"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Pakar Hukum UI Jelaskan Kasus Penculikan Terhadap Anak, Ada Pola yang Dapat Diidentifikasi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Pakar Hukum UI Jelaskan Kasus Penculikan Terhadap Anak, Ada Pola yang Dapat Diidentifikasi

Belakangan ini, informasi tentang kejadian penculikan anak berseliweran di berbagai grup percakapan orangtua siswa, sekolah, dan lingkungan. Sejumlah postingan dengan berbagai modus penculikan berseliweran di gawai sehingga menimbulkan rasa cemas. Seiring dengan hal itu, imbauan pihak sekolah dan lingkungan untuk mewaspadai kasus pencuikan anak juga berseliweran dalam percakapan daring.

Winda, salah seorang guru SD swasta di Jakarta Timur, Jumat (3/2/2023), mengingatkan di grup orangtua agar anak-anak yang pulang naik angkutan umum harus didampingi anggota keluarga/orang dewasa yang dikenal. Sekolah pun mengeluarkan selebaran yang mengingatkan orangtua agar memastikan penjemputan anak-anak di sekolah, baik yang naik angkutan umum, naik ojek daring, maupun dijemput keluarga, oleh orang yang dikenal keluarga. Bahkan, orangtua diimbau berkomunikasi dengan guru jika yang menjemput anak bukan yang biasa datang ke sekolah.

”Saya agak khawatir juga dengan ramainya isu penculikan ini. Soalnya di grup WA (Whatsapp) sudah ada laporan usaha penculikan yang ternyata dekat daerah tempat tinggal. Begitu ada surat edaran dari sekolah, saya menjemput sendiri anak saya yang biasanya naik angkot sendiri. Saya jadi takut,” cerita seorang ibu yang anaknya duduk di kelas II SD.

Orangtua harus peduli terhadap anak-anak, baik itu anaknya, anak tetangga, maupun anak orang lain.

Meskipun informasi soal penculikan anak dari kejadian, modus, hingga pelaku ada yang juga tidak benar atau hoaks, maraknya kasus penculikan anak, terutama diduga karena tergiur untuk penjualan organ tubuh, meningkatkan kewaspadaan kembali orangtua, pihak sekolah, dan lingkungan di sekitar anak.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/lzSNeiTcK9S6Np-cfWPbqP2PlDg=/1024x2189/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F04%2F04%2F20200404-H4-LHR-Barometro-penculikan-mumed_1586008712_jpg.jpg

Sekretaris Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Negeri Surabaya Putri Aisyiyah Rachma Dewi mengatakan, anak merupakan kelompok yang rentan. Sebab, anak belum mampu melindungi diri sendiri dan menggunakan hak-haknya secara mandiri.

Pada tahun 2022 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) merilis angka kasus penculikan anak yang mencapai 28 kejadian. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya.

Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Nathalina Naibaho, memaparkan, dari banyaknya kasus penculikan terhadap anak, ada pola yang dapat diidentifikasi. Modus yang biasanya dilakukan pelaku adalah dengan membujuk dan mengelabui korban secara manipulatif. Pelaku memberi makanan dan minuman, mengajak ngobrol dan jalan-jalan, atau menunjukkan mainan/permainan, gambar, dan tayangan yang menarik bagi anak.

Bahkan, sebagian menawari korban pekerjaan ringan dengan menjanjikan upah tertentu. Pelaku juga bisa menggunakan tipu muslihat dengan mengaku sebagai teman atau kerabat orangtua, serta menggunakan kekerasan dan/atau ancaman sehingga anak terpaksa menurutinya.

”Untuk mencegah terjadinya kasus penculikan anak, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan orangtua,” kata Nathalina.

Langkah preventif dilakukan melalui pengawasan yang proporsional dan tepat, baik melalui teknologi (CCTV, patroli virtual, aplikasi panic button) maupun dengan meningkatkan kewaspadaan masyarakat di area umum, seperti sekolah, tempat les, taman bermain, pusat perbelanjaan, dan transportasi publik.

