Hari Minggu tanggal 26 Juni 2022, media massa memberitakan seorang Ibu yang bernama S dan memiliki anak semata wayang yang bernama P, terlihat di tengah-tengah aktivitas Car Free Day di Jakarta sambil membawa tulisan, “Tolong, anakku butuh ganja medis.” P dalam kondisi lemah karena tengah berjuang melawan cerebral palsy. Aksi ini menarik perhatian netizen, salah satunya adalah seorang Ibu bernama DP yang mempunyai anak bernama M, yang meninggal dunia usai berjuang melawan cerebral palsy. DP adalah pemohon uji materi larangan ganja untuk medis.
Sehari kemudian, yaitu hari Senin tanggal 27 Juni 2022, media massa memberitakan adanya enam negara yang melegalkan ganja untuk keperluan medis. Keenam negara tersebut adalah Kroasia, Republik Ceko, Uruguay, Argentina, Kanada, dan Thailand. Bahkan, Thailand mengijinkan warganya untuk menanam ganja di rumah. Tentunya dengan prosedur dan pengawasan dari otoritas yang berwenang, yaitu Food and Drug Administration dari negara tersebut.
Gustav Radbruch (21 November 1878-23 November 1949), seorang ahli hukum dan filsuf Jerman yang juga pernah menjabat Menteri Kehakiman Jerman, menyatakan bahwa hukum mempunyai tiga nilai, yaitu keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. Menarik untuk mengkaji legalitas penggunaan ganja di bidang medis berdasarkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Kepastian Hukum dalam Penggunaan Ganja
Tumbuhan ganja merupakan tumbuhan asli Asia yang tumbuh hampir di semua tempat di Asia, termasuk Indonesia. Namun demikian dalam perkembangannya, tumbuhan ganja juga ditanam di Amerika Serikat, Afrika, Eropa, Meksiko, Bazilia, dan India. Secara demografis, tumbuhan ganja tumbuh baik pada ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ganja berbentuk perdu dengan ketinggian mencapai 4,5 meter dan berumur sampai 4 tahun.
Historical Dictionary of Indonesia menyatakan bahwa pada abad ke-10, ganja sudah terdapat di Pulau Jawa dan digunakan sebagai sumber serat serta minuman keras. Meskipun demikian, penggunaan ganja tidak seumum konsumsi tembakau, opium, atau betel. Pada masa Hindia Belanda, terdapat empat wilayah penghasil ganja, yaitu Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Ambon dan bagian utara Pulau Sumatera.
Penggunaan ganja di Ambon didokumentasikan oleh ahli botani Jerman-Belanda, G. E. Rumphius, yang menulis tentang penggunaan Cannabis Indica dan Cannabis Sativa, di dalam bukunya Herbarium Amboinense (1741). Pada akhir abad ke-19, iklan ganja muncul dalam beberapa koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda. Iklan itu mempromosikan rokok ganja sebagai obat untuk beragam penyakit mulai dari asma, batuk dan penyakit tenggorokan, kesulitan bernafas dan sulit tidur.
Konferensi Opium Internasional yang Pertama (1912) diselenggarakan di Den Haag (dikenal dengan Hague Convention), menghasilkan regulasi mengenai penggunaan dan penyalahgunaan ganja serta mengamanahkan agar dilakukan pengawasan ketat terhadap budidaya ganja di Hindia Belanda. Meskipun demikian, konferensi ini belum memasukkan tanaman ganja sebagai golongan bahan yang berbahaya.
Konferensi Opium Internasional yang Kedua (1925) memperketat perdagangan ganja melalui sistem otorisasi ekspor dan sertifikasi impor. Hal inilah yang kemudian membuat Belanda kemudian memutuskan untuk membatasi akses ganja di Hindia Belanda melalui penerapan Verdoovende Middelen Ordonnantie (Dekrit Narkotika) tahun 1927. Dalam Konferensi Opium Internasional yang Kedua ini, Delegasi Mesir memberikan masukan agar tanaman ganja dikategorikan sebagai golongan narkotika.
Setelah Indonesia merdeka, narkotika diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 tentang Koordinasi Tindakan dan Kegiatan dari dan atau Instansi yang Bersangkutan dalam Usaha Mengatasi, Mencegah dan Memberantas Masalah Pelanggaran. Sedangkan Undang-Undang yang mengatur mengenai narkotika di Indonesia untuk pertama kali adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.
