Beberapa tahun terakhir, triliunan uang masyarakat hilang ketika diinvestasikan dalam koperasi simpan pinjam atau KSP. Beberapa KSP bermasalah memiliki modus operandi serupa, yaitu iming-iming imbal hasil besar bagi investornya lewat penempatan dana yang kecil.
Berkedok KSP, koperasi-koperasi seperti Cipaganti Karya Guna Persada, Langit Biru, dan Pandawa Mandiri Group mengumpulkan triliunan uang investor selama bertahun-tahun hingga akhirnya tidak dapat mengembalikan imbal hasil, bahkan sekadar dana pokok. Utang tertunggak Cipaganti ditambah Langit Biru tercatat tidak kurang dari Rp 3,2 triliun, sedangkan Pandawa ditaksir hingga Rp 3,39 triliun.
Maraknya kasus ”investasi bodong” berjubah KSP diduga karena lemahnya pengawasan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), lembaga yang sejatinya diatribusikan mengawasi kegiatan berkoperasi.
Salah satu poin krusial ketentuan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang tengah dibahas saat ini adalah menjadikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai leading institution pembinaan dan pengawasan KSP.
Kejadian berulang KSP yang merugikan masyarakat secara masif dianggap merusak citra koperasi di Indonesia dan disupervisinya KSP oleh OJK dianggap sebagai resep jitu. OJK yang selama ini berpengalaman mengawasi lembaga jasa keuangan (LJK) dianggap tepat ketika diberikan tugas mengawasi KSP yang memiliki karakteristik serupa LJK.
Kelaziman
Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan KSP tersebut, RUU P2SK mengelompokkan KSP menjadi skala usaha kecil, menengah, dan besar. OJK mendelegasikan pembinaan dan pengawasan KSP berskala usaha kecil kepada instansi pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi pembinaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Pembinaan dan pengawasannya tetap mengacu kepada panduan yang dibuat OJK lewat peraturan OJK dan hasil pembinaan dan pengawasan disampaikan secara berkala kepada OJK. Adapun pembinaan dan pengawasan terhadap KSP skala usaha menengah dan besar dilakukan langsung oleh OJK.
RUU P2SK belum mengatur secara lebih detail mengenai ambang batas (threshold) KSP skala kecil, menengah, dan besar dan hanya menyebut hal tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK.
Kewenangan dari institusi pengawas sektor jasa keuangan seperti OJK untuk ikut mengawasi KSP merupakan kelaziman di berbagai negara.
Penelitian Coelho, Svoronos, Mazillo, dan Yu (2019) memetakan bagaimana KSP atau financial cooperatives diawasi. Kewenangan dari institusi pengawas sektor jasa keuangan seperti OJK untuk ikut mengawasi KSP merupakan kelaziman di berbagai negara.
Di Australia pengawasan dilakukan oleh Australian Prudential Regulation Authority (APRA) yang bertanggung jawab dalam mengawasi lembaga keuangan berskala kecil seperti KSP.
Di China, pengawasan terhadap lembaga keuangan berskala kecil dan menengah dan biasanya terdapat di daerah-daerah perdesaan dilakukan oleh China Banking and Insurance Regulatory Commission (CBIRC). Di Irlandia, pengawasan dilakukan oleh bank sentral.
Brasil memiliki sebuah unit khusus yang berada dalam naungan bank sentral yang melakukan pengawasan terhadap financial cooperatives bersama-sama dengan pengawasan terhadap lembaga keuangan nonperbankan.
Amerika Serikat memberikan wewenang kepada National Credit Union Administration (NCUA) untuk mengawasi credit union yang memiliki irisan karakteristik dengan KSP. NCUA dibagi menjadi pengawas di level federal dan negara bagian. Untuk credit union yang memiliki aset di atas 10 miliar dollar AS, pengawasan dilakukan di tingkat federal, sedangkan di bawahnya pengawasan dilakukan kantor cabang yang terdapat di lima wilayah, yaitu California, Florida, Michigan, Texas, dan Washington.
Persoalannya, apakah mengikuti kelaziman dengan memberikan kewenangan pengawasan KSP kepada otoritas serupa OJK adalah solusi paling ideal?
Ketimbang fokus kepada siapa yang melakukan pengawasan, marilah kita beranjak pada substansi yang perlu diawasi. Pertama, mengawasi KSP sebenarnya merupakan tugas melakukan purifikasi marwah eksistensi KSP.
