Penyederhanaan sekitar puluhan UU menjadi kompilasi satu UU yang dilakukan pemerintah melalui metode omnibus law terus dikritisi berbagai kalangan. Mulai kalangan buruh, akademisi, lembaga/komisi negara, akademisi, hingga kalangan guru besar terkait kebijakan penyusunan sejumlah RUU omnibus law ini.
Saat acara diskusi Djokosoetono Research Center bertajuk “Menyikapi Omnibus Law