Konvensi Tunggal Narkotika diadakan di New York pada tanggal 24 Januari hingga 25 Maret 1961. Dalam Konvensi itu dirumuskan bahan-bahan apa saja yang termasuk ke dalam kategori narkotika. Konvensi tersebut menyatakan tanaman ganja masuk ke dalam kategori narkotika, yaitu narkotika golongan I. Artinya, penggunaan ganja dibatasi secara eksklusif dan dibenarkan hanya untuk tujuan medis serta perkembangan ilmu pengetahuan yang terbatas, terhadap produksi, manufaktur, ekspor, impor, peredaran, perdagangan, pemakaian dan kepemilikannya.
Narkotika kemudian diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika. UU ini tidak merumuskan kategorisasi atau penggolongan zat psikoaktif dan hanya menjelaskan bahwa tanaman ganja merupakan jenis napza yang penggunaannya terbatas untuk tujuan medis serta penelitian ilmiah. Dalam perkembangannya, UU Nomor 9 tahun 1976 kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam UU ini, tanaman ganja masuk ke dalam narkotika golongan I, dimana penggunaannya sangat dibatasi dan hanya untuk tujuan penelitian.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. UU Narkotika ini tidak lagi mengenal pembedaan antara psikotropika dan narkotika. Menurut UU Nomor 35 tahun 2009, semua unsur ganja diklasifikasikan sebagai narkotika golongan I, bersama dengan jenis zat psikoaktif lainnya seperti heroin, kokain dan metamfetamin. Oleh karena itu, ancaman hukuman terkait dengan penggunaan ganja, dirumuskan secara komprehensif dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, di antaranya sebagai berikut:
- Orang yang menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar; Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon. Untuk narkotika bukan dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar; Ancaman pidana dengan pemberatan dijatuhkan untuk barang bukti lebih dari 5 gram dengan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga);
- Tidak hanya pengguna, seluruh ancaman pidana bagi orang yang kedapatan memproduksi, mengimpor, mengekspor narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar. Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling banyak 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga);
- Bagi orang yang menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar. Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
- Bagi orang yang membawa, mengirim, mengangkut narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar. Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila narkotika golongan I tersebut dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Bagi orang menggunakan Narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar. Terdapat ancaman pidana dengan pemberatan apabila penggunaan narkotika golongan I tersebut mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau dipidana paling singkat 5 tahun dan paling banyak 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Kemanfaatan Hukum dalam Penggunaan Ganja
L.M. Perry, dalam bukunya yang berjudul Medical Plants of East and Souteast Asia Atributed Properties and Uses (Massachusetts and London, England: The MT Press Cambridge, 1980) menyatakan bahwa tanaman ganja mengandung Cannabin, yaitu suatu resin yang amorf, berisi substansi berwarna kemerah-merahan yang terdiri atas Cannabinol (CBN) dan Cannabidiol (CBD). Di samping itu, tanaman ganja juga mengandung Tetrahydrocannabinol (THC), yaitu suatu substansi yang sangat aktif.
Nicoll dan Alger, dalam artikelnya yang berjudul “The Brain’s Own Marijuana” di majalah Scientific American, Inc. menyatakan bahwa ganja sebagai sebuah tanaman mengandung manfaat karena mengandung Tetrahydrocannabinol (THC). Mereka menyatakan bahwa otak manusia juga memproduksi zat yang identik dengan THC. Kitab Pen T’sao Ching, yang berasal dari kumpulan catatan Kaisar Shen Nung pada tahun 2900 SM, adalah salah satu kitab pengobatan tertua di dunia yang menyebutkan kegunaan tanaman ganja (mariyuana) untuk menghilangkan sakit menstruasi, asam urat, rematik, malaria, beri-beri, gangguan pencernaan, gangguan kehamilan dan pelupa.
Beberapa penelitian menganalisis manfaat Tetrahydrocannabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD) dari tanaman ganja, yaitu sebagai penghilang rasa sakit atau analgesik (Barth Wesley et al., “A Randomized Placebo-Controlled, Crossover Trial of Cannabis Cigarettes in Neuropathic Pain,” Journal Pain 9 (2008)); membantu pengobatan Human Immunodeficiency Virus atau HIV (Martin Martinez, The New Prescription: Marijuana as Medicine, (California: Quick American Archives, 2000); pengobatan asma (P. Tashkin, et al., “Effects of Smoked Marihuana and Experimentally Induces Asthma,” American Review of Respiratory Diseases 122 (1975)); membantu pengobatan pasien kanker (Claudia Grimaldi, “Anandamide Inhibits Adhesion and Migration of Breast Cancer Cells,” Experimental Cell Research 312 (2006)); membantu pengobatan epilepsi (Martin Martinez, The New Prescription: Marijuana as Medicine); pengobatan glaukoma (R. S. Hepler dan Frank I. R., “Marijuana Smoking and Intraocular Pressure,” Journal of the American Medical Association 217 (September, 1971)); pengobatan multiple sclerosis (American For Safe Access (ASA), Multiple Sclerosis and Medical Cannabis (California: Americans For Safe Access, 2011); terapi untuk pengobatan insomnia (Elisaldo A. Carlini dan Jomar M. Cunha, “Hypnotic and Antiepileptic Effects of Cannabidiol,” Journal of Clinical Pharmacology 21 (1981)).
