Pada tanggal 24 Januari 2021 lalu, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) melakukan penindakan atas dua kapal tanker asing, MT Horse yang berbendera Iran dan MT Frea yang berbendera Panama. Diketahui bahwa kapal MT Frea ini dikelola oleh perusahaan logistik asal Shanghai, Cina. Kedua kapal asing ini diduga kuat telah melakukan pelanggaran aturan navigasi dan kegiatan ilegal alih-muat muatan minyak di wilayah perairan Indonesia.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Bakamla RI hingga saat ini masih dalam proses namun banyak sekali pengamatan atau analisa atas kasus ini yang perlu dicermati dan bahkan perlu diluruskan. Beberapa pengamat keliru menafsirkan peraturan internasional dan nasional karena membaca dan melakukan analisanya secara parsial dan tidak menyeluruh. Hal ini terlihat pada logika pembacaan aturan hukumnya yang tidak koheren.
Penegakan hukum di wilayah laut yang juga berarti penegakan kedaulatan negara pantai, Indonesia akan menjadi sorotan bagaimana akurasi dan konsistensi tindakan negara ini terhadap kapal asing yang melanggar aturan domestiknya. Oleh karenanya, sangat penting sebuah analisa hukum yang akurat dalam penanganan kasus ini sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang keliru. Jika hal ini terjadi maka akan berakibat buruk pada pemahaman aparat penegak hukum dan tentunya reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
Dengan luasnya laut, pengamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksinya sudah tentu memiliki tantangan yang luar biasa. Hal ini ditambah lagi bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dan juga negara pihak dari United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 harus menerima kompromi kepada dunia internasional. Kompromi tersebut adalah Indonesia perlu menjamin adanya akses atau rute navigasi yang dinikmati oleh kapal-kapal asing yang melewati wilayah laut Indonesia. Akses navigasi itu terwujud dalam hak lintas damai (rights of innocent passage) di laut wilayah (territorial sea) dan hak lintas transit (rights of transit passage) di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
Sebaliknya, UNCLOS 1982 juga memberikan hak dan kewajiban yang jelas bagi negara bendera kapal dan kapal asing yang sedang melaksanakan hak lintas damai dan hak lintas transit di alur laut kepulauan negara pantai. Oleh karena itu, kapal asing yang akan melintas di wilayah negara pantai selain negara benderanya wajib memperhatikan dan menghormati aturan dan hukum nasional negara pantai tersebut.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang berdaulat melakukan penerapan hak dan kewajiban internasionalnya ke dalam hukum nasionalnya. Pengaturan atas hak dan kewajibannya dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksinya dituangkan dalam setidaknya tiga undang-undang. Ketiga aturan nasional itu adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan (UU 6/1996), Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU 17/2008), dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU 32/2014).
Lebih khusus lagi, Indonesia memiliki aturan atas akses navigasi bagi kapal asing yang melintasi wilayah laut Indonesia. Aturan-aturan mendetail ini dituangkan dalam dua peraturan pemerintah di tahun 2002. Mereka adalah Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia (PP 36/2002) dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan (PP 37/2002).
Dengan semakin bertambahnya wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang diberikan oleh UNCLOS 1982 kepada negara pantai, maka kapal asing yang menjadi pengguna laut diberikan kompromi dalam melewati wilayah laut negara pantai dalam bentuk hak lintas damai dan hak lintas transit (selat internasional dan alur laut kepulauan). Pada saat yang sama, kapal asing ini juga memiliki kewajiban yang harus dipatuhi agar tetap dapat melaksanakan hak-hak tersebut.