Pengawasan

Putri menguraikan berbagi faktor yang dapat mendorong terjadinya penculikan anak. Masalah lemahnya pengawasan orangtua dan orang dewasa menjadi salah satu penyebab anak mudah menjadi korban penculikan. Pengawasan ini penting dilakukan terutama saat anak sedang berada di luar rumah. Sekarang ini, banyak orangtua yang terlalu sibuk dengan urusannya sehingga kurang memperhatikan lingkungan bermain anak.

”Namun, pengawasan anak juga tidak boleh berlebihan yang sampai menimbulkan sindrom dunia yang kejam. Sindrom ini membuat orangtua membatasi dan melarang anak untuk bermain ataupun mengeksplorasi daya kembangnya di luar rumah. Sebab, ketakutan yang berlebihan, hal ini juga buruk bagi anak,” papar Putri.

Selain orangtua, peran masyarakat sekitar juga penting agar anak tidak muda ”dirangkul” pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengawasan masyarakat belakangan ini semakin melemah seiring kentalnya sikap individualis.

”Sekarang, kita semakin individualis, kurang punya kepedulian terhadap sesama. Sikap seperti ini terjadi utamanya di perkotaan. Pengawasan yang bagus antara orangtua di rumah, masyarakat di luar rumah, dan pihak sekolah ketika anak di sekolah menjadi pagar penting menghindari penculikan anak,” ujar Putri.

Secara terpisah, psikolog Universitas Gadjah Mada, Edilburga Wulan Saptandari, mengatakan, penculikan bisa menjadi pengalaman traumatis bagi anak korban penculikan. Sebab, penculikan merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang bisa memunculkan perasaan tidak nyaman, syok, cemas, tidak berdaya, bahkan depresi.

”Apakah penculikan akan menyebabkan trauma atau tidak, ini tidak bisa didiagnosis begitu saja. Namun, ini perlu pemeriksaan lebih mendalam,” kata Edilburga.

Lebih lanjut Edilburga memaparkan, perlakuan selama penculikan bisa memengaruhi muncul tidaknya trauma pada anak korban penculikan anak. Misalnya penculik melakukan tindak kekerasan baik fisik maupun seksual, serta perlakuan buruk lainnya, anak korban penculikan bisa lebih rentan mengalami trauma. Hal berbeda akan muncul pada anak korban penculikan yang diperlakukan dengan baik selama penculikan.

Peran orangtua

Edilburga mengatakan, untuk orangtua, perlu membekali anak dengan pengetahuan bagaimana saat berhadapan dengan orang asing. Anak diberikan pemahaman untuk tidak sembarangan berbicara, tidak mudah percaya, tidak mudah terbujuk dengan iming-iming pemberian orang lain, serta bisa menolak ajakan orang yang tidak dikenal.

Lalu, orangtua juga perlu mengajari anak tentang mekanisme melindungi diri sendiri, seperti belajar bela diri. Selain itu, saat berhadapan dengan orang asing yang mencurigakan ataupun ketika terpisah dari keluarga, anak diajarkan untuk berteriak meminta tolong serta mencari bantuan pertolongan pada orang yang tepat, yakni kepada orang berseragam seperti petugas satpam atau karyawan toko yang besar kemungkinan memberikan bantuan.

Orangtua juga perlu membantu anak dalam mengenali identitas diri. Anak diajari untuk mengingat namanya, orangtua, alamat rumah, serta nomor telepon orangtua. Demikian pula anak-anak perlu dibiasakan untuk selalu minta izin kepada orangtua setiap akan melakukan sesuatu.

Putri mengingatkan agar orangtua dan pihak sekolah memperkuat edukasi kepada anak terutama ketika bertemu dengan orang asing. Hal semacam ini sudah diajarkan di taman kanak-kanak, tetapi belum merata sehingga perlu bagi orangtua untuk mengedukasi anak tentang hal tersebut di rumah.