Manfaat ganja dalam bidang medis tersebut, kemudian menginspirasi beberapa orang yang tidak mempunyai latar belakang medis maupun kesehatan untuk melakukan “eksperimen medis”. Salah satunya adalah tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag. Dalam kasus ini, FAS melakukan pengobatan terhadap istrinya (YR) yang menderita sringomyelia. Pengobatan itu dilakukan dengan mempergunakan olahan ganja yang berasal dari tanaman ganja yang ditanam sendiri di rumah oleh FAS. Keterampilan dan pengetahuan dalam bercocok tanam dan mengolah ganja diperoleh FAS secara otodidak melalui literatur.
“Eksperimen medis” ini dilakukan karena FAS putus asa dengan kondisi kesehatan YR yang semakin memburuk, meskipun telah berobat ke beberapa rumah sakit di Kalimantan. FAS disarankan oleh rumah sakit di Kalimantan untuk merujuk YR ke rumah sakit di Pulau Jawa, tetapi kondisi YR tidak memungkinkan. Kondisi YR membaik setelah mengonsumsi olahan ganja, yang ditandai dengan mulai munculnya nafsu makan dan berkurangnya nyeri serta mual. Namun, YR kemudian meninggal dunia saat FAS sedang menjalani proses hukum. Dalam menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan berbagai keadaan. Salah satu keadaan yang meringankan terdakwa adalah terdakwa menggunakan narkotika tersebut untuk mengobati istrinya.
Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU Nomor 35 tahun 2009, mengatur mengenai penggunaan narkotika (termasuk juga ganja) dalam bidang kesehatan, di antaranya adalah: “bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan…….” (Konsiderans Menimbang huruf c); “menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” (Pasal 4 huruf a); “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” (Pasal 7). Namun, terkadang, kepastian hukum yang terdapat di dalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Artinya, regulasi mengenai penggunaan ganja dalam bidang medis, terkadang belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Rekomendasi
Pada tanggal 3 April 2017 Menteri Kesehatan (Nila Moeloek) menanggapi Kasus FAS. Menteri Kesehatan, pada intinya menyatakan bahwa penggunaan ganja kemungkinan sama halnya dengan penggunaan morfin. Keduanya bukan untuk menyembuhkan melainkan penghilang rasa sakit. Pernyataan dari Menteri Kesehatan ini sangat bermakna dan relevan hingga saat ini. Beberapa rekomendasi yang dapat Penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
- Perlu dilakukan riset secara mendalam mengenai manfaat ganja dalam bidang medis dan kesehatan. Pernyataan Menteri Kesehatan tersebut disampaikan pada tahun 2017 (5 tahun yang lalu). Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang medis serta kesehatan berkembang pesat. Hasil riset dapat memberikan sumbangsih keilmuan mengenai pemanfaatan ganja secara proporsional dan sesuai kaedah ilmiah dalam bidang medis dan kesehatan. Sehingga, dapat dihindari terjadinya penyalahgunaan ganja.
- Ganja bukan untuk menyembuhkan, tetapi dapat diposisikan sebagai penghilang rasa sakit. Artinya, dalam hal ini perlu dioptimalkan layanan medis dan kesehatan yang berbentuk paliatif (palliative home care) bagi pasien dengan stadium terminal. Hal ini selaras dengan Compassionate Use of Medical Cannabis Pilot Program Act yang diterapkan di Negara Bagian Illinois USA, dimana pada section 10 menyatakan bahwa penggunaan ganja dalam bidang medis dapat diberikan terhadap penderita penyakit terminal, salah satu jenis penyakitnya adalah syringomyelia. Hingga saat ini, pelayanan medis dan kesehatan di Indonesia masih menitikberatkan pada aspek kuratif. Sudah saatnya, aspek paliatif mendapatkan perhatian agar dapat lebih memberikan pelayanan yang optimal dan dapat dijangkau oleh orang yang membutuhkannya. Misalnya dengan menyediakan layanan paliatif yang dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia di berbagai wilayah dan menyediakan layanan paliatif yang secara finansial dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia (misalnya, memperluas area layanan paliatif yang ditanggung oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional).
- Mewujudkan regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum mengenai penggunaan ganja dalam bidang medis dan kesehatan, khususnya dalam layanan paliatif (palliative home care).
*)Wahyu Andrianto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.