Siti Aisyah: Pelaku atau Korban?
Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia/
Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)
NAMA Siti Aisyah adalah nama yang amat populer di Indonesia. Banyak orang tua yang menamakan anaknya Aisyah, atau Aishah ataupun Aisha. Ya, karena nama tersebut berasal dari nama istri Nabi Muhammad SAW yang dikenal sangat pintar, cantik, dan juga salehah.
Sayangnya Siti Aisyah yang satu ini berbeda. Ia dicokok Kepolisian Diraja Malaysia pada 13 Februari 2017 kemudian ditahan sampai kini dengan sangkaan yang lumayan seram: sebagai tersangka kasus pembunuhan Kim Jong Nam, kakak satu ayah dari Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korea Utara saat ini.
Ini bukan drama. Ini kejahatan betulan yang terorganisasi. Walau terkesan seperti drama, paling tidak itu yang dirasakan oleh Siti Aisyah.
Wanita asal Serang berusia 25 tahun ini, menurut berita media Malaysia dan pengakuannya kepada perwakilan Indonesia di Malaysia, menyemprotkan cairan ke wajah Kim Jong Nam (pada saat yang sama seorang wanita Vietnam Doan Thi Huang, memegang Kim dari belakang) karena berpikir itu adalah bagian dari reality show (prank) dari sebuah televisi Jepang. Aisyah pun dibayar 400 ringgit Malaysia untuk itu.
Keterangan Aisyah bisa jadi benar, bisa jadi salah. Kita belum bisa memastikan karena proses penyidikan masih berlangsung. Empat terduga pelaku asal Korea Utara juga masih buron. Padahal, tanpa keterangan mereka pembuktian kasus ini kian rumit.
Persidangan pun baru berlangsung sekali, pada 1 Maret 2017, dan sidang berikutnya masih 13 April 2017. Maka, asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) berlaku pada Aisyah. Dia tak dapat dikatakan sebagai bersalah dan patut menerima hukuman, kecuali setelah putusan pengadilan memutuskannya demikian.
Satu persoalan yang kini tersisa adalah, sejauh apa peran Aisyah dalam kasus ini. Bisakah ia sekaligus disebut sebagai korban dalam kasus ini? Tidak semata-mata sebagai tersangka pelaku yang diyakini betul oleh kepolisian Malaysia karena terlihat pada CCTV? Berhakkah ia mendapatkan keringanan atau bahkan penghapusan pidana?
Tipologi Korban
Ilmu viktimologi, alias ilmu yang concern terhadap korban, viktimisasi, dan reaksi masyarakat terhadap viktimisasi, memiliki perspektif sendiri dalam memandang kejahatan maupun korban kejahatan.
Dalam perspektif viktimologi, korban kejahatan memiliki tipologi sendiri, apakah tingkat kerentanannya (victims culpability), tingkat hubungan dengan pelaku kejahatan yang berkontribusi pada terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya (victims precipitation) dan tingkat kealpaan korban (victims culpability) dalam hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi.
Beniamin Mendelsohn (1956) menyebutkan bahwa ada enam kategori korban. Pertama adalah korban yang benar-benar tidak bersalah (innocent), kedua adalah korban dengan kadar kontribusi kesalahan yang minimal (victims with minor guilt), ketiga adalah korban yang memiliki kadar kebersalahan yang sama dengan sang pelaku.
Keempat adalah korban yang lebih bersalah dari pelaku (victims are more guilty than the offender); kelima adalah korban adalah satu-satunya pihak yang bersalah (dalam kasus pelaku yang kemudian malah terbunuh sendiri) dan terakhir adalah korban imajiner (imaginary victim), alias korban yang mengaku dirinya sebagai korban, padahal ia tidak menderita apa pun.
Relasi antara korban dan pelaku kejahatan dipelajari melalui dua kajian, yaitu tingkat kerentanan korban (victims vulnerability) dan tingkat kealpaan korban (victims culpability). Kealpaan korban merujuk pada situasi di mana korban secara sadar atau tidak telah turut berkontribusi terhadap viktimisasi ataupun kejahatan yang terjadi pada dirinya (Von Hentig, 1948).