Dalam melaksanakan hak lintas damai di laut wilayah, maka kapal asing harus melaksanakan pelayarannya dengan syarat terus menerus (continuous) dan seketika (expeditious). Kapal asing dalam melaksanakan hak ini tidak diperbolehkan berhenti dan buang jangkar kecuali hanya dalam keadaan tertentu yang sangat diperlukan untuk kepentingan yang darurat dan force majeure. Sebagai tambahan, hak lintas ini juga harus bersifat damai di mana kapal asing itu tidak mengancam ketertiban dan keamanan dari negara pantai. (Pasal 18 dan 19 UNCLOS 1982; Pasal 11(3) UU 6/1996; Pasal 3(4) PP 36/2002)
Bagi kapal asing yang mengunakan ALKI untuk hak lintas transitnya, mereka wajib mekakukan perjalanan terus menerus tanpa penundaan dan dilarang untuk melakukan kegiatan apapun yang mengancam kedaulatan negara pantai kecuali dalam darurat atau force majeure. Lebih khusus dalam ALKI, kapal asing yang melaksanakan hak lintas tidak boleh berlayar di luar jalur navigasi yang sudah ditentukan oleh negara Indonesia. Hal ini untuk menjaga keamanan dan keselamatan jalur navigasi tersebut. Namun demikian, kapal asing masih diperbolehkan keluar dari alur laut ini hanya apabila dalam keadaan memaksa dan/atau darurat. (Pasal 39, 40, 42, 44 dan 54 UNCLOS 1982; Pasal 4(6) PP 37/2002)
Dalam melakukan navigasi internasionalnya, kapal asing juga terikat pada aturan internasional dan domestik dalam memastikan standar teknis keamanan dan keselamatan pelayaran. Hal ini erat kaitannya dengan pemenuhan kelaiklautan sebuah kapal asing di mana dunia internasional berupaya untuk menekan angka kecelakaan di laut. Salah satu standar yang diwajibkan adalah pengoperasian Automatic Identification System (AIS). Dengan teknologi ini, otoritas negara pantai yang dilewati oleh kapal asing tersebut dapat memantau pergerakan kapal demi alasan keamanan dan keselamatan lalu lintas pelayaran. (Chapter V, International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974; IMO Resolution A.1106(29) 2015; Pasal 193(1) dan 218 UU 17/2008; Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun 2019)
Jika kita melihat dalam kasus MT Horse dan MT Frea, tindakan Bakamla RI dalam menindak hukum atas kedua kapal asing ini sudah tepat. Hal ini berdasarkan paling tidak tiga landasan aspek hukum.
Pertama, kedua kapal telah melanggar hak dan kewajibannya dalam melakukan lintas di wilayah laut Indonesia. Baik dari hak lintas damai maupun lintas transit ALKI, kedua kapal ini terbukti berhenti, buang jangkar dan keluar dari jalur yang ditetapkan tanpa ijin dan tanpa dasar keadaan memaksa (force majeure) atau darurat. Kedua kapal ini berhenti, buang jangkar dan keluar dari jalurnya untuk melakukan kegiatan transfer muatan minyak (ship-to-ship). Meskipun muatan tersebut tidak terkait dengan kepemilikan Indonesia, kegiatan ini tidak dapat dikatakan sebagai keadaan darurat atau memaksa. Kegiatan ini murni dilakukan secara sengaja untuk kepentingan komersial.
Penindakan atas kapal-kapal asing yang buang (lego) jangkar tanpa izin di wilayah laut Indonesia bukanlah tindakan yang baru dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kapal-kapal asing yang akan masuk ke wilayah singapura seringkali melakukan hal tersebut di sekitar wilayah laut pulau Batam. Beberapa kasus terkait hal ini telah diproses hingga mendapatkan putusan pengadilan yang tetap.
Kedua, ditengarai bahwa kedua kapal ini sempat mematikan Automatic Identification System (AIS) saat melewati wilayah laut Indonesia. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan internasional dan nasional di Indonesia. Dengan tidak ditemukannya keadaan darurat atau keadaan memaksa, maka tindakan mematikan AIS ini patut diduga dilakukan secara sengaja untuk menghindari kewajiban hukum. Dengan tidak beroperasinya AIS, kapal asing ini membahayakan keamanan dan keselamatan pelayaran yang ada di wilayah laut Indonesia.
Untuk memastikan kepatuhan atas standar keamanan dan keselamatan pelayaran, negara-negara berinisiatif untuk membuat sebuah Memorandum of Understanding (MoU) atas Port State Control (PSC) berdasarkan wilayah tertentu. Indonesia sendiri tergabung dalam Tokyo MoU untuk wilayah Asia. Berdasarkan MoU ini, negara Pelabuhan dapat memberikan sanksi kepada kapal asing yang melanggar aturan atas kewajiban AIS ini seperti menahan kapal hingga peralatan yang dianggap penting dalam pelayaran dipastikan beroperasi dengan baik.
Ketiga, kegiatan operasi pemindahan muatan minyak dari kapal ke kapal (ship-to-ship) yang dilakukan oleh MT Horse dan MT Frea adalah kegiatan yang tidak memiliki izin dari otoritas negara Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 193 dan 317 UU 17/2008. Selain itu, sangat mungkin kegiatan ilegal tersebut menimbulkan pencemaran lingkungan laut. Dengan tiadanya izin melakukan kegiatan tersebut, tentunya pemindahmuatan ini dilakukan tanpa adanya prosedur yang formal untuk mencegah terjadinya pencemaran. Selain itu, perlu dipastikan juga apakah kedua kapal ini tidak membuang limbah yang dibawa dan atau limbah yang berasal dari operasional kapal tersebut. Kewajiban perlindungan atas lingkungan laut ini secara jelas tercantum dalam Pasal 60 dan 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Proses Hukum Selanjutnya
Bakamla sesuai mandatnya dalam UU 32/2014 telah melakukan tugasnya melaksanakan patroli penegakan hukum dan menindak kedua kapal tersebut. Sesuai dengan peraturan nasional, kompetensi untuk melaksanakan proses hukum selanjutnya yaitu penyidikan dilakukan oleh penyidik kementerian/lembaga yang relevan dengan isu hukum di atas. Dalam hal ini jelas penyidik dari Kepolisian, TNI AL, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki kompetensi dalam proses kasus ini.
Dengan adanya beberapa institusi penyidik yang berkompeten maka perlu ditentukan pihak mana yang akan menjadi penyidik utamanya. Situasi seperti inilah yang seringkali terjadi dalam penanganan tindak pelanggaran hukum di laut. Mengingat semangat UU 32/2014 yang mengatur isu kelautan yang lintas sektor, maka keberadaan Bakamla yang juga sebagai penegak hukum lintas sektor di laut sudah sewajarnya dipikirkan untuk dimungkinkan kewenangan penyidikan juga diberikan kepada Bakamla demi kepentingan efisiensi penanganan kasus lintas sektor yang kompleks.
Penahanan yang dilakukan oleh Bakamla terhadap kedua kapal MT Horse dan MT Frea ini sudah sesuai dengan kewenangan dan peraturan hukum yang berlaku. Jika ada yang mengaitkan kekeliruan penahanan oleh Bakamla dengan Konvensi Internasional tentang Penahanan Kapal (International Convention on Arrest of Ship) tahun 1999 maka dapat dikatakan justru sebaliknya pendapat demikianlah yang merupakan kekeliruan. Dalam konvensi ini, penahanan kapal asing hanya terkait pada sengketa keperdataan yang timbul dari kontrak komersial di antara pelaku usaha. Kapal yang digunakan sebagai kegiatan usaha juga pada umumnya digunakan sebagai jaminan atas pembiayaan usaha. Selain itu, Indonesia hingga saat ini belum menjadi pihak dari konvensi tersebut.
Pada akhirnya, kita perlu menunggu dan mencermati bagaimana kelanjutan proses hukum atas kedua kapal asing ini. Perhatian tidak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga komunitas internasional akan menantikan bagaimana sikap penanganan Indonesia. Hal ini akan dicatat sebagai praktik negara (state practice) dan menjadi pertimbangan pelaku usaha asing lainnya. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga akan berpengaruh pada reputasi Indonesia dan mengirimkan pesan yang jelas kepada seluruh kapal asing yang akan melintasi di wilayah laut Indonesia.