Depok. Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H. baru saja dikukuhkan oleh Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D di Balai Sidang UI, pada Rabu, 21 Desember 2022. Pengukuhan ini dihadiri langsung Dekan FHUI, Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., Wakil Dekan I, Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D., serta Wakil Dekan II, Dr. Parulian Aritonang, S.H., LL.M MPP., CCMS.
Prof. Tri Hayati dalam pidato pengukuhannya membahas “Konsesi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara: Perizinan Sektor Pertambangan di Indonesia”
Selama 77 tahun kemerdekaan Indonesia, kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia dilaksanakan dengan berbagai nomenklatur, kecuali konsesi. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, konsesi didefinisikan sebagai Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pada dasarnya pengusahaan pertambangan di Indonesia dapat menggunakan konsesi.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Tri Hayati menyatakan bahwa “fobia” akan konsesi muncul akibat politik hukum pertambangan Hindia Belanda, yakni melalui Indische Mijnwet 1899 (IMW 1899) yang bersifat diskriminatif, dimana hanya orang Belanda yang dapat melakukan pengusahaan pertambangan dengan menggunakan konsesi, meskipun ketentuan ini diubah pada tahun 1910 dengan penambahan Pasal 5A yang membuka peluang bagi pengusaha pribumi untuk melaksanakan penambangan dengan sistim kontrak. Ketentuan ini memunculkan anggapan bahwa pengusahaan pertambangan dapat dilakukan dengan jalan konsesi dan kontrak keperdataan.
Setelah kemerdekaan, pengusahaan pertambangan di Indonesia diatur melalui UU No. 11 Tahun 1967 tentang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan dilaksanakan dengan menggunakan Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK), dan pada tahun 1981 digunakan pola kontrak untuk pengusahaan batubara dengan menggunakan Kontrak Kerjasama Pertambangan Batubara (KKS Batubara) yang kemudian diganti dengan sebutan Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Keberlakuan UU No. 11 Tahun 1967 tersebut berakhir setelah 42 tahun dan digantikan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020). Peraturan ini menganut sistim izin dalam pengusahaan pertambangan, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dengan demikian, terdapat perubahan nomenklatur KP dan menghapus KK dan PKP2B.
Penerbitan izin pertambangan dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindakan hukum administrasi negara yang bersegi satu, yakni tindakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah secara sepihak sesuai kewenangan yang dimilikinya. Sementara itu, kontrak pertambangan yang sebelumnya berlaku merupakan tindakan hukum publik bersegi dua, dimana terdapat persesuaian kehendak antara dua pihak berupa perjanjian, yang kemudian diatur dalam hukum istimewa, yaitu peraturan hukum publik yang didasarkan pada syarat-syarat dan pedoman-pedoman tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pertambangan yang dibentuk oleh pejabat publik. Hal inilah yang seringkali disalahartikan, dimana kontrak pertambangan dianggap masuk ke dalam ranah hukum perdata. Lalu, bagaimana dengan konsesi?
Mengutip Prof. Prajudi Atmosudirjo, ten Berge dan van Wijk, Prof. Tri Hayati mengatakan bahwa konsesi merupakan penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi-dispensasi, izin-izin dan lisensi-lisensi, dan disertai dengan pemberian wewenang Pemerintah yang terbatas pada konsesionaris. Konsesi diberikan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik, yang bersifat openbaar belang, dan menyangkut dengan “pengurangan” kedaulatan atau wewenang pemerintah, salah satunya pengusahaan sumber daya alam. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai bentuk konsesi dari ketiga sarjana ini, dimana Prof. Prajudi menyatakan bahwa konsesi masuk dalam rezim perizinan yang bersifat spesifik karena tidak cukup dengan izin publik biasa (vergunning). Sementara itu, ten Berge dan van Wijk menyatakan bahwa konsesi terdiri atas persetujuan (izin publik) dan pembatasan hak dan kewajiban pemegang konsesi yang kadang dituangkan dalam bentuk kontrak (publik). Oleh karena itu, muncul pendapat bahwa konsesi adalah izin konsesi atau kontrak konsesi, sehingga menimbulkan ketidakjelasan terminologi.
Kembali pada masa Hindia Belanda, pengusahaan pertambangan berdasarkan IMW 1899 menggunakan konsesi dan kontrak (kontrak 5A) yang harus disetujui oleh Voolksraad dalam bentuk undang-undang. Hal yang sama dapat ditemukan dalam KP, KK maupun PKP2B, dimana dalam pemberiannya terdapat petunjuk-petunjuk khusus dan pembatasan hak dan kewajiban, serta membutuhkan konsultasi dengan DPR dan pengesahan Pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa izin yang diberikan bukalah izin publik pada umumnya, dan kontrak di sini bukanlah kontrak perdata biasa karena pengusahaannya membutuhkan persetujuan rakyat melalui wakilnya. Hal ini dilakukan sehubungan dengan adanya kepemilikan publik atas sumber daya alam pertambangan yang kemudian melahirkan hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sistim yang digunakan pada dasarnya adalah konsesi.
Walaupun menggunakan nomenklatur izin, UU No. 4 Tahun 2009 dan UU No. 3 Tahun 2020 juga menganut konsesi, dimana dalam pelaksanaan pengusahaan pertambangan harus tetap dalam pengawasan Pemerintah dalam rangka memastikan bahwa hak dan kewajiban perusahaan yang tercantum dalam IUP, IUPK maupun IPR (sebelumnya dilampirkan dalam kontrak) telah dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, jelas bahwa izin pertambangan yang dianut oleh UU No. 4 Tahun 2009 dan UU No. 3 Tahun 2020 pada dasarnya merupakan konsesi, dan bukan izin publik biasa (vergunning), dan nomenklatur ini dapat digunakan dalam politik hukum pertambangan di Indonesia.