Jika penghancuran lingkungan hidup melalui instrumen hukum kita ibaratkan sebagai hidangan, maka UU Cipta Kerja adalah hidangan utama dan RKUHP adalah hidangan penutupnya yang sempurna.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memuat ketentuan mengenai tindak pidana lingkungan hidup, yaitu Pasal 344 dan 345. Pasal 344 Ayat (1) menyatakan ”[s]etiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang melebihi baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dipidana.…”
Sementara, Pasal 345 Ayat (1) memuat ketentuan yang hampir sama, dengan tiga perbedaan. Pertama, Pasal 344 ditujukan untuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Pasal 345 untuk perbuatan yang dilakukan karena kealpaan. Kedua, Pasal 344 mensyaratkan perbuatan dilakukan dengan cara yang melawan hukum, sedangkan Pasal 345 tak memuat syarat ini. Ketiga, Pasal 344 memuat ancaman sanksi pidana yang lebih berat daripada Pasal 345.
Selain karena memberikan ancaman sanksi yang lebih ringan dibandingkan ketentuan sejenis dalam UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 (UU No 32/2009), kedua pasal di RKUHP itu juga merupakan sebuah regresi, kemunduran, yang berpotensi menjadikan penegakan hukum pidana bagi pencemaran lingkungan hampir mustahil dilakukan.
Sebelum terlambat, kedua pasal tersebut lebih baik dikeluarkan dari RKUHP. Penjelasan berikut menggambarkan mengapa ketentuan pidana lingkungan dalam RKUHP adalah sebuah kemunduran.
Syarat ”secara melawan hukum”
Syarat ”secara melawan hukum” bagi tindak pidana yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup muncul pertama kali di Indonesia di dalam Pasal 41 UU Lingkungan Hidup Tahun 1997 (UU No 23/1997).
Kemudian, ketika terjadi perubahan, syarat ini dihapuskan dalam Pasal 98 UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 (UU No 32/2009). Dengan demikian, munculnya kembali syarat ”secara melawan hukum” di RKUHP berarti perancang bermaksud menghidupkan kembali apa yang sudah ”dimatikan” oleh UU No 32/2009.
Lebih jauh lagi, kembali hidupnya syarat ”secara melawan hukum” memiliki dua persoalan mendasar. Pertama, syarat ini berangkat dari asumsi yang tak tepat, di mana seolah dimungkinkan adanya pencemaran/perusakan lingkungan yang tak melawan hukum. Padahal, menurut UU No 32/2009, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan.
Kedua, dengan menghidupkan kembali syarat ”secara melawan hukum”, RKUHP melupakan sejarah. Ketika UU No 32/2009 disusun, terdapat beberapa kasus pencemaran besar yang tak dapat dikenai pemidanaan.
Salah satu hambatan hukum terbesar bagi pemidanaan itu adalah karena UU No 23/1997 mensyaratkan adanya unsur ”secara melawan hukum”. Dengan adanya unsur ini, kegiatan yang memiliki izin menjadi tak dapat dipidana meski telah menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan.
Hapusnya syarat ”secara melawan hukum” di UU No 32/2009 sedikit banyak dipengaruhi tulisan Michael Faure dalam buku Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience (2006). Dalam tulisan ini, jenis tindak pidana lingkungan dibagi ke dalam beberapa kategori, antara lain abstract endangerment, concrete endangerment, dan serious environmental pollution.
Sebelum terlambat, kedua pasal tersebut lebih baik dikeluarkan dari RKUHP.
Penciptaan bahaya secara abstrak dan konkret adalah tindak pidana yang penekanannya pada pelanggaran syarat administratif, yang kemudian menimbulkan risiko bahaya bagi lingkungan. Tindakan yang dihukum adalah pelanggaran administratif, sementara pencemarannya sendiri mungkin belum terjadi. Adapun tindakan yang menyebabkan pencemaran serius berfokus pada pencemaran yang telah terjadi, tanpa memperhatikan ada-tidaknya pelanggaran syarat administratif (independent crimes).
Tindakan yang dihukum di sini adalah pencemarannya, bukan pelanggaran administratifnya. Tulisan Prof Faure lebih jauh mengkritik ketentuan pidana di UU No 23/1997 karena gagal merumuskan ketentuan bagi independent crimes yang menyebabkan pencemaran serius. Salah satu yang disoroti adalah adanya unsur ”secara melawan hukum” dalam ketentuan pidana bagi pencemaran dalam undang-undang itu.
Perumus UU No 32/2009 menangkap permasalahan di dalam UU No 23/1997 tersebut. Kemudian lahirlah Pasal 98, di mana syarat ”secara melawan hukum” tidak lagi menjadi unsur tindak pidana.
Penghapusan ini mengindikasikan bahwa izin, misalnya untuk kegiatan membuka lahan atau membuang limbah, tidak dapat dijadikan alasan untuk terbebas dari pertanggungjawaban pidana, ketika dari kegiatan tersebut timbul pencemaran/kerusakan lingkungan.