”Jika orang asing mengajak bicara terlalu lama, segera memanggil ibu, ayah, atau guru. Jika ada orang asing yang mencoba meraba, menyentuh, atau memaksakan sesuatu, ajarkan untuk berani berteriak sekeras mungkin. Jika ada orang asing memberikan makanan dan minuman, orangtua mengajarkan (kepada) anak (agar) berani menolak,” kata Putri.

Selanjutnya, orangtua harus selalu waspada dengan mengenali baik-baik lingkungan bermain anak, termasuk orangtua atau keluarga dari teman bermain si anak. Selain itu, juga penting untuk dekat dengan tetangga atau masyarakat sekitar.

Bagi orangtua yang memiliki anak balita atau yang belum mampu berbicara dan membaca, kata Putri, anak perlu dilengkapi semacam data diri yang dipasang di setiap baju anak. Hal ini dapat membantu dalam pencarian anak korban penculikan, dan mengurangi kemungkinan anak hilang.

”Penting juga, orangtua harus menjadi teman bagi anak sehingga muncul komunikasi dan saling percaya,” kata Putri.

Di era digital ini, orangtua juga harus waspada terhadap dampak negatif media sosial. Karena itu, orangtua perlu memberikan literasi kepada anak terkait keamanan dalam bermedia sosial. Anak diberikan pengertian untuk tidak membagikan informasi pribadi di media sosial.

”Kasus penculikan secara tidak langsung, tak jarang juga berawal dari media sosial atau bermain gim yang rentan terjadi terutama pada anak praremaja dan remaja sehingga perlu diberikan pendidikan terkait kemanan siber,” ujar Edilburga.

Saling peduli

Tidak hanya orangtua, peran masyarakat juga penting untuk mencegah penculikan anak. ”Masyarakat harus mulai kembali saling mengenal dan waspada satu sama lain. Ini penting dibangun kembali. Orangtua harus peduli terhadap anak-anak, baik itu anaknya, anak tetangga, maupun anak orang lain. Sikap cuek ini yang membuat anak mudah menjadi korban penculikan,” kata Putri.

Negara harus hadir untuk mencegah dan mengatasi kasus penculikan anak yang terus bertambah.

Putri memaparkan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi potensi kasus penculikan di lingkungan mereka. Biasakan untuk mengajak anak-anak berinteraksi agar mengenal orangtua mereka, tegur mereka jika bermain terlalu lama atau terlalu jauh, hubungi RT atau RW jika dirasa melihat ada orang asing yang mencurigakan.

Selain itu, hubungi orangtua anak jika dirasa anak didekati orang asing yang mencurigakan. Jauhkan anak–anak tersebut dari pelaku jika dirasa ada orang asing mencoba melakukan hal mencurigakan kepada mereka

Adapun pemerintah juga harus memberikan perhatian lebih terhadap kasus tersebut. ”Negara harus hadir untuk mencegah dan mengatasi kasus penculikan anak yang terus bertambah. Melihat dari faktor yang ada, pemerintah harus menghadirkan program pencegahan yang menyentuh hingga ke level RW dan RT,” tegas Putri.

Nathalina mengatakan, jika terjadi kasus penculikan, langkah represif dapat dilakukan dengan melaporkan penculikan kepada pihak berwajib agar korban mendapatkan perlindungan yang optimal dan pelaku dapat dihukum secara pidana. UU Perlindungan Anak mengatur korban penculikan anak mendapat perlindungan khusus yang meliputi penanganan cepat (termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya), pendampingan psikososial saat pengobatan hingga pemulihan, serta perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

”Bagi korban dari keluarga kurang mampu, ia berhak menerima bantuan sosial. Perlindungan khusus ini dilakukan agar anak korban penculikan dapat segera pulih dari trauma,” kata Nathalina.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/02/03/bersama-menajaga-anak-jadi-korban-penculikan

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI