Ada fenomena yang menarik di dalam konteks pemilihan umum. Itu bermula tatkala lahirnya lembaga etika bagi Penyelenggara Pemilu (2008). Lembaga itu bernama Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga ini memiliki kekuatan ajudikasi bagi setiap aduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Hingga saat ini, walau ada polemik pasca pemberhentian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejauh saya membaca beberapa sumber, pada umumnya menerima DKPP tanpa syarat. Pada umumnya, peradilan etik –dalam bidang pemilu– menjadi sesuatu yang niscaya. Kalau pun ada kritik terhadapnya, pada umumnya masih memiliki harapan ideal: menyempurnakan lembaga tersebut.
KPU dan Anggota KPU: Subjek Hukum
Pertama-tama, kita harus menganalisis KPU secara doktrinal (ilmu hukum) sebagai subjek hukum. UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu “lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum … .” Ini artinya KPU adalah salah satu dari subjek hukum; penyelenggara Pemilu dalam Pemilihan Umum.
Sebagai sebuah subjek hukum, tentu saja bukan orang secara alamiah (naturlijk persoon). Tentu saja, ia adalah subjek buatan yang ditetapkan oleh hukum (rechtspersoon). Walau demikian, di dalam organ KPU tersebut, ada subjek hukum lainnya, yang memberikan status (hukum), dan itu disebut sebagai jabatan (Ambt). Di dalam organ KPU, ada ketua dan anggota-anggota, dan itu adalah representasi dari jabatan.
Subjek KPU dan jabatan-jabatan yang ada di dalam KPU dengan demikian lahir karena perintah –langsung atau tidak langsung– konstitusi. Kemudian, melalui undang-undanglah, mereka lahir. Konsekuensinya, mereka seyogianya tunduk kepada konstitusi dan undang-undang.
Etika, Ethos dan Nomos
Kemudian, kita mesti masuk ke ruang berikut ini: apakah orang-orang yang duduk dalam jabatan (Pejabat) yang ada dalam organ tersebut “mengenal” etika? Ini karena menurut UU Pemilu, ada organ DKPP yang bertugas menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU sebagai salah satu penyelenggara Pemilu.
Secara historis, tidak ada makna tunggal yang merepresentasikan definisi etika. Dalam tradisi Yunani Kuno, terma etika dikenal dengan sebutan ethos. Ethos bisa berarti karakter. Namun, di sisi lain, ethos diartikan sebagai kebiasaan. Dalam tradisi Romawi, terma ethikos, yang merupakan kata sifat ethos, diadopsi ke dalam bahasa Latin menjadi moralis, yang artinya pun sama: kebiasaan. Di dalam bahasa Inggris, terma tadi kemudian diadopsi menjadi mores, yang artinya pun sama: kebiasaan. Mengingat, yang kita akan bicarakan di sini adalah berkisar hukum, maka pengertian etika sebagai kebiasaan lah yang diambil. Bukan etika sebagai karakter.
Walau terma etika dan moral nampak berkelindan (ethikos, moralis), masih terdapat perbedaan fundamental di antara mereka: etika menaruh perhatian pada aspek pribadi, sementara moral malah menaruh perhatian pada kepentingan orang lain. Maka itu, diskursus etika dan hukum tidak pernah menjadi tema sentral di antara para ahli hukum modern, seperti John Austin, Gustav Radbruch, Hans Kelsen, Lon F. Fuller, H. L. A. Hart, Joseph Raz dan lainnya. Saya melihat, para ahli hukum itu seperti “tidak menganggap ada” etika (ethikos). Ini bisa dimengerti karena mereka diberi label sebagai para pemikir positivis. Label itu memberikan tuduhan: mereka adalah penolak kebiasaan, yang ada hanyalah hukum positif.
