Fenomena foreign terrorist fighters memerlukan kesiapan dan langkah antisipasi dari pemerintah Indonesia. Untuk memetakan masalah tersebut, Djokosoetono Research Center Fakultas Hukum Universitas Indonesia (DRC FHUI) menyelenggarakan focus group discussion yang bertajuk “Problematika & Antisipasi Indonesia dalam Menghadapi Fenomena Foreign Terrorist Fighters”. Diskusi yang merupakan inisiatif Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Attorney General’s Department Australia Government tersebut digelar pada Selasa, 5 April 2016 di ruang Budi Harsono, Fakultas Hukum UI Depok dan diikuti sekitar 30 peserta dari sivitas akademika FHUI dan universitas lain, serta dari kalangan pemerintah.
Narasumber dalam FGD ini adalah Direktur Kerjasama Bilateral Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen (Pol) Drs. Budiono Sandi, S.H., M.H., akademisi dari The University of Sydney Prof. Simon Butt, dan akademisi FHUI Gandjar Laksmana Bonaprapta, S.H, M.H. Dalam FGD yang dimoderatori oleh Nathalina Naibaho, S.H., M.H. tersebut, perwakilan dari Attorney General’s Department Australia Government yakni Mr. Cameron Gifford juga menyampaikan gambaran umum mengenai fenomena foreign terrorist fighters (FTF).
Foreign Terrorist Fighters (FTF) dapat diartikan sebagai sebuah perjalanan ke tanah asing dengan maksud terlibat dalam kegiatan, rencana atau pelatihan terorisme serta terlibat konflik bersenjata, mayoritas dari FTF termotivasi oleh ideologi. Budiono mengatakan bahwa orang Indonesia banyak yang menjadi jihadis ke Suriah, kemudian bergabung dengan ISIS dan kembali ke Indonesia. Beberapa perbuatan FTF yang diutarakan oleh Budiono adalah kasus penggorokan oleh kelompok Santoso dan pembunuhan warga sipil di Poso.
Sementara itu, berkaitan dengan penanganan terorisme, Indonesia tengah melakukan revisi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Simon Butt memaparkan polemik yang mungkin muncul pada saat ketentuan dalam draft Revisi UU Terorisme diberlakukan, terutama berkaitan dengan pencabutan kewarganegaraan yang akan dijatuhkan kepada teroris yang didasarkan pada rumusan Pasal 12B ayat (5) dan (6) revisi tersebut. Simon menyoroti pasal tersebut dari dua perspektif, yang pertama dari sisi teroris, dan kedua, dari sisi masyarakat. Dari sisi pelaku terorisme, pasal tersebut dinilai kontroversial mengingat dalam Pasal 28D ayat (4) UUD NRI 1945 dirumuskan bahwa setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Selain itu, Simon juga menambahkan pencabutan kewarganegaraan oleh pejabat yang berwenang diindikasikan sebagai bentuk pelanggaran due process of law. Sedangkan, dari sisi masyarakat, pencabutan kewarganegaraan tersebut dapat dijatuhkan kepada teroris mengingat ada kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia.
Berbeda dengan Simon yang menyoroti Pasal 12B ayat (5) dan (6), Gandjar Laksmana Bonaprapta lebih menyoroti ketentuan Pasal 12C dalam draft revisi UU Terorisme per 25 Januari 2016. Unsur pasal tersebut adalah: (1) setiap orang; (2) menyelenggarakan, melakukan, dan ikut serta; (3) pelatihan militer maupun nonmiliter secara illegal; (4) terkait tindak pidana terorisme baik nasional maupun internasional. Permasalahan dalam rumusan pasal tersebut di antaranya adalah cara menentukan atau mengindentifikasi pelatihan nonmiliter yang dimaksud dalam pasal tersebut serta delik ini tidak mencantumkan unsur kesengajaannya. Gandjar juga menambahkan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam menangani terorisme, yaitu penanganan, pencegahan dan pemberantasan terorisme yang lebih tranparan dan lawful, hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa tidak sedikit kasus terorisme yang tidak berakhir dengan proses hukum.
Dari hasil paparan dan masukan dari peserta, maka pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan kembali sanksi pencabutan hak kewarganegaraan sebagai pidana tambahan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 12B ayat (6) RUU tersebut. Selain itu, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan pencabutan paspor antara lain menyangkut perbuatan apa saja yang bisa diancam dengan sanksi pencabutan warga negara dan siapa yang dimaksud sebagai pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut juga harus diperjelas. Selanjutnya, dibahas pula akibat-akibat yang ditimbulkan dari pencabutan hak kewarganegaraan, misalnya kemungkinan yang bersangkutan menjadi stateless dan kemungkinan yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraannya kembali. Terkait isu tersebut, perlu dicermati prosedur pencabutan hak sebagai warga negara yang harus diselaraskan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006. Rekomendasi dari FGD ini adalah perlu adanya sinergi antara para stakeholders yakni BNPT, Departemen Hukum dan HAM, PPATK, Kementerian Luar Negeri, dan seluruh sub-sistem peradilan pidana.