Regulasi KSP dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam tegas membatasi sasaran penghimpunan dan penyaluran dana KSP, yaitu kepada anggota KSP, calon anggota KSP, dan koperasi lain dan anggotanya. Bahkan, sejatinya pengimpunan dan penyaluran dana dari calon anggota sudah sangat dibatasi, yakni calon anggota yang telah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota paling lama tiga bulan setelah melunasi simpanan pokok sebagai syarat menjadi anggota KSP.
Mengawasi KSP sebenarnya merupakan tugas melakukan purifikasi marwah eksistensi KSP.
Status ”calon” terjadi karena semata-mata belum tercapainya syarat formal, yaitu belum sepenuhnya melengkapi persyaratan administratif antara lain belum menandatangani buku daftar anggota.
Dengan kata lain, KSP, layaknya koperasi pada umumnya, seharusnya fokus kepada anggotanya saja. Khusus KSP, desainnya adalah sebuah lembaga intermediasi yang spesifik menghimpun dana lewat simpanan (tabungan) anggota dan menyalurkannya lagi dalam bentuk kredit (pinjaman), bukan menghimpun dana investasi.
Berbicara mengenai dana investasi, hal berikutnya yang perlu diawasi adalah perihal modal penyertaan. KSP memang dimungkinkan memperoleh ”investasi” dari pihak non-anggota lewat modal penyertaan. Pihak non-anggota yang dapat menyertakan modal tersebut adalah masyarakat umum dan pemerintah. Penyertaan modal, layaknya investasi, menanggung pula risiko. Hanya saja, berbeda dengan konsep saham, penyerta modal tidak memiliki hak suara dalam rapat anggota layaknya anggota yang memiliki simpanan.
Keberadaan modal penyertaan berpotensi membuat KSP menjadi fokus menarik dana investasi ketimbang menghimpun anggota sebanyak-banyaknya. Padahal, karakteristik utama koperasi sebagai himpunan orang dan bukan himpunan modal atau saham layaknya perseroan terbatas.
Solusi terhadap hal ini adalah membatasi total modal penyertaan terhadap struktur permodalan (ekuitas) KSP. Beberapa tahun lalu, dalam pembahasan RUU Perkoperasian sebagai amandemen UU No 25/1992 tentang Perkoperasian, wacana membatasi modal penyertaan dalam koperasi telah menyeruak. Terdapat rekomendasi misalnya untuk membatasi modal penyertaan hanya 20 persen dari total ekuitas agar koperasi lebih fokus menghimpun modal dari simpanan anggotanya ketimbang investasi non-anggota.
Selain dana masuk lewat modal penyertaan, dana keluar untuk diinvestasikan oleh KSP juga bisa diatur untuk dibatasi.
Selain dana masuk lewat modal penyertaan, dana keluar untuk diinvestasikan oleh KSP juga bisa diatur untuk dibatasi. Kasus Cipaganti dapat menjadi pembelajaran. Salah satu pemicu gagal bayar Koperasi Cipaganti terhadap nasabahnya adalah efek domino dari kerugian investasi Cipaganti di berbagai lini usaha.
Saat itu, Cipaganti mengelola dana yang dihimpun untuk ”diputar” kembali di sektor perumahan, transportasi, pompa bensin, perhotelan, alat berat, dan tambang. Ketika investasi gagal, uang nasabah ikut raib.
Ke depan, bukannya tidak mungkin untuk membatasi pula kemungkinan KSP menginvestasikan kembali dananya ke pihak lain. Konsep regulasi batas minimum penyaluran dana (BMPD) dalam sektor perbankan bisa menjadi inspirasi untuk melakukan hal serupa di sektor perkoperasian.
Terakhir, yang tak kalah penting, keberadaan lembaga yang menjamin simpanan anggota yang menyimpan uangnya di KSP juga dapat menjadi wacana pengaturan. Sudah sepatutnya KSP yang memiliki karakteristik seperti lembaga perbankan juga memiliki lembaga penjamin simpanan (LPS).
Siapa pun yang nanti diatribusi memimpin pembinaan dan pengawasan KSP harus dibekali aturan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan KSP. Prinsipnya adalah mengembalikan KSP layaknya koperasi, sebuah lembaga yang fokus dibentuk dari anggota dan untuk kesejahteraan anggotanya sendiri.
Kurnia Togar P Tanjung, Dosen Hukum Koperasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/10/koperasi-simpan-pinjam-dan-bentuk-pengawasan-yang-ideal