Sekalipun demikian, mereka yang saya sebutkan namanya di atas tidak sama sekali membahas soal moral. Diskursus yang ada di antara mereka justru berkisar hukum dan moral; bagaimana moral berhubungan dengan hukum, dan juga sebaliknya. Ini karena moral (moralis) secara filosofis berbicara “kepentingan orang lain” (dalam bentuk kewajiban). Ini secara hakiki serupa dengan hukum. Hukum juga membahas soal kepentingan orang lain, sambil mengutamakan kepentingan pribadi (dalam bentuk hak).
Yang perlu sekali diterangkan di sini, sekalipun ethos adalah kebiasaan, nampaknya ada persepsi berbeda dengan para ahli hukum Indonesia soal kebiasaan sebagai sumber hukum (formal). Para ahli hukum Indonesia kerap kali mengatakan kebiasaan sebagai perilaku ajeg. Arti ini sesungguhnya masih ambigu. Ini karena seperti disamakan dengan tradisi. Padahal dalam ilmu hukum, kebiasaan jikalau dianggap sebagai sumber hukum, itu artinya kebiasaan-kebiasaan yang dikenal dalam hukum. Ini bisa dilihat misalnya dalam kebiasaan peradilan, seperti yang diungkapkan oleh H. L. A. Hart. Kebiasaan ini bukanlah tradisi, bagaikan warisan masyarakat secara turun-temurun.
Aristoteles maka itu membedakan dua kebiasaan. Pertama adalah kebiasaan yang habitual, suatu kebiasaan yang alamiah. Ini yang kemudian disebut sebagai ethos. Aristoteles malah mengatakan, walau Anda bisa saja tidak setuju, kebiasaan yang alamiah (ethos) bisa turut memengaruhi hewan/binatang. Ini karena sifat alamiahnya yang memengaruhi kebiasaan tersebut. Kedua, di sisi lain, ada kebiasaan yang conventional, yang oleh Aristoteles sebut: nomos. Disebut demikian oleh Aristoteles, karena kebiasaan terakhir ini berhadapan dengan kehendak hukum yang rasional. Mungkin, kebiasaan conventional ini yang dianggap sebagai kebiasaan sebagai sumber hukum di mata para ahli hukum Indonesia. Saya hanya bisa mengatakan demikian, karena beberapa literatur yang saya baca memberikan indikasi seperti itu, tanpa menyebutkan terma kebiasaan conventional secara lugas.
Organ dan Jabatan dalam KPU Beretika?
Prapaham-prapaham di atas membawa saya pada beberapa refleksi kritis berikut ini. Pertama, KPU dan jabatan-jabatan di dalamnya jelas bukan naturlijk persoon. Mereka semua rechtspersoon atau jabatan, yang hadir karena perintah konstitusi, dan dikuatkan dengan undang-undang. Rechtspersoon atau jabatan jelas tidak memiliki etika atau kebiasaan habitual. Hanya naturlijk persoon yang memiliki kebiasaan habitual, karena memenuhi syarat rasional untuk mengenal etika. Lantas apakah masuk akal membuat kode tentang kebiasaan habitual (etik) untuk subjek hukum yang dilahirkan oleh konstitusi atau undang-undang?
Kedua, kalaupun ada kebiasaan yang conventional di dalam lingkup Pemilu, kira-kira kebiasaan apa yang dapat diterima sebagai nomos, sehingga sekualitas misalnya dengan kebiasaan ketatanegaraan yang lazim dikenal dalam tradisi ketatanegaraan Indonesia? Kita tahu dalam tradisi ketatanegaraan kita, ada satu kebiasaan yang tidak pernah dituliskan di dalam konstitusi, yakni: pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap 16 Agustus. Apakah ada kebiasaan “kepemiluan” yang sekualitas dengan pidato tersebut?
Ketiga, andaikan saja ada kebiasaan “kepemiluan”, apakah kebiasaan seperti itu lantas kemudian dirumuskan ke dalam peraturan yang mengikat, seperti Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum (Pedoman DKPP)? Apabila dirumuskan ke dalam peraturan yang mengikat, apakah masih ada kebiasaan “kepemiluan”?
