"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Ambiguitas Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Oleh Wahyu Andrianto

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Ambiguitas Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Oleh Wahyu Andrianto
  1. Setiap orang dan/atau korporasi yang dirugikan dapat mengajukan ganti rugi kepada MKDKI atas tindakan dokter dan/atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran (Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran);
  2. Dokter dan/atau Dokter Gigi dapat dimintakan ganti kerugian secara sekaligus atau bersamaan melalui MKDKI dan pengadilan (Pasal 66 ayat (1) dan 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran);
  3. Terkait dengan kewenangan untuk memproses ganti rugi atas tindakan dokter dan/atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran, MKDKI mempunyai kewenangan yang sama dengan pengadilan (Pasal 66 ayat (1) dan 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran).

Benarkah demikian? Seharusnya tidak. UU Praktik Kedokteran secara tegas menyatakan bahwa, “MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi,” (Pasal 1 ayat (14) UU Praktik Kedokteran). Artinya, kewenangan MKDKI adalah mengenai penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. MKDKI fokus terhadap penerapan keilmuan dari dokter dan dokter gigi. Ketentuan ini kontradiktif dengan (Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran) yang mengandung makna bahwa MKDKI berwenang untuk memproses ganti rugi.

Disiplin keilmuan dengan ganti rugi adalah dua hal yang sangat berbeda. Disiplin keilmuan fokusnya adalah mengenai ketaatan dokter dan dokter gigi terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam melaksanakan praktik kedokteran. Sedangkan ganti rugi, berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata, unsur-unsurnya meliputi ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost); kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages); bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Purwahid Patrik mempertegas bahwa ganti rugi meliputi dua unsur, yaitu kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi; keutungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.

Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, peraturan telah memperjelas ruang lingkup dari pelanggaran disiplin. Pasal 3 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi dengan tegas dan jelas bentuk-bentuk pelanggaran disiplin, meliputi: melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten; tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter Gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai; mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut; menyediakan Dokter atau Dokter Gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut; menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien; tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien; melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien; tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran; melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya; tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja; melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau keluarganya; menjalankan Praktik Kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara Praktik Kedokteran yang layak; melakukan penelitian dalam Praktik Kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah; tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; membuka rahasia kedokteran; membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut; turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati; meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku; melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan Praktik Kedokteran; menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya; menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk, meminta pemeriksaan, atau memberikan resep obat/alat kesehatan; mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan pelayanan yang dimiliki baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau menyesatkan; adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan zat adiktif lainnya; berpraktik dengan menggunakan surat tanda registrasi, surat izin praktik, dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; tidak jujur dalam menentukan jasa medis; tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI/MKDKI-P untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

Berdasarkan pengaturan mengenai bentuk pelanggaran disiplin tersebut, tidak ada unsur-unsur ganti rugi. Hal ini karena ranah disiplin hanya fokus terhadap penerapan keilmuan dari dokter dan dokter gigi. Gugatan ganti rugi merupakan kewenangan pengadilan dengan menggunakan dasar Perbuatan Melawan Hukum (untuk kerugian materiil dan immateriil) atau Wanprestasi (untuk kerugian materiil). Oleh karena itu, ganti rugi seharusnya bukan kewenangan dari MKDKI, tetapi merupakan kewenangan dari pengadilan. Hal ini mempertegas ambiguitas dari Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.

Pelanggaran disiplin merupakan pelanggaran terhadap penerapan keilmuan dari dokter dan dokter gigi. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang jelas dan tegas antara pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum. Pelanggaran disiplin, belum tentu merupakan pelanggaran hukum. Sebagai contoh, salah satu bentuk pelanggaran disiplin adalah dokter yang menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten.

Misalnya, ada seorang dokter pria, di pagi hari menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi fisik dan mental yang kurang prima karena semalam tidak tidur akibat bertengkar dengan istrinya. Artinya, dokter ini sudah masuk dalam kategori menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental yang tidak memadai. Dalam kondisi seperti ini, telah terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter tersebut. Namun, apakah hal ini merupakan pelanggaran hukum? Belum tentu. Apabila dokter tersebut telah melaksanakan inspanningsverbintennis (upaya terbaik dalam praktik kedokteran) dan tidak menimbulkan kerugian bagi pasien maka kondisi dokter tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum, tetapi merupakan pelanggaran disiplin. Hal ini semakin mempertegas ambiguitas dari Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.

Dalam rangka mengimplementasikan kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi dokter, mewujudkan praktik kedokteran yang profesional dan menjaga marwah MKDKI, seharusnya pengaturan mengenai kewenangan MKDKI dalam UU Praktik Kedokteran dapat disikapi secara bijaksana. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan melalui aturan hukum yang jelas dan jernih.

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/ambiguitas-kewenangan-majelis-kehormatan-disiplin-kedokteran-indonesia-lt63a0338a80aee/?page=2

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI