Dalam berbagai kesempatan, saya sering bertanya kepada mahasiswa: “Apa kamu bangga menjadi orang Indonesia?” Umumnya mereka menjawab: “Pastinya saya bangga!” Alasan mereka beragam. Ada yang bangga karena keindahan bumi Nusantara, kekayaan alam, keragaman budaya, sampai dengan tokoh-tokoh terkenal yang sering muncul di buku sejarah dan media.
Namun rasa bangga tersebut segera sirna, ketika kami berdialog bahwa semua yang mereka banggakan itu adalah semu.
Keindahan dan kekayaan alam adalah mutlak pemberian Sang Pencipta. Bukan bangga, namun sejatinya rasa bersyukurlah yang kita rasakan. Namun keindahan dan kekayaan alam tidak juga mendatangkan kemakmuran. Hampir tujuh dekade merdeka, toh kita tetap berkutat dengan kemiskinan.
Keragaman suku dan budaya terus-menerus ternoda oleh aksi kekerasan yang justru menyangkal realita akan kebhinekaan kita sebagai bangsa. Meski aksi ini dilakukan oleh sebagian kecil orang, namun karena terus dipupuk dan terjadi, maka rasa bangga berganti dengan rasa cemas dan prihatin.
Tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah kita ternyata “mati satu, tidak tumbuh seribu”. Generasi penerus tidak, atau belum, sekaliber mereka, sehingga kebanggaan akan mereka menjadi romantisme masa lalu. Sama halnya dengan membanggakan candi Borobudur, suatu peninggalan kejayaan masa lalu belaka.
Rasa frustasi segera berkecamuk seketika saya meminta mereka menunjukkan berita di media yang berupa kabar baik, yang bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.
Ketika saya mengingatkan mereka akan Sumpah Pemuda, reaksi spontan mereka adalah memberikan tatapan seolah berkata: “Itu kan juga masa lalu”.
Daya Dobrak Sumpah
Setiap tahun kita memperingati Sumpah Pemuda sebagai suatu tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Namun seiring perubahan zaman, peringatan tersebut cenderung sambil lalu dan mengkerdilkan daya dobrak sumpah untuk lahirnya suatu bangsa yang besar.
Butir pertama, “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”, secara formal yuridis terwujud saat Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Bentang Sabang sampai Merauke setara dengan Los Angeles-New York di Amerika, dan London-Ankara di Eropa. Nusantara tidak saja berada di silang benua dan samudera, namun juga silang budaya, ideologi, dan geopolitik. Logikanya, mustahil Nusantara bisa menjadi suatu negara. Namun “atas berkat rahmat Allah”, Indonesia merdeka dan bersatu menjadi satu negara kesatuan.
Kemajemukan di Nusantara sungguh keterlaluan. Secara antropologi, orang-orang di Nusantara terdiri dari ratusan bangsa dan ras. Secara linguistik, mereka memiliki ratusan ragam bahasa. Secara ekonomi, mereka adalah petani, pelaut, pedagang, dan buruh. Mayoritas memeluk Islam, tapi budaya yang dominan mengacu ke India. Namun semenjak 1928 para pemuda berikrar untuk “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Seketika itu juga bangsa-bangsa menjadi suku-suku bangsa. Mayoritas dan minoritas hanya dari segi kuantitas, tidak dalam kualitas berpartisipasi sebagai satu bangsa.
Butir ketiga, “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, penuh dengan ironi. Seandainya bahasa Jawa, yang notabene adalah suku terbesar, menjadi dasar bagi bahasa Indonesia, maka hal tersebut adalah wajar. Namun bahasa dari suku minoritas, Melayu Pasar, yang justru disepakati oleh para pemuda sebagai bahasa dasar untuk pengembangan bahasa Indonesia.
Mengingat keragaman suku bangsa, adalah wajar jika bahasa resmi suatu negara terdiri lebih dari satu. Biasanya bahasa suku-suku mayoritas akan menjadi bahasa resmi, seperti halnya bahasa Mandarin menjadi bahasa resmi di Cina. Supaya tidak timbul masalah, bahasa mantan penjajah ditahbiskan menjadi bahasa resmi juga. Demikian yang terjadi di Singapura dengan empat bahasa resmi: Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. India menjadikan bahasa Hindi dan Inggris sebagai bahasa resmi, namun mereka tidak memiliki bahasa nasional.
Tapi bangsa Indonesia bisa manunggal dalam satu bahasa resmi dan bahasa nasional. Tidak ada negara-bangsa lain yang mampu menyatukan suku-suku bangsanya dan berkomunikasi hanya dalam satu bahasa. Berkomunikasi adalah kunci menjaga persatuan. Suku-suku mayoritas tidak hanya telah menunjukkan jiwa besar dalam membiarkan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia, namun juga tekad untuk menjadi satu untuk mencapai masa depan yang lebih baik sebagai satu bangsa.
Pencapaian Luar Biasa
Apakah ada bangsa lain di dunia yang mampu menyatukan pencapaian pemuda Indonesia? Belum pernah ada dalam sejarah sekelompok manusia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, yang mendiami wilayah seluas Nusantara, yang memiliki ratusan ragam bahasa, kemudian menjelma menjadi bangsa yang satu, bertanah-air satu, dan berbahasa satu. Bangsa Romawi dan Yunani di masa lalu dalam puncak kejayaannya, tidak mencapai kesatuan bangsa-wilayah-bahasa. Tidak juga Amerika Serikat dan Cina di zaman modern ini. Hanya bangsa Indonesia yang mampu meraih pencapaian ini.
Sumpah Pemuda adalah suatu pencapaian luar biasa dalam sejarah umat manusia. Suatu pencapaian yang selalu bisa kita banggakan, sekaligus menjadi pengingat bahwa cita-cita adalah suatu keniscayaan. Tidak ada nama tokoh yang menonjol dari Kongres Pemuda II selain “Pemuda”. Label yang selalu ada sepanjang zaman saat sekelompok manusia mencapai usia tertentu. Lord Beaconsfield pernah berkata: “Almost everything that is great has been done by youth.”
Generasi muda harus sadar bahwa pemuda Indonesia mampu menorehkan sejarah monumental. Untuk itu mereka perlu kebanggaan dan kepercayaan diri untuk berkiprah. Jangan menanti kiprah si Budi atau si Badu, sebab setiap mereka adalah pemuda. Masa depan tidak penuh dengan keterpurukan masa kini. Masa depan yang lebih baik bukanlah utopia, tapi suatu keniscayaan. Masa depan memang milik anak-cucu, tapi tekad pemudalah yang membentuknya. Selamat berbangga atas karya pemuda Indonesia!
Seperti dimuat di semi jurnal Civis
YU UN OPPUSUNGGU. Bidang Studi Hukum Internasional. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Yu Un Opusunggu