"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Meterai dan Keautentikan Pembuktian oleh Dr. Edmon Makarim

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Meterai dan Keautentikan Pembuktian oleh Dr. Edmon Makarim

Tanggal 1 Januari 2021 akan berlaku UU No 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU Meterai).

Terlepas dari sejarahnya di beberapa negara —bahwa konsep pajak dokumen (duty-stamp) merupakan warisan kolonial masa lalu— faktanya beberapa negara masih memberlakukan untuk optimalisasi peningkatan pendapatan negara, tak terkecuali Indonesia.

Ada kekhawatiran pengenaan pajak ini akan menambah beban ekonomi dan inefisiensi dalam ekonomi digital, kecuali jika ada manfaat/fungsi lain yang dapat diperoleh publik dari kebijakan itu, antara lain pencegahan pemalsuan dokumen dan/atau dukungan fungsi keautentikan dokumen untuk kepentingan pembuktian di belakang hari.

Terlepas dari pro dan kontra, dalam kondisi sekarang negara memang butuh penerimaan pajak yang boleh jadi keberadaan bea meterai cukup esensial menambah penerimaan negara.

Perubahan UU Meterai sendiri dimaksudkan untuk memberikan simplifikasi dalam penerapannya dan hanya berlaku satu kali untuk dokumen tertentu saja. Sayangnya, ini tak menutup kemungkinan untuk perluasan lingkup keberlakuannya pada dokumen lain sebagaimana dinyatakan Pasal 3 Ayat (2) huruf (h) yang akan ditentukan kemudian dalam peraturan pemerintah (PP).

Sebagai konsekuensi hukum atas pernyataan “demi kebutuhan masyarakat” dalam konsideran ketiga, keberadaan dukungan sistem keautentikan adalah keharusan. Hal ini sesuai Pasal 2 dan Pasal 1 UU Meterai bahwa meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lain yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan Pemerintah RI, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen (Pasal 1 (4)).

Maka, sudah selayaknya sistem permeteraian harus menerapkan kaidah hukum keamanan informasi (confidentiality, integrity, availability, authorization, authenticity dan non-repudiation) menyediakan fungsi sarana pengamanan dokumen dalam proses pengautentikasian sebagai bukti di muka persidangan, baik secara kertas maupun elektronik.

Dengan kata lain, sistem permeteraian harus didukung sistem registrasi elektronik yang baik sehingga menjelaskan rantai keautentikan (chain of authenticity) sejak ia diterbitkan, dibeli dan dilekatkan pada dokumen oleh penggunanya. Juga harus sejalan dengan syarat akuntabilitas penyelenggaraan sistem elektronik menurut Pasal 15 UU Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE (andal, aman, bertanggung jawab).

Definisi Tanda Tangan menurut UU Meterai sejalan dengan definisi Tanda Tangan Elektronik (TTE), sebagaimana dinyatakan di Pasal 1 angka (3) UU Meterai bahwa Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazim dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lain sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud di UU ITE.

Keberadaan Kode Unik dan keterangan tertentu pada meterai secara elektronik (pasal 14) sesungguhnya juga merupakan TTE, yaitu informasi untuk melakukan verifikasi dan autentikasi secara elektronik (Pasal 1 UU ITE). Oleh karena itu, penyelenggara meterai secara elektronik (e-meterai) harus dikategorikan sebagai penyelenggaraan TTE dan/atau Sertifikat Elektronik (SE).

Kesahihan catatan waktu saat pembubuhan Tanda Tangan terhadap dokumen (signing) sebagai bukti saat terutangnya meterai harus dapat ditelusuri dengan baik oleh para pengguna dokumen, baik secara tersentral maupun terdistribusi.

Cukup dengan mengecek Kode Unik (nomor) Meterai akan jadi jelas secara hukum (i) kapan dan lokasi penandatanganan dokumen, (ii) bagaimana ia dikirimkan secara aman ke penerimanya, (iii) asal-usul dokumen berikut keutuhan/integritasnya, dan (iv) siapa yang menandatangani, sehingga bisa jadi alat bukti sah dan tak tertampik di persidangan.

Manfaat bagi publik

Pemberlakuan UU Meterai tentu akan dirasakan sangat bermanfaat oleh publik, apalagi jika pemerintah juga menerapkan kebijakan depositori dokumen publik sebagai sarana simpan dan penelusuran dokumen yang menggunakan meterai. Tak hanya untuk kepentingan penelusuran keautentikan dalam negeri, tetapi juga untuk dokumen lintas negara.

Hal ini akan sejalan dengan ketentuan UU Arsip yang berfokus kepada keautentikan dan keterpercayaan, karena setiap dokumen yang menggunakan meterai sebagai pendapatan negara selayaknya juga dapat dikatakan sebagai Arsip Negara.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2019). Rapat tersebut antara lain membahas pengesahan DIM RUU Bea Meterai dan BPJS Kesehatan.

Penerapan UU Meterai secara elektronik, dengan sendirinya akan mencegah pemalsuan dokumen elektronik dalam transaksi elektronik dengan mempermudah akses penelurusan terhadap riwayat keautentikan dokumen itu sendiri. Bahkan jika digunakan secara lintas negara, e-meterai bisa jadi pendukung legalisasi dokumen publik lintas negara sebagaimana diatur dalam Hague Convention 1961.

Sesuai perkembangan isu perdagangan dunia terakhir pada forum UNCITRAL, demi memfasilitasi e-dagang global, tengah dibahas model pengaturan untuk pengidentifikasian dan pengautentikasian secara elektronik (e-IDAS) yang secara yuridis terpengaruh perubahan dari European Directive on e-Signature menjadi Regulation 910/2014 on e-ID dan Trust Services.

Tak terkecuali Indonesia yang juga telah mengakomodasi sebagian isu itu dalam PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai layanan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara SE.

Selayaknya e-meterai dikenal sebagai penyelenggaraan e-seal, namun akibat pendefinisian yang kurang tepat di PP 71/2019 di mana segel elektronik diartikan sebagai penggunaan e-signature oleh korporasi, akibatnya keberadaan e-meterai yang seharusnya merupakan penyelenggaraan e-seal terpaksa harus diterapkan dengan konsep yang berbeda di Indonesia.

Demi efektivitas UU Meterai, diharapkan PP tentang e-meterai mempertimbangkan adanya dua kemungkinan model penerapan e-meterai oleh penyelenggara TTE/SE.

Pertama, penyelenggara TTE dapat membeli nomor meterai elektronik secara lunas di muka dan menggunakannya kemudian setelah proses digital signing selesai dan dokumen disetorkan ke public document repository pemerintah.

Kedua, penyelenggara TTE melaksanakan signing dan transaksi lebih dulu lalu kemudian melakukan pelaporan pelunasan permeteraian. Mereka akan mengalkulasi dan melakukan pembayaran sesuai jenis dokumen yang memerlukan pengenaan meterai.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2020/12/30/meterai-dan-keautentikan-pembuktian/

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI