Depok, 13 Juni 2022. Dalam rangka peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2022, Pusat Kajian (Puska) Hukum dan Pancasila menyelenggarakan webinar pada hari Sabtu, tanggal 11 Juni 2022 dengan topik “Pancasila Membangun Manusia, Bangsa, dan Dunia.” Keynote speaker webinar ini adalah Prof. Dr. Satya Arinanto dengan judul “Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila”. Kedua pembicara webinar ini adalah peneliti di Puska Hukum dan Pancasila, yaitu: Bono Budi Priambodo, MSc, dan Dr. Kris Wijoyo Soepandji, dengan moderator Dr. M. Sofyan Pulungan, Sekretaris Puska Hukum dan Pancasila.
Dr. Edmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum UI, dalam sambutannya menyambut gembira prakarsa Pusat Kajian Hukum dan Pancasila Fakultas Hukum UI, untuk memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022. “Sebagai universitas dan fakultas hukum yang menyandang nama Bangsa dan Negara, sudah pada tempatnya jika Fakultas Hukum Universitas Indonesia bergiat dalam kajian-kajian tentang Hukum dan Pancasila,” ujarnya.
Dr. Suparjo Sujadi, Ketua Puska Hukum dan Pancasila Fakultas Hukum UI, dalam sambutannya menyatakan bahwa sudah sepatutnya para akademisi hukum melakukan penelitian mendalam mengenai Pancasila. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat kedudukan Pancasila sebagai sumber dari pembangunan hukum di Indonesia. Puska Hukum dan Pancasila yang didirikan oleh para akademisi hukum Fakultas Hukum UI ingin menggali dan menyebarkan gagasan hukum dan Pancasila dalam bahasa ilmu pengetahuan.
Prof. Satya Arinanto dalam kuliah ilmiah menyatakan penelusuran mengenai hari lahir Pancasila dan siapa yang menggali Pancasila sudah menjadi perdebatan para akademisi sejak tahun 1980-an. Perdebatan akademisi ini menarik minat beliau untuk melakukan penelitian mendalam mengenai Pancasila dalam bentuk tesis ilmu hukum di UI.
“Sejak tahun 1997, kesimpulan penelitian saya sudah menemukan bahwa Bung Karno adalah penggali Pancasila. Hasil penelitian saya ini jauh sebelum Pemerintah menetapkan hari lahir Pancasila 1 Juni,” ujarnya. Prof Satya meminta agar Puska Hukum dan Pancasila dapat menindaklanjuti webinar ini dalam berbagai kegiatan penelitian dan publikasi ilmiah.
Pembicara pertama Bono Budi Priambono, MSc., menyatakan pentingnya mengiplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam tataran mikro, meso, makro. Pada tataran mikro, kita membutuhkan butir-butir penghayatan dan pengalaman nilai-nilai Pancasila sebagai panduan moral pribadi. Beliau dalam webinar ini mengusulkan suatu format baru butir-butir Pancasila. Pada tataran meso yang dilaksanakan oleh negara, kita membutuhkan hukum yang sesuai dengan Pancasila berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bono menyampaikan dalam tataran ini kita memerlukan semangat kekeluargaan dan dasar permusyawaratan dalam pembentukan hukum. Sedangkan dalam tataran makro, Pancasila merupakan proposal untuk menciptakan ketertiban dunia.
Pembicara kedua, Dr. Kris Wijoyo Soepandji, menyampaikan pentingnya memahami Pancasila dalam perspektif ilmu geopolitik. Pemanfaatan ilmu geopolitik merupakan amanat Bung Karno untuk mengerti realitas politik dunia. Beliau menyatakan letak Indonesia di posisi silang geopolitik telah membentuk masyarakat yang menerima nilai-nilai asing. Namun penerimaan ini bukan berarti kita mengikuti nilai-nilai asing tersebut. Pancasila mengharmonisasikan nilai-nilai lokal dan asing menjadi kesatuan yang harmonis. Pada tataran teknis, Pancasila dan geopolitik dapat digunakan untuk menempatkan kepentingan nasional dalam pembentukan kebijakan hukum.
Pada sesi diskusi, webinar ini mendalami bagaimana meletakkan kepentingan nasional dalam pembentukan kebijakan hukum. Kris menyampaikan kita memerlukan suatu tatanan dunia yang berkeadilan. “Kita sering ditekan-tekan oleh negara maju untuk membuat kebijakan hukum yang sesuai dengan kepentingan mereka. Kita harus telaah tekanan tersebut, itu murni untuk kepentingan bersama yang lebih baik, atau justru punya agenda lain tersembunyi,” ujarnya.
Bono menyampaikan tekanan-tekanan dalam pembentukan kebijakan hukum, tidak sesuai dengan regulasi ala Pancasila yang berdasarkan pada sila keempat. “Kebijakan publik yang baik tidak hanya berhikmah, namun juga harus bijaksana. Pada prakteknya untuk menciptakan keadilan sosial, pembentukan kebijakan hukum harus bertolak kepada pihak yang pihak lemah, yaitu: pihak yang posisinya dalam struktur ekonomi politik paling bawah,” ujar peneliti doktoral Amsterdam Institute for Social Science Research.