Hart tidak menampik bahwa moral –bukan etika– dapat masuk ke dalam ranah hukum. Namun sekali moral masuk ke dalam ranah hukum, maka moral tersebut sudah menjelma menjadi hukum. Tidak ada lagi moral di dalam hukum. Contoh yang paling sering saya gunakan untuk menggambarkan maksud Hart; majelis hakim dapat memberikan alasan yang meringankan ketika hendak menjatuhkan putusan. Alasan itu bisa berupa alasan kemanusian, seperti usia terdakwa yang sudah sepuh. Ketika pertimbangan itu diwujudkan ke dalam putusan, maka yang ada hanyalah dokumen peradilan. Putusan itu bukan dokumen moral.
Keempat, kalaupun ada kode etik yang dikenal dalam profesi advokat, dokter dan lainnya, apakah subjek-subjek profesional itu lahir karena perintah konstitusi? Dengan kata lain, apakah subjek-subjek profesional itu memang memiliki kebiasaan habitual, yang mungkin dikodifikasi (kode etik profesi) menjadi autonomic legislation? Pedoman DKPP jika dipaksakan setara dengan kode etik profesi, apakah status Pedoman DKPP adalah autonomic legislation, mengingat kode etik profesi secara teoritis disebut autonomic legislation? Dengan kata lain, apakah DKPP adalah private entity seperti profesi dokter atau advokat? Apakah artinya juga jabatan-jabatan di dalam KPU adalah jabatan private, bukan jabatan publik?
Kelima, katakanlah pengertian tentang ethos dan nomos ditinggalkan, dan hanya berpatokan pada Pedoman DKPP, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal, di antaranya;
- Dalam Pasal 456 Undang-Undang Pemilu, pelanggaran etika diukur diukur berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menyelenggarakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Dalam sumpah dan/atau janji itu tidak ada sama sekali rumusan tentang kode etik, sehingga Penyelenggara Pemilu hanya terikat pada peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya: apakah Pedoman DKPP adalah pedoman etika atau justru bagian dari peraturan perundang-undangan?
- Dalam Pedoman DKPP, profesionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum berpedoman salah satunya pada prinsip berkepastian hukum. Apakah prinsip kepastian hukum adalah prinsip etika? Dalam beberapa putusan DKPP bahkan mendalilkan argumentasinya berdasarkan ide kepastian hukum. Sekali lagi, apakah kepastian hukum adalah agenda etika?
- Apakah suatu pelanggaran etika dapat dirumuskan ke dalam suatu putusan yang final dan mengikat sebagaimana diatur dalam UU Pemilu? Sifat final dan mengikat adalah ciri paradigmatis hukum, bukan etika. Seperti telah dikatakan oleh Hart, sekali moral –bukan etika– masuk ke dalam hukum, maka yang ada hanyalah hukum. Menggunakan perspektif Hartian tersebut, apakah etika yang masuk ke dalam suatu putusan DKPP disebut sebagai dokumen hukum?
- Ciri paradigmatis hukum ini makin nampak ketika putusan DKPP perlu dikuatkan melalui instrumen keputusan presiden. Putusan DKPP pemberhentian Anggota KPU misalnya, mesti dikuatkan dengan Keputusan Presiden. Masalahnya, setiap Keputusan Presiden secara yuridis dapat dijadikan objek gugatan dalam PTUN. Jika demikian, apakah yang dihasilkan oleh DKPP adalah etika atau hukum? Jika etika, mengapa tidak seperti organisasi profesi; putusan tentang pelanggaran kode etik mereka tidak perlu dikuatkan oleh Presiden?
Seluruh problem kritis di atas semestinya membawa pada suatu pertanyaan akhir: apakah kita mengharapkan pejabat-pejabat di KPU memiliki kebiasaan habitual, karena adanya aspek etika dalam penyelenggaraan pemilihan umum? Ini artinya apakah kita mengharapkan pejabat-pejabat KPU diperbolehkan memiliki kebiasaan yang alamiah, yang secara potensial akan mungkin bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan?
Beberapa Saran
Sejumlah praktisi pemilihan umum dan pemerhati hukum pernah menyampaikan suatu ide yang menurut saya agak membingungkan. Mereka mengharapkan, sebagai upaya penyempurnaan, DKPP dijadikan forum ad hoc. Saya artikan terma ad hoc ke dalam dua pengertian. Pertama, sebagai forum bukan permanen. Katakanlah saya tidak mispersepsi. Pertanyaan sederhana saya: apakah forum peradilan etika bagi penyelenggara pemilihan umum yang ad hoc adalah sama dengan forum ala organisasi profesi yang biasanya juga diselenggarakan secara ad hoc? Padahal forum ala organisasi profesi diselenggarakan secara ad hoc tanpa penguatan dengan suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Kedua, ad hoc sebagai pemberian rekomendasi. Moga-moga juga saya tidak mispersepsi lagi. Pertanyaan saya yang lain: apakah masih bersifat final dan mengikat? Seharusnya, suatu rekomendasi tidak bersifat final dan mengikat. Namun, bagaimana apabila rekomendasi yang diberikan adalah pemberhentian anggota KPU, misalnya? Apakah itu akan diteruskan dalam suatu keputusan yang final dan mengikat? Siapa yang melakukannya; apakah itu dilakukan oleh anggota KPU yang lain? Andaikan saja yang melakukan adalah Presiden, bagaimana jika rekomendasi pemberhentian anggota KPU itu terjadi dalam masa Pemilihan Presiden? Bagaimana jikalau Presiden (petahana) mengabaikan rekomendasi tersebut? Keadaan tersebut malah bisa membawa pada krisis politik.
Usulan ad hoc dihadirkan sebagai reaksi terhadap natur DKPP sebagai kuasi peradilan. Maksudnya, DKPP bukanlah lembaga di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Walau demikian, karena sifat putusannya final dan mengikat, maka DKPP memiliki kekuasaan peradilan. Status kuasi peradilan ini yang saya lihat sebagai faktor ketidakpuasan akan DKPP. Hal inilah yang menjadi latar perlunya mengubah peradilan etika dalam Pemilu menjadi ad hoc.
Ide kuasi peradilan ini sebenarnya amat mengganggu. Kuasi artinya seolah-olah. Jadi DKPP seolah-olah peradilan. Jika DKPP adalah seolah-olah peradilan, mengapa diberikan sifat putusan yang final dan mengikat? Kita bayangkan saja, bagaimana suatu “peradilan seolah-olah” mengajudikasi pelanggaran etika dengan menghasilkan putusan yang final dan mengikat? Ide “peradilan seolah-olah” semestinya ditolak keras. Mengapa? Organ-organ negara dan jabatan-jabatan di dalamnya terbentuk karena perintah konstitusi dan undang-undang. Maka itu, forum peradilan permanen untuk mengadili anggota KPU misalnya, jika perlu diadakan, dilakukan melalui lembaga ajudikasi formal yang dibentuk sesuai perintah konstitusi. Mereka adalah badan-badan peradilan yang di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dapat mengadili atas perkara Onrechtmatige Overheidsdaad. Bilamana perlu, jika ditemukan unsur pidana, dapat juga dibawa ke peradilan pidana.
Jikalau DKPP mau difungsikan sebagai peradilan permanen khusus untuk pemilihan umum, itu bisa saja diterima, sepanjang pertama-tama sesat pikir (fallacy) tentang ajudikasi pelanggaran etika dalam Pemilu dicampakkan jauh-jauh. Kalau ini dilakukan, itu sama saja meminta peradilan etika dibubarkan. Really? Seriously?
*)E. Fernando M. Manullang adalah dosen filsafat hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/peradilan-etika-pemilu-lt630c730939b8e/?page=all