Hans Von Hentig (1948) meyakini bahwa kontribusi korban terhadap kejahatan sedikit banyak berasal dari karakteristik ataupun posisi sosial yang dimiliki oleh korban yang merupakan kondisi yang sudah ‘given’, alias dia tidak punya kekuasaan untuk mengontrolnya. Posisi sosial tersebut melahirkan kerentanan (vulnerability) di mana individu tersebut potensial menjadi korban kejahatan.
Selain anak-anak, ada tiga belas kelompok menurut Von Hentig yang rentan menjadi korban kejahatan, antara lain: (1) remaja; (2) perempuan; (3) orang tua/ lansia; (4) orang dengan keterbelakangan mental: (5) imigran; (6) minoritas (7) orang yang berpikiran pendek; (8) orang yang depresi; (9) orang yang serakah; (10) orang yang senang menyendiri dan tertutup; (11) orang yang zalim dan senang menyiksa; (12) orang yang asusila/ ceroboh; dan (13) orang yang dikucilkan.
Pelaku atau Korban?
Kembali pada Siti Aisyah, apakah dia korban atau pelaku? Fakta menyebutkan bahwa jaksa negara bagian Selangor, Malaysia, mendakwa Siti Aisyah dan Doan Thi Huang (WN Vietnam) sebagai telah melakukan pembunuhan (murder/homicide) sebagaimana termaktub pada Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia (Criminal Code). Ancaman pidana maksimalnya adalah pidana mati (capital punishment).
Dari hasil investigasi polisi terbukti bahwa Siti Aisyah menyemprotkan cairan yang diidentifikasi sebagai racun penyerang saraf (VX) yang amat mematikan dan telah dikatagorikan sebagai weapon of mass destruction (senjata pemusnah massal) yang masuk daftar larangan PBB.
Aisyah sendiri, menurut keterangannya kepada perwakilan RI di Malaysia, tak mengetahui bahwa cairan itu adalah cairan beracun. Dia menganggapnya sebagai minyak bayi (baby oil) dan meyakini bahwa tindakannya adalah bagian dari reality show (prank) untuk sebuah acara TV di Jepang/Korea, di mana ia dibayar 400 ringgit Malaysia untuk melakukannya.
Terlepas apakah Aisyah jujur atau tidak, dalam perspektif viktimologi, pada posisi sosial seperti ini di samping sebagai tersangka pelaku, Aisyah juga berhak untuk disebut sebagai ‘korban’.
Aisyah memiliki beberapa posisi sosial di mana dia rentan sebagai korban : (1) dia perempuan; (2) ekonomi pas-pasan; (3) menjadi migran di negara orang; (4) lugu dan berpendidikan rendah (tamatan SD saja); (5) berstatus janda dan memiliki pacar pria berkewarganegaraan asing; di mana kesemuanya membuatnya tidak memiliki posisi tawar yang tinggi.
Dia terlalu lugu dan berpikiran pendek, sehingga mudah untuk dipengaruhi oleh pihak lain, apakah mafia kejahatan terorganisir, apakah intelijen negara asing.
Kemudian, yang membuat Aisyah layak untuk disebut sebagai korban juga adalah keluguannya untuk melakukan semprotan tersebut kepada Kim Jong Nam di tempat terbuka, di bandara internasional yang tentunya diperlengkapi CCTV di mana-mana, dan di siang hari di mana aktivitas Bandara KLIA2 tengah ramai-ramainya.
Karena, seorang pembunuh profesional tak akan melakukannya, kecuali sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang disengaja.
Maka, Aisyah adalah terduga pelaku sekaligus korban. Korban dari kejahatan terorganisasi yang memanfaatkan posisi sosialnya dan kerentanannya.
Kita berharap, semoga saja realita ini membuka mata majelis hakim untuk memberikan keringanan kepada Siti Aisyah atau bahkan menghapuskan hukuman pidananya kepadanya dengan mengenakan dasar pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.
Opini ini dimuat di Sindo Selasa, 8 Maret 2017