HERU SUSETYO, Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Laksana drama Korea (drakor), kasus (mantan) jaksa korup Pinangki Sirna Malasari ending-nya sulit ditebak dan selalu menimbulkan ketercengangan. Kasus ini juga bergenre komedi karena menghadirkan kelucuan dan keanehan dari suatu penegakan hukum yang mestinya serius.
Setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 memvonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan, banding dari Pinangki malah diterima Pengadilan Tinggi Jakpus dengan mendiskon putusan hakim PN jadi hanya empat tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurang (Republika, 14/06/2021).
Komedi berikutnya adalah jaksa menerima putusan banding dari Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan tidak akan mengajukan kasasi. Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat Riono Budisantoso mengatakan, tim penuntutan sudah mengkaji masalah hukum dan menyatakan tak lagi perlu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Juga karena putusan hakim di tingkat banding sudah sesuai dengan tuntutan jaksa di Pengadilan Tipikor tingkat pertama. Tidak ada alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 253 Ayat (1) KUHAP.
Dengan tak mengajukan kasasi ke MA, maka putusan terhadap Pinangki telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Alasan PT DKI Jakarta meng-korting hukuman Pinangki dengan sejumlah pertimbangan. Antara lain, hukuman 10 tahun penjara untuk Pinangki terlalu berat.
Mengingat saat sidang pertama, Pinangki mengakui menerima suap dan gratifikasi senilai yang dituduhkan. Lalu, karena Pinangki sudah mendapatkan hukuman lain berupa pemecatan dari institusi kejaksaan. Serta, karena Pinangki adalah perempuan yang memiliki tanggungan seorang anak balita (Republika, 05/07/2021).
Pertimbangan lainnya, Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Bahwa perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab.
Di sisi lain, putusan atas jaksa Pinangki bias gender dan menimbulkan ketidakadilan bagi terpidana korupsi yang lain.
Sepintas lalu putusan itu lumayan humanis dan pro dengan perlindungan anak dan perempuan. Di sisi lain, putusan tersebut bias gender dan menimbulkan ketidakadilan bagi terpidana korupsi yang lain.
Padahal dosa (mantan) jaksa Pinangki lumayan berat. Dalam putusan PN Tipikor, hakim memvonis Pinangki sebagai menerima suap 500 ribu dolar AS, setara Rp 7,5 miliar dari terpidana Djoko Sugiarto Tjandra, melakukan pencucian uang dan permufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.
Pemberian uang itu agar Pinangki membuat proposal fatwa MA untuk membebaskan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali 1999 tersebut. Selain terbukti menerima suap, PN Tipikor juga membuktikan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai 375,2 dolar AS atau setara Rp 5.253.905.036.
Bentuk pencucian uang Pinangki, antara lain, dengan membeli mobil BMW X5 warna biru, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter home care, pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit.
Perbuatan jahat Pinangki lainnya adalah melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejakgung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam action plan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) secara satire mengucapkan selamat kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung) karena berhasil mempertahankan vonis ringan Pinangki. MA juga dinilai ICW telah sukses menorehkan noktah hitam dalam upaya pemberantasan korupsi.
Bagi ICW, seluruh penanganan korupsi suap, pencucian uang, dan permufakatan jahat Pinangki hanya dagelan semata. Begitu banyak celah yang tak mau dibongkar oleh Kejakgung. Satu di antaranya dugaan keterlibatan pejabat tinggi di instansi penegak hukum yang menjamin Pinangki bisa bertemu dengan Joko S Tjandra (Republika, 05/07/2021).
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, keputusan jaksa tidak mengajukan kasasi adalah mencederai rasa keadilan. Ada disparitas perbedaan hukuman yang mencederai rasa keadilan.
Harusnya, hukuman Pinangki yang paling tinggi di antara Djoko Tjandra dan Andi Irfan.
Harusnya, hukuman Pinangki yang paling tinggi di antara Djoko Tjandra dan Andi Irfan. Jaksa menutup diri atas rasa keadilan. Jaksa juga mencederai logika hukum yang dibangun sendiri.
Saat Pinangki mengajukan upaya hukum banding, jaksa menyerahkan memori banding ke pengadilan tinggi yang menyatakan setuju dengan vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor, yaitu 10 tahun penjara. Kalau sekarang tidak kasasi, berarti memang kemarin mengajukan memori banding itu main-main, tidak dipertahankan.
Ia mengatakan, urusan permohonan kasasi diterima atau tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Jaksa bisa tetap mengajukan kasasi jika mau.
Drama kasus Pinangki layak disebut bergenre komedi juga karena dalam kasus yang lain vonisnya jauh berbeda. Pada September 2008, seorang jaksa Kejaksaan Agung, Urip Tri Gunawan, divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Urip dinyatakan terbukti menerima uang terkait jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bantuan itu diberikan pada Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim.
Drama kasus Pinangki layak disebut bergenre komedi juga karena dalam kasus yang lain vonisnya jauh berbeda.
Dia tertangkap basah menerima suap 660 ribu dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar dari kerabat Sjamsul Nursalim, Artalyta Suryani, pada 2 Maret 2008. Ia juga terbukti memeras dan menerima suap dari mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glenn Yusuf, melalui pengacara Reno Iskandarsyah senilai Rp 1 miliar.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis 20 tahun penjara terhadap Urip pada 28 November 2008. Sementara itu, Mahkamah Agung, pada 11 Maret 2009, menolak permohonan kasasi Urip (Kompas, 07/07/2021).
