Pada Selasa (9/11/2021), Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima permohonan judicial review atau peninjauan yudisial, baik secara materiil maupun formil, atas Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono terhadap Undang-Undang tentang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011. Permohonan tersebut diajukan empat orang mantan kader Partai Demokrat, dengan kuasa hukum mereka Yusril Ihza Mahendra.
Hal pertama yang perlu dipahami publik adalah bahwa dalam teori hukum acara, putusan MA tersebut biasa disebut ”niet ontvankelijke verklaard (NO)”, dengan alasan obyek permohonan bukan merupakan kompetensi (wewenang) MA. Putusan ini berbeda dengan ’ditolak’, yang berarti telah melewati tahap pembuktian di persidangan.
Mahkamah Agung menyatakan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek permohonan karena sebuah AD/ART parpol tidak memenuhi unsur sebagai suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Pasal 1 angka 2 UU PPP menyebutkan: ”Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”
Selanjutnya MA menyebutkan bahwa permohonan itu tidak dapat diterima disebabkan tiga alasan. Pertama, karena AD/ART parpol bukanlah norma hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat internal parpol yang bersangkutan. Kedua, parpol bukanlah lembaga negara, badan atau lembaga yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU. Terakhir, tidak ada delegasi dari UU yang memerintahkan parpol untuk membentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan komentar terhadap tiga alasan tersebut. Alasan pertama dapat dibenarkan karena memang AD/ART suatu parpol hanya berlaku bagi kalangan internal dan tidak berlaku umum bagi orang-orang di luar parpol tersebut sehingga tidak dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan. Ditambah lagi, dengan kondisi bahwa AD/ART parpol tidak dibentuk dan ditetapkan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua hal itu sesuai dengan ketentuan dalam UU PPP, sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, MA tidak berwenang menguji AD/ART parpol, sebab yang bisa diuji oleh MA hanya peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Pasal tersebut menyatakan: ”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Untuk alasan yang kedua dapat diberikan bantahan karena UUD NRI 1945 tidak memberikan definsi tentang lembaga negara. Selain itu, dalam perkembangan teori hukum tata negara modern, definisi tentang lembaga atau organ negara telah berkembang luas, tidak hanya terbatas dalam pengertian secara sempit seperti yang disebutkan MA dalam alasannya.
Bahkan, Hans Kelsen, sejak tahun 1945 dalam bukunya General Theory of Law and State telah menyebutkan: ”Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ (Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ).” Sehingga dalam pengertian secara luas, parpol pun dapat digolongkan sebagai lembaga negara.
Apalagi sebetulnya dalam ketatanegaraan Indonesia, pembentukan lembaga parpol juga merupakan amanat UU, bahkan juga dari konstitusi, yaitu sebagai subyek yang ditetapkan untuk menjadi peserta pemilihan umum (pemilu). Logikanya, jika tak ada parpol, maka takkan ada pemilu. Tak ada pemilu, artinya takkan ada pula DPR. Demikian pula dengan presiden, yang harus dicalonkan oleh parpol. Saking pentingnya lembaga parpol dalam menjalankan kehidupan bernegara di Indonesia, kata ’partai politik’ disebutkan sebanyak enam kali di dalam konstitusi.
Di antara ketentuan yang mengatur tentang parpol di dalam UUD NRI 1945 adalah Pasal 22E Ayat (3) yang berbunyi: ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”, serta Pasal 6A Ayat (2) yang menyatakan: ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Lebih lanjut, Kelsen juga menyebutkan: ”These functions, be they a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction” sehingga setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum negara dapat pula disebut organ negara, asalkan fungsi-fungsinya bersifat menciptakan norma (norm creating) atau bersifat menjalankan norma (norm applying).
Dengan demikian, alasan kedua dari MA tersebut menjadi lemah dan bahkan bisa terbantahkan.
Terakhir, MA memang tampaknya perlu mengemukakan alasan yang ketiga, yang dapat memperkuat alasan untuk tidak menerima permohonan. Jika alasan pertama dan kedua MA melihat dari sisi materiil, alasan yang terakhir ini dilihat dari sisi formil, di mana MA ingin menyatakan, bahwa parpol bukanlah lembaga yang memiliki wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan.
(Mohammad Novrizal, Dosen Tetap Senior pada Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia)