PEMERINTAH Indonesia, entah pusat atau Pemerintah Propinsi Aceh, menghadapi tantangan yang sama nyaris setiap tahun, yaitu terdamparnya manusia perahu yang biasanya ditumpangi warga Rohingya (Myanmar) ke perairan dan pantai Aceh. Menurut catatan Ni’mah Kurniasari dari Pos PAHAM Aceh Tengah, pada akhir 2022 dan awal 2023 ini, terjadi gelombang kedatangan ‘Manusia Perahu’ lagi di wilayah Aceh.
Ada empat kedatangan yang cukup besar dan menyebar di beberapa daerah di Aceh. Sebanyak 174 manusia perahu Rohingya berada di penampungan daerah Pidie, 111 orang di penampungan Lhokseumawe, 174 orang di penampungan Padang Tiji, dan 241 orang di camp Ladong Aceh Besar. Kedatangan mereka dengan jarak waktu yang cukup dekat. Mereka berangkat dari Bangladesh dan mendarat di Aceh antara lain karena kapal rusak. Rata-rata waktu mereka di laut bebas antara 27-29 hari. Mudahnya mereka berangkat dari kamp Bangladesh menjadi catatan penting. Pertanda otoritas Bangladesh, terlebih lagi pemerintah Myanmar, negeri asal mereka, tidak terlalu peduli dengan keberadaan mereka. Aparat terkait tak berupaya menyetop mereka keluar dari Myanmar dan Bangladesh untuk menyabung nyawa ke lautan bebas.
Mereka menuju Selat Malaka melalui Gulf of Bengal dan Andaman Sea sampai kemudian terdampar di perairan Aceh. Kapal kecil yang sempit sering memuat lebih dari 100 orang Rohingya. Wajar apabila terjadi kekurangan makanan, mal nutrisi, kurang air bersih, kepanasan, dan kehujanan. Seringkali ada saja ada yang meninggal di dalam kapal dan harus dibuang ke tengah laut. Mudahnya mereka masuk ke perairan Aceh sekaligus menjadi pertanyaan. Di mana peran dari penjaga perairan dan teritorial Indonesia? Begitu mudah manusia perahu dari negara lain masuk ke perairan Indonesia dan berlabuh di daratan Indonesia. Tak dapatkah teknologi dan fasilitas keamanan perairan di Indonesia mendeteksi masuknya manusia perahu ke laut teritorial? Persoalan berikutnya adalah tidak adanya kewarganegaraan alias statelessness.
Sebagian warga Rohingya asal Myanmar memang stateless alias tidak punya kewarganegaraan karena Myanmar tidak mengakui eksistensi mereka. Dalam setiap rombongan ‘manusia perahu’ Rohingya, seringkali hampir setengahnya adalah anak-anak. Tentunya perjalanan laut sekitar satu bulan amat tidak menyenangkan bagi anak-anak. Namun mereka tak punya pilihan dan harus mengambil risiko tersebut karena mereka tidak punya kewarganegaraan. Mereka terusir dari Myanmar dan terpaksa menumpang hidup ke Bangladesh. Namun Bangladesh bukanlah tempat berteduh yang nyaman. Kemiskinan dan situasi membeludaknya populasi di Bangladesh membuat pengungsi Rohingya tidak bisa diterima sebagai tamu terhormat di kamp-kamp pengungsian Bangladesh. Menjadi manusia perahu adalah satu-satunya pilihan untuk mencari penghidupan dan pendidikan bagi anak-anak mereka, dengan asumsi mereka akan tiba di suatu negara yang akan menerima mereka dengan baik dan dapat memberikan kehidupan yang layak.
Salah satu cara tersebut adalah dengan mengadu nasib ke perairan Laut Andaman dan Selat Malaka di mana tiga negara berhimpun, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Ketika terdampar ataupun berlabuh di Aceh, urusan mereka bukan berarti telah selesai. Mereka masuk ke laut teritorial dan daratan Aceh tanpa izin dan tanpa memiliki dokumen perjalanan yang sah. Ihwal rutinnya manusia perahu Rohingya berlabuh ke perairan Aceh juga menimbulkan dugaan ada mafia penyelundupan manusia (people smuggling) yang melibatkan aktor-aktor internasional maupun lokal. Menurut pemantauan petugas lapangan, seperti ada oknum tertentu di daratan Indonesia yang memantau mereka mendarat melalui koordinat GPS tertentu. Setelah tiba di daratan Aceh, lazimnya mereka tak akan diusir balik ke laut. Rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia memang tidak menerima mereka dengan tangan terbuka. Namun tidak sekejam itu juga untuk mengirim mereka kembali ke laut bebas. Kecuali mereka masih berada di laut bebas (high seas).
Kendati belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun pemerintah Indonesia terikat dengan prinsip non refoulement pada Konvensi 1951. Prinsip tersebut tidak mengirim balik pengungsi ke negara semula apabila hal tersebut membahayakan keselamatan mereka. Ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law). Kearifan lokal masyarakat Aceh dan kebaikan hati pemerintah daerah maupun pusat, dengan dukungan ormas-ormas pemerhati pengungsi dan badan PBB seperti UNHCR dan IOM, membuat para manusia perahu hampir selalu dikelola secara manusiawi. Walau, pada titik tertentu, pemerintah dan masyarakat tentunya memiliki batas kesabaran dan keterbatasan kapasitas juga. Apalagi, kenyataan di lapangan, pencari suaka Rohingya seringkali tidak bertahan lama di penampungan.
Usai ditolong dan diselamatkan, sebagian besar ‘manusia perahu’ malah memilih kabur dari kamp penampungan sementara. Ada yang dapat diamankan kembali, namun ada juga yang kemudian ‘hilang.’ Di antara yang hilang ini ada yang meneruskan perjalanan ke Malaysia melalui pintu tidak resmi. Ada pula yang meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Entah melalui cara apa. Di antara yang diamankan ada yang kemudian menempati Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) untuk sementara, ada yang ditempatkan di community house seperti di Medan, Pekanbaru dan Makassar. Namun ada juga yang tinggal di rumah kosan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seperti di Tangerang Selatan, Depok, maupun di Kabupaten Bogor. Mereka mendapat bantuan dari Badan PBB maupun dari LSM lokal maupun internasional. Kehadiran manusia perahu Rohingya yang dapat disebut sebagai pencari suaka (asylum seekers) tak pelak menjadi dilema bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, bangsa Indonesia terkenal karena kedermawanan dan jiwa kemanusiaannya yang tak mudah mengusir tamu asing, apalagi kalau mereka amat menderita dan memerlukan bantuan. Di sisi lain, gelombang manusia perahu ini terus menerus datang setiap tahunnya dan telah melewati kapasitas dan batas kesabaran pemerintah dan masyarakat lokal.
Di mana tanggungjawab dari pemerintah Myanmar, Bangladesh, dan otoritas PBB di pengungsian sehingga membiarkan manusia perahu terus mendatangi perairan Aceh? Secara hukum, Indonesia juga memiliki legal vacuum dalam hal penanganan pengungsi. Satu-satunya mekanisme yang tersedia hanyalah Perpres No. 125/ 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri yang hanya mengatur mekanisme penyelamatan, penampungan dan dukungan sementara untuk pengungsi dan pencari suaka. Tidak ada mekanisme lain setara undang-undang yang mengatur. UU Imigrasi No. 6/ 2011 tidak memadai dan tidak mengatur ihwal penanganan pengungsi. Di sisi lain, Indonesia sampai kini-pun belum meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951. Sejatinya ada tiga pilihan bagi pencari suaka yang terdampar di Indonesia. Pertama, kembali ke negara semula (repatriation).
Opsi ini bukanlah pilihan menarik bagi mereka yang berstatus stateless. Negara asal justru yang pertama tidak mengakui mereka. Kedua, adalah mencari suaka ke negara ketiga (resettlement). Opsi ini juga bukan perkara mudah karena tak ada kewajiban bagi negara-negara ketiga untuk menerima suaka mereka. Sifatnya lebih karena pilihan politik mereka. Penerimaan suaka oleh negara bagi pencari suaka Rohingya tidak jelas kapan waktunya. Seringkali bertahun-tahun berlalu tanpa ketidakjelasan. Kondisi itu membuat para pencari suaka alami frustrasi dan depresi akut akibat ketidakpastian. Ketiga, adalah reintegrasi dengan masyarakat Indonesia. Tinggal selamanya di Indonesia. Tidak lagi berstatus transit migrants.
Namun, sekali lagi, opsi ini juga bukan pilihan menarik. Tidak semua warga Indonesia ramah dengan keberadaan pengungsi/pencari suaka. Kemudiaan, ketiadaan kewarganegaraan dan ID Card membuat mereka sulit mencari kerja yang legal. Pun, anak-anak mereka sulit untuk meneruskan pendidikan. Bagi pencari suaka yang menikah dengan warga Indonesia, tantangan juga sama. Tidak mudah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia walaupun menikah dengan pria/wanita Indonesia. Situasi serba dilematis memang amat tidak nyaman. Pemerintah dan masyarakat Indonesia dilematis menerima para manusia perahu dan pencari suaka. Para pencari suaka dan transit migrants ini juga dilematis tinggal berlama-lama di Indonesia. Jalan keluar yang baik dan tahan lama (durable solutions) nyaris tidak tersedia.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2023/01/16/10053631/dilema-mengelola-manusia-perahu-rohingya