Memvonis rendah pelaku tipikor, apalagi jika sang terpidana penegak hukum adalah langkah mundur pemberantasan korupsi. Sudah cukup negeri ini terdera drama pelemahan KPK melalui perubahan UU KPK No 19 Tahun 2019 yang mengebiri banyak kewenangan KPK.
Sudah cukup 75 pegawai KPK yang idealis diberhentikan dengan drama lain bernama Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sudah wafat pula Hakim Agung legendaris Artidjo Alkostar pada 28 Februari 2021 yang terkenal ganas mempidana tinggi para koruptor. Maka, jangan tambah lagi dengan palu godam vonis rendah mantan jaksa Pinangki yang bak angin segar bagi koruptor lainnya.
Independensi peradilan
Amélie Arvidsson dan Emelie Folkesson (2010) menyebutkan, peradilan yang tidak korup merupakan syarat mendasar bagi penegakan supremasi hukum dan kemampuan untuk menjamin HAM dalam masyarakat. Peradilan harus menjadi badan independen dan adil yang memerangi korupsi, bukan sebaliknya.
Dampak korupsi yudisial sangat banyak dan merugikan negara hukum dan prinsip-prinsip fundamental, misalnya, kesetaraan, ketidakberpihakan, integritas, dan kepatutan. Korupsi peradilan mencemari keadilan dan merusak tujuan peradilan.
Dalam ranah internasional, minimal ada dua kerangka hukum independensi peradilan yang dapat menjadi rujukan: United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary 1985 dan The Bangalore Principles on Judicial Conduct 2002.
Dalam ranah internasional, minimal ada dua kerangka hukum independensi peradilan yang dapat menjadi rujukan.
Prinsip ke-6 dari United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary 1985 menyebutkan, prinsip independensi peradilan memberikan hak dan mengharuskan peradilan untuk memastikan bahwa proses peradilan dilakukan secara adil dan hak-hak para pihak dihormati.
Dalam bagian pengantar The Bangalore Principles on Judicial Conduct 2002 menyebutkan bahwa korupsi dalam peradilan adalah hal sangat serius karena hakim dan pejabat peradilan seharusnya menjadi otoritas moral dan menjadi lembaga yang dapat diandalkan serta tidak memihak. Juga, menjadi tempat masyarakat mencari keadilan ketika hak-haknya dilanggar.
Bias gender
Problem berikutnya adalah bias gender dalam keputusan tersebut. Sepintas cukup beralasan apabila dikatakan bahwa Pinangki adalah seorang ibu yang memiliki anak balita sehingga harus mendapatkan pengurangan hukuman. Namun bukankah tugas mengasuh dan membesarkan anak bukan hanya tugas ibu, tapi tugas para ayah dan para lelaki lain dalam keluarga besarnya juga?
Menariknya, kasus bias gender yang sama terjadi di AS dalam kasus Andrea James (https://fivethirtyeight.com, 30/03/2018). Andrea mengaku bersalah pada 2009 untuk empat tuduhan kriminal terkait penipuan hipotek. Ketika tiba saatnya untuk berdebat tentang hukuman, pengacaranya meminta hakim mempertimbangkan fakta bahwa putra James baru berusia empat bulan.
Tetapi jaksa keberatan. Pada akhirnya, hakim mengabaikan argumen jaksa dan menyebut keluarga sebagai alasan untuk memberi James pengurangan hukuman menjadi dua tahun penjara.
Pedoman resmi hukuman tingkat federal di AS tidak membedakan antara pelanggar perempuan dan laki-laki.
Pedoman resmi hukuman tingkat federal di AS tidak membedakan antara pelanggar perempuan dan laki-laki. Mereka sering meremehkan atau mengabaikan keadaan yang umum di kalangan perempuan, seperti peran pelaku perempuah sebagai pengasuh tunggal anak-anak (single mother) atau pelaku yang dipaksa melakukan kejahatan.
Namun hakim umumnya memberikan kompensasi ad hoc yang menyebabkan perempuan secara keseluruhan menerima hukuman yang jauh lebih pendek daripada laki-laki ketika menghadapi hukuman yang sama. Bahkan, studi pada 2015 dari University of Michigan Law School menemukan bahwa hukuman untuk pria rata-rata 63 persen lebih lama daripada hukuman untuk wanita (https://fivethirtyeight.com, 30/03/2018).
Melawan drakor dalam penanggulangan korupsi
Untuk tidak mengulangi drama lain dalam peradilan korupsi terhadap penegak hukum korupsi seperti halnya kasus Pinangki, Arvidsson dan Emelie Folkesson (2010) menyarankan beberapa strategi termasuk langkah-langkah pencegahan korupsi yudisial, seperti pendidikan, peningkatan transparansi dalam proses pengadilan, kondisi kerja yang adil bagi hakim dan personel pengadilan, kampanye informasi publik tentang korupsi, dan penerapan norma-norma antikorupsi dan standar dalam sistem nasional.
Strategi-strategi semacam itu membangun landasan yang kokoh bagi peradilan yang sehat
Apabila strategi itu tak cukup untuk membersihkan sistem peradilan dari perilaku korup, maka langkah lain harus diterapkan. Termasuk reorganisasi dan restrukturisasi sistem peradilan pidana, penguatan integritas hakim, jaksa, polisi, maupun advokat, memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk menyempitkan celah korupsi dalam sistem peradilan pidana, dan tentunya dengan kembali memperkuat KPK dan memberi ruang bagi anak-anak bangsa pemburu koruptor terbaik di negeri ini untuk kembali berkiprah.
Sumber : https://www.republika.id/posts/18343/vonis-pinangki-drakor-bergenre-komedi