Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di antaranya menyatakan bahwa pengaduan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke Pengadilan. Secara harfiah, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam sengketa medis yang terjadi antara pasien dengan dokter, pasien dapat mengadukannya kepada MKDKI dan sekaligus mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Namun, dalam implementasinya, ketentuan tersebut ditafsirkan dan diterapkan secara berbeda-beda dalam berbagai yurisprudensi, yaitu:
- Yurisprudensi yang mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan MKDKI terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di Pengadilan;
- Yurisprudensi yang tidak mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan MKDKI terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di Pengadilan;
- Yurisprudensi yang mempergunakan pemeriksaan dan Keputusan MKDKI sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan.
Profesor Jan Michiel Otto (Directeur Van Vollenhoven Instituut, Faculteit Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden), menyatakan bahwa salah satu prasyarat untuk mewujudkan kepastian hukum adalah hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum. Pendapat ini dipertegas oleh E. Fernando M. Manullang dalam bukunya yang berjudul, “Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum”, di mana dinyatakan bahwa, “Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.”
Salah satu sengketa medis, diproses oleh Pengadilan Negeri Bekasi melalui Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN Bks. Putusan ini mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan oleh Penggugat (ayah kandung dari almarhum pasien), dan menyatakan Tergugat I (Rumah Sakit) serta Tergugat II (Dokter) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Putusan ini juga menghukum Tergugat I (Rumah Sakit) dan Tergugat II (Dokter) untuk membayar ganti-rugi materil secara tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp.205.500.000 serta biaya perkara sejumlah Rp.406.000.
Namun, di tingkat banding, putusan ini dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan tersebut terlalu cepat diajukan ke Pengadilan Negeri sehingga dikategorikan bersifat prematur. Seharusnya, sengketa medis itu terlebih dahulu diproses oleh MKDKI sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi.
Dalam amar putusannya, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN Bks dan menyatakan gugatan Terbanding semula Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG, kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1366 K/Pdt/2017. Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa perkara tersebut bersumber pada Perbuatan Melawan Hukum dan berdasarkan malpraktik. Namun, dalam perkara itu belum ada hasil pemeriksaan dari MKDKI untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat II (Dokter), oleh karenanya gugatan dikategorikan prematur dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebaliknya, dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pengaduan kepada MKDKI tidak menghilangkan hak pasien untuk menuntut secara hukum, baik secara pidana maupun secara perdata, sehingga eksepsi dari Tergugat harus ditolak. Putusan ini memproses gugatan Perbuatan Melawan Hukum dalam sengketa medis antara Penggugat (ayah kandung dari almarhum pasien) melawan Tergugat (Rumah Sakit dan beberapa dokternya). Majelis Hakim menolak eksepsi dari Tergugat yang pada dasarnya menyatakan bahwa seharusnya gugatan yang diajukan oleh Penggugat menunggu terlebih dahulu keputusan dari MKDKI.
Dalam kasus ini, Tergugat mendalilkan bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat terlalu prematur dan memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk Verklaard. Adapun alasan dari Tergugat mengajukan eksepsi tersebut adalah untuk mengkategorikan seorang dokter telah melakukan pelanggaran disiplin dan/atau adanya kesalahan mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP), harus berdasarkan pada Keputusan MKDKI. Dalam eksepsinya, Tergugat menegaskan bahwa tugas dari MKDKI adalah memberikan perlindungan kepada pasien, menjaga mutu praktik dokter, dan menjaga kehormatan profesi kedokteran. Sedangkan, tujuan dibentuknya MKDKI adalah menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Dalam perspektif lain, Keputusan MKDKI dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan. Hal ini terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 484/Pdt.G/2013/ PN.JKT.Sel. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini mengabulkan gugatan Penggugat (seorang suami yang mewakili Almarhumah istrinya) dan menyatakan Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Surat Keputusan MKDKI atas Pengaduan Nomor 09/P/MKDKIV/2012 tentang Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran.
Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf f (yaitu, tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien) dan Pasal 3 ayat (2) huruf h (yaitu, melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Dalam kasus ini, Dokter dikategorikan tidak melakukan persiapan operasi dengan baik dan tidak memberikan penjelasan tetang resiko tindakan sektio keempat kalinya. Konsil Kedokteran Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor 19/KKI/KEP/VI/2013 tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam Penegakan Disiplin mencabut Surat Tanda Registrasi Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) sementara selama 9 bulan. Putusan Majelis Hakim menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat I telah terbukti dengan mempertimbangkan pada Surat Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Nomor 10/P/MKDKI/V/2012 dan Surat Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 19/KKI/ KEP/VI/2013.
Dalam amar Putusan Nomor 484/Pdt.G/2013/ PN.JKT.Sel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; Menyatakan Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum; Menyatakan Tergugat II (Rumah Sakit) dan Tergugat III (Badan Hukum pengelola Rumah Sakit) turut bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit); Menghukum Tergugat I (Dokter di sebuah Rumah Sakit), Tergugat II (Rumah Sakit) dan Tergugat III (Badan Hukum pengelola Rumah Sakit) secara tanggung renteng untuk membayar kerugian immateriil yang diderita oleh Penggugat (seorang suami yang mewakili Almarhumah istrinya) sebesar Rp1 miliar.
Beberapa yurisprudensi lainnya yang diwarnai dengan adanya perdebatan mengenai peranan dan kedudukan MKDKI, di antaranya adalah: Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim; Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 225/ Pdt.G/ 2014/PN.Bdg; Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg; Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 237/PDT.G/2009/PN.JKT.UT; Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna; Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng; Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 72/Pdt.G/2020/PN Mks; Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; Putusan Pengadilan Negeri Sangatta Nomor 11/Pdt.G/2019/PN Sgt; Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda Nomor 152/PDT/2019/PT SMR.
Rekomendasi
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kepastian hukum, Penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Majelis Hakim secara konsisten dan tegas kembali ke salah satu makna mendasar dari Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, yaitu pemrosesan gugatan di pengadilan tidak mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan MKDKI terlebih dahulu serta tidak semata mempertimbangkan Keputusan MKDKI. Artinya, dalam hal ini harus diperkokoh pemahaman mengenai Teori Hukum dan Hukum Kesehatan. Hal ini, salah satunya adalah tercermin di dalam Keputusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1815 K/Pdt/2021; atau
- Mewujudkan kedudukan dan peranan MKDKI sebagai sebuah lembaga pemeriksaan pendahuluan sebelum sengketa medis diproses oleh Pengadilan. Hal ini, mirip dengan Dismissal Prosedur dalam tahapan beracara di Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, MKDKI menganalisis dan memilah sengketa medis yang mempunyai aspek disiplin, sengketa medis yang mempunyai aspek hukum, dan sengketa medis yang mempunyai aspek disiplin serta hukum.
*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.