Terjadinya pencemaran sudah cukup untuk membuat seseorang dipidana tanpa perlu adanya syarat bahwa pencemaran itu dilakukan dengan cara yang melawan hukum. Ketentuan semacam ini dapat pula dilihat dalam berbagai ketentuan pidana di negara lain, misalnya Section 330a KUHP Jerman dan Pasal 115 UU Perlindungan Lingkungan New South Wales, Australia.
Selain itu, ketentuan UU No 32/2009 juga sejalan dengan Resolusi dari International Congress of Penal Law ke-15, tahun 1994 di Rio de Janeiro, Brasil.
Kembalinya syarat ”secara melawan hukum” dalam Pasal 344 RKUHP memunculkan kembali penghambat pemidanaan yang ada dalam UU No 23/1997. Akibatnya, sangat mungkin sebagian besar kasus kebakaran lahan dan pencemaran air tidak akan lagi dapat dituntut dengan pasal kesengajaan, karena sebagian besar pelaku dalam kedua kasus ini, terutama korporasi, adalah pihak yang memiliki izin. Mereka hanya bisa dituntut dengan pasal kelalaian, dengan ancaman sanksi yang jauh lebih ringan.
Terjadinya pencemaran sudah cukup untuk membuat seseorang dipidana tanpa perlu adanya syarat bahwa pencemaran itu dilakukan dengan cara yang melawan hukum.
Dua standar syarat tindak pidana
Pasal 344 dan 345 RKUHP mensyaratkan bahwa tindakan yang bisa dipidana adalah tindakan yang ”melebihi baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Menurut UU No 32/2009, baku mutu dibagi ke dalam dua kelompok besar, baku mutu lingkungan (Pasal 20) dan kriteria baku kerusakan (Pasal 21). Baku mutu lingkungan digunakan untuk mengukur ada-tidaknya pencemaran, sedangkan kriteria baku kerusakan dipakai untuk menentukan kerusakan lingkungan. Keduanya mengukur kondisi yang berbeda. Karena itu, penggunaan kata dan di kedua pasal berarti pelampauan standar itu haruslah kumulatif.
Mensyaratkan adanya pelampauan terhadap dua jenis standar ini tidak hanya keliru secara teori, tetapi juga akan berimplikasi serius pada penegakan hukum lingkungan secara pidana. Akan sangat sedikit, mungkin mustahil, ditemukan kasus yang dapat dikenai Pasal 344 atau 345 RKUHP karena perbuatan yang dapat dipidana selain harus mengakibatkan pencemaran, pada saat yang sama juga harus mengakibatkan kerusakan lingkungan!
Mungkin saja pemerintah dan DPR menganggap kata dan dalam Pasal 344 dan 345 RKUHP terjadi karena kesalahan tik (typo). Namun, ketentuan ini tak dapat diubah hanya dengan mengganti kata dan dalam kedua pasal menjadi dan/atau. Solusi ini justru sama berbahayanya dan hanya menunjukkan ketidakpahaman akan pengaturan baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan di Indonesia.
Regresi dalam hukum lingkungan
Salah satu prinsip hukum lingkungan yang belakangan berkembang adalah prinsip nonregresi, sebuah prinsip yang meminta negara untuk memastikan bahwa hukum dan kebijakan lingkungan tidak mengalami kemunduran.
Pada 2012, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 66/288 tentang ”The Future We Want”. Paragraf 20 dokumen ini menyatakan, saat ini kita tak dapat melangkah mundur (backtrack) dari komitmen yang dihasilkan oleh Pertemuan Rio 1992. Salah satu komitmen penting dari pertemuan ini adalah mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, apa yang diputuskan pada pertemuan World Conservation Congress di Korea tahun 2012 menjadi penting untuk diperhatikan. Dalam pertemuan tersebut, IUCN mengadopsi Resolusi 128 yang mendesak negara untuk mengakui prinsip nonregresi dalam kebijakan dan hukum mereka, sebagai prinsip penting untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Sayangnya, hukum lingkungan di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja.
Sayangnya, hukum lingkungan di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja. UU Cipta Kerja membuat berbagai kemunduran dalam hukum lingkungan, mulai dari mengurangi secara signifikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan lingkungan, membuat tidak jelas perizinan terkait pembuangan limbah dengan segala implikasinya bagi penegakan hukum, hingga dekriminalisasi.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah No 22/2021 sebagai pelaksana UU Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup bahkan memuat ketentuan yang mematikan pertanggungjawaban mutlak, sebuah pertanggungjawaban perdata yang selama ini justru telah banyak berhasil digunakan oleh pemerintah dalam berbagai kasus lingkungan.
Singkatnya, yang terjadi di Indonesia sekarang adalah regresi. Sebuah kemunduran yang justru menjauhkan kita dari komitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan karena itu bertolak belakang dengan apa yang diminta MU PBB di atas.
Andri G Wibisana, Guru Besar Hukum Lingkungan dan Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice, FHUI
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/13/rkuhp-dan-regresi-hukum-lingkungan-indonesia