Semua pihak setuju bahwa korupsi dan pencucian uang adalah tindak pidana yang bersifat luar biasa dan harus ditangani secara luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi merugikan keuangan negara. Mengganggu jalannya pembangunan dan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Maka, para pelaku Tipikor haruslah dihukum berat dan dimiskinkan. Tidak cukup dengan dipenjara, namun juga dengan memaksa mereka mengembalikan aset atau dana yang dijarahnya melalui perampasan aset dan pidana denda sesuai jumlah yang mereka ambil.
Sampai sini semua nampak wajar dan legal. Masalah muncul ketika dalam rangka memulihkan aset negara tersebut (asset recovery) penyidik melakukan penyitaan (dan lalu) perampasan terhadap apa yang dianggap sebagai ‘aset koruptor’ secara serampangan. Tak sekadar harta sang pelaku korupsi yang disita namun juga menyasar aset atau harta milik pihak ketiga yang beriktikad baik juga. Padahal, Pasal 19 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa: “Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
Contoh paling konkret dari keserampangan penyitaan/perampasan aset pihak ketiga yang beriktikad baik adalah kasus terkait tindak pidana korupsi yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI. Dalam kasus Jiwasraya, pihak ketiga yang beriktikad baik, salah satunya adalah para nasabah Asuransi Jiwa Adisarana WanaArtha (AJAW). Kisruh dengan nasabah AJAW ini bermula semenjak AJAW menyatakan tidak bisa membayar kewajibannya kepada para nasabah pemegang polis dengan alasan aset-asetnya (berupa SID –Single Investor Identification– yang berisi rekening-rekening Sub Efek) disita oleh Kejaksaan Agung RI dalam kasus perusahaan Asuransi Jiwasraya dengan tersangka utama antara lain Benny Tjokro dan Heru Hidayat semenjak Februari 2020.
Padahal, AJAW bukanlah terdakwa dalam kasus Jiwasraya, apalagi para pemegang polis. Sampai bulan Juli 2021 ini AJAW dan Direksi AJAW juga bukanlah tersangka, terdakwa apalagi terpidana. Tetapi dalam hal ini nasabah Wanaartha telah dirugikan karena tidak mendapatkan nilai manfaat polis dan juga pembayaran premi jatuh tempo. Ada kurang lebih 46 nasabah AJAW yang berhimpun dalam wadah Swanaartha (dengan jumlah kurang lebih Rp40 miliar) dan nasabah AJAW yang berhimpun dalam wadah Forsawa Bersatu sekitar 40 nasabah (dengan total nilai Rp53 miliar) yang dananya tidak bisa dicairkan. Sementara masih banyak nasabah lainnya yang tidak berhimpun di kedua wadah tersebut yang juga dananya tak dapat dicairkan.
Aset AJAW disita dan dirampas oleh negara melalui Kejaksaan Agung, sehingga operasional Wanaartha sebagai perusahaan asuransi menjadi terganggu, di mana untuk bisa membayarkan manfaat kepada nasabah dengan memutarkan dananya di pasar modal. Sebab yang dirampas adalah Sub Rekening Efek yang terdapat di dalamnya Single Investor Identification (SID) atau Identitas Tunggal Investor di Pasar Modal Wanaarta beserta Sub Rekening Efeknya (SRE). Permasalahan terjadi akibat tim Kejaksaan Agung RI ketika pemblokiran 20 Januari 2020, kemudian penyitaan 7 April 2020 dan terakhir dirampas oleh negara berdasarkan amar putusan 26 Oktober 2020.
Widyanti Wibowo (2019) menyebutkan bahwa penyitaan terhadap aset/harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu ketika aset tersebut digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, terlebih lagi ketika dilakukan perampasan guna mengembalikan kerugian negara. Salah satu yang dirugikan adalah pihak ketiga yang beriktikad baik. Karena, pihak ketiga tidak dapat menggunakan dan/atau memanfaatkan harta kekayaannya karena disita, diblokir, dibekukan untuk kepentingan pembuktian di persidangan atau dirampas berdasarkan keputusan pengadilan. Meskipun tidak ada satu pun perbuatan pihak ketiga yang dimintai pertanggungjawaban pidana terkait tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Konvensi PBB tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption) yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 memuat kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Konvensi ini menyebutkan negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik dalam hal terjadi pembekuan, penyitaan, dan pengambilan aset. Demikian pula dalam hal terjadi pengembalian ataupun perampasan aset dalam perkara tindak pidana korupsi.
Patra M. Zein (2020) mengungkapkan bahwa selama ini perlindungan hukum pihak ketiga yang beriktikad baik atas harta kekayaan dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat terbatas. Seringkali terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara pidana korupsi dan pencucian uang oleh penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Patra (2020) menyebutkan bahwa dalam sejumlah putusan perkara pidana korupsi, seringkali aset/harta kekayaan pihak ketiga tersebut dibekukan atau diblokir, dan baru dikembalikan kepada pemiliknya jika perkara sudah diputuskan (inkracht). Persoalannya, pihak ketiga yang harta kekayaannya disita tidak dapat menggunakan atau memanfaatkannya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, penyelesaian perkara pidana korupsi secara normatif rata-rata memakan waktu lima bulan di tingkat pertama; tiga bulan tingkat banding. Penyelesaian perkara lebih lama di tingkat kasasi karena butuh waktu sekitar delapan bulan. Belum lagi jika dihitung sejak tahap penyidikan, tentunya harta kekayaan atau uang yang disita akan lebih lama lagi.
Menurut Patra (2020), memang Pasal 194 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP menjamin barang bukti atau benda yang disita dikembalikan kepada pihak yang paling berhak dalam putusan pengadilan. Namun, tidak ada upaya hukum bagi pihak ketiga yang beriktikad baik untuk mempertahankan hak atas benda yang dirampas untuk negara dalam putusan pengadilan, kecuali upaya hukum keberatan dalam waktu paling lambat 2 bulan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU No.31 tahun 1999.
Nanda Sahputra Umara (2017) berpendapat bahwa bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan terhadap orang yang sebelumnya telah melakukan tindak pidana. Secara prinsip, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas mekanisme in personam (hanya terhadap orang yang didakwakan), sehingga keliru jika hakim dalam putusan ini turut menjatuhkan pidana terhadap pihak para ketiga. Atas dasar tersebut sangat perlu bagi para penegak hukum, khususnya hakim, dalam melaksanakan law enforcement harus lebih cermat dalam memperhatikan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum, sehingga tidak terjadi adanya pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.
Hal penting lain yang patut digarisbawahi adalah perlu ditambahkannya penjelasan dalam Pasal 19 ayat (1) mengenai pihak ketiga yang beritikad baik oleh DPR terhadap UU No. 31 tahun 1999 agar penegak hukum dalam melakukan tindakan terhadap pihak ketiga mempunyai kesepahaman yang sama terhadap apa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang beritikad baik, sehingga akan terwujud kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Muhammad Nur Ibrahim (2016) menyampaikan bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik dalam memperoleh kembali barang miliknya yang dirampas dalam tindak pidana korupsi telah mendapatkan perlindungan hukum sepanjang pihak ketiga mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Namun, hasil penelitian-nya menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pihak ketiga belum optimal. Sebab secara faktual Hakim tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tata cara pengajuan upaya hukum keberatan berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menimbulkan beragam penafsiran karena ketidakjelasan norma, akibatnya putusan Hakim dalam perkara keberatan pihak ketiga beritikad baik cenderung beragam bergantung penafsiran masing-masing Hakim sehingga tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Ibrahim (2016) berpendapat bahwa terdapat kekosongan hukum acara tentang tata cara pemeriksaan upaya keberatan, sehingga untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Hakim dituntut untuk melakukan terobosan hukum berupa penemuan hukum (judge made law). Apabila penyitaan dan perampasan terhadap aset/ harta benda pihak dilakukan secara brutal dan serampangan, seperti yang terjadi terhadap aset nasabah AJAW, maka yang terjadi adalah bukan penegakan hukum namun justru adalah pelanggaran hukum dan HAM. Jangan sampai terjadi penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Kriminalisasi terhadap tersangka tipikor yang terbukti bersalah wajib dilakukan. Namun jangan malah melakukan viktimisasi terhadap orang-orang yang tidak terlibat dan sama sekali tidak bersalah. Seperti halnya para Pihak Ketiga yang Beritikad Baik.
Dalam halnya tindak pidana korupsi, korban tidak langsung (indirect victims)-nya adalah negara (dan juga masyarakat). Karena korupsi membuat pembangunan menjadi terhambat dan hak-hak masyarakat terganggu. Namun dalam penyitaan dan perampasan aset pihak ketiga yang beritikad baik yang menjadi korban langsung (direct victims) adalah pihak ketiga itu sendiri. Apalagi ketika aset/harta benda yang dirampas tersebut adalah aset utama dan penunjang kehidupannya. Kelangsungan hidup sehari-hari, pekerjaan, pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraan dari sang pihak ketiga menjadi amat terdampak.
Kekosongan hukum dan kesulitan dalam memilah-milah harta asli hasil korupsi dan mana harta asli milik nasabah/ pihak ketiga yang beritikad baik adalah satu tantangan yang harus dapat diselesaikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum (rechtsvinding atau judge made law). Nilai-nilai keadian yang bersifat materiil dan substantif harus dapat digali hakim. Tidak sekedar berpatokan pada keadilan yang bersifat formal dan procedural saja.
Ridwan (2008) meyakini bahwa putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir aturan yang berlaku. Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum. Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat.’ Artinya, hukum mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.
Lalu pihak kejaksaan-pun harus konsisten dengan prinsip yang terkandung dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 jo Peraturan Kejaksaan Agung RI No. 9 tahun 2019 bahwa pelaksanaan kegiatan pemulihan aset terkait tindak pidana (kejahatan pelanggaran), dan atau aset lainnya untuk kepentingan negara/korban/yang berhak harus dilaksanakan berdasarkan asas:
- Efektif, pemulihan aset harus berhasil dilaksanakan, tepat sasaran, dan sesuai kebutuhan yang diinginkan.
- Efisien, kegiatan pemulihan aset harus dilakukan secara cepat, tidak berlarut- larut, dengan biaya sekecil mungkin, dan hasil maksimal.
- Transparan, data aset barang rampasan negara harus bisa di monitor oleh pihak terkait dan masyarakat sesuai kebutuhannya.
- Akuntabel, dapat dipertanggung jawabkan sesual peraturan perundang undangan yang berlaku.
- Terpadu, kegiatan pemulihan aset merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sarna lain dalam satu sistem, tidak terpisah pisahkan secara parsial.
Jangan sampai penegakan hukum dilakukan secara melanggar hukum. Jangan sampai kriminalisasi terhadap pelaku tipikor malah melahirkan viktimisasi terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
*)Heru Susetyo, Staf Pengajar Viktimologi dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.