Pilkada tetap berlaku ketika pengujian berlangsung? Ya, UU Pilkada tersebut tetap berlaku.
20. Apakah yang akan terjadi bila Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945? Baik pengujian formil maupun materil akan menghasilkan akibat hukum yang sama: UU Pilkada “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Artinya: pasal, ayat, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut bukanlah hukum di Indonesia. Dengan kata lain, semua pihak harus mengabaikan bunyi ayat, pasal, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut.
Kemudian DPR dan Presiden harus menyesuaikan bunyi pasal atau ayat UU Pilkada yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945 agar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
21. Apakah yang Mahkamah Konstitusi gunakan dalam menguji? Mahkamah Konstitusi hanya boleh membaca, memeriksa, dan menafsirkan UUD 1945 dan pengaturannya secara lebih lanjut dalam UU Pilkada. UU lain maupun keputusan pengadilan sebelumnya tidak boleh digunakan.
22. Siapa yang berhak mengajukan permohonan pengujian UU Pilkada terhadap UUD 1945? Siapa saja yang merasa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dikurangi, atau dipasung dengan berlakunya UU Pilkada.
23. Apakah (anggota) DPR dan Pemerintah bisa ikut menjadi pemohon? Tidak bisa, karena (anggota) DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) adalah lembaga negara yang menyetujui UU Pilkada. Namun anggota DPR sebagai pribadi, bisa (ikut) menjadi pemohon.
24. Bisakah SBY, setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, dan Partai Demokrasi menjadi pemohon? Tidak. Meski SBY terus-menerus menyatakan mendukung Pilkada langsung, namun secara hukum, tindakannya, sebagai Presiden maupun Ketua Umum Partai Demokrat, adalah mendukung UU Pilkada.
Meskipun Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi ke luar ruang sidang (walk out), namun secara kelembagaan ia adalah bagian dari DPR, yang berdasarkan hasil pemungutan suara menyetujui UU Pilkada.
25. Bisakah DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) menjadi pihak dalam kasus pengujian UU Pilkada? Bisa, yakni sebagai pihak yang didengar keterangannya oleh Mahkamah Konstitusi.
26. Bila Joko Widodo sudah resmi jadi Presiden, bisakah beliau melakukan sesuatu? Bisa. Bila Presiden Jokowi konsisten menolak UU Pilkada (baca: pemilihan kepala daerah oleh DPRD), maka beliau tinggal memerintahkan satu hal kepada wakil pemerintah ke persidangan: “Presiden berpendapat UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu mengubah pendapat atas UU Pilkada.”
27. Apakah dampak dari perubahan posisi tersebut? Dampaknya luas secara hukum. Pertama, sebelum menjabat sebagai Presiden, Jokowi mengucapkan sumpah: “Demi Allah … memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya.”
Secara hukum sumpah adalah komitmen untuk mengemban tugas dengan benar dan lurus. Kedua, Presiden adalah lembaga negara. Pernyataan Presiden secara hukum wajib dicamkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan perubahan posisi tersebut, maka 1 dari 2 alat bukti yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan sudah terkumpul.
28. Alat bukti lain apakah yang Mahkamah Konstitusi butuhkan untuk mengabulkan permohonan? Cukup salah satu dari:
(a) surat atau tulisan, misalnya risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada tanggal 6 Februari 2014 yang menunjukkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah (baca: Presiden) sama-sama menyetujui pilkada langsung.
(b) Keterangan saksi, misalnya keterangan anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Pilkada.
(c) Keterangan ahli, misalnya ahli hukum tentang pelanggaran terhadap UUD 1945 oleh UU Pilkada; atau ahli ekonomi tentang dampak ekonomi dari pilkada langsung dibandingkan dengan pilkada oleh DPRD.
(d) Keterangan para pihak, yakni pemohon, (anggota) DPR, Pemerintah, dan pihak pendukung maupun penolak UU Pilkada.
(e) Petunjuk, yakni segala sesuatu yang Hakim Konstitusi dapat tangkap sebagai bermanfaat dalam memeriksa permohonan.
(f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu. Misalnya, pernyataan SBY yang konsisten menyatakan mendukung pilkada langsung, atau tweet yang Anda buat untuk menyatakan dukungan terhadap pilkada langsung maupun kekecewaan/kemarahan terhadap UU Pilkada.
29. Kira-kira, apakah bunyi keputusan Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini secara etika tidak bisa saya jawab. Namun secara hukum, Mahkamah Konstitusi memutuskan berdasarkan dua alat bukti.
Persoalannya jadi mengerucut pada: bagaimana merumuskan permohonan yang secara hukum tidak terbantahkan bahwa UU Pilkada melanggar UUD 1945 dengan didukung dua alat bukti.
30. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keputusan? Tidak ada batasan hari untuk Mahkamah Konstitusi menjatuhkan keputusan.
31. Apakah yang bisa Anda lakukan? Banyak! Bila sebagai warga negara Anda merasa UU Pilkada adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional, Anda bisa bergabung menjadi pemohon pengujian UU Pilkada.
Pertama, Anda bisa mencari segala dokumen pendukung: seperti risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada, hasil positif dari kepala daerah yang dipilih langsung, perilaku negatif anggota DPRD di seantero Nusantara, perilaku koruptif anggota DPRD di seantero Nusantara, dampak positif secara sosiologis, antropologis, sosial, psikologis, hingga ekonomis dari pilkada langsung yang bisa menjadi alat bukti, surat atau tulisan.
Kedua, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk memberikan keterangan saksi di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Selanjutnya, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk membantu para ahli dalam memberikan keterangan di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Anda pun bisa berperan aktif memastikan Hakim Konstitusi tidak mungkin luput untuk memperhatikan hal-hal relevan, baik yang bersifat hukum maupun non-hukum, yang dapat menjadi alat bukti.
Anda bisa juga mengumpulkan tweet, blog, dll, baik buatan Anda pribadi maupun orang lain, dan menyusunnya menjadi alat bukti.
Terakhir, Anda bisa juga mencurahkan waktu dan perhatian terhadap jalannya pengujian UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Dari Selasar.com Jumat, 31 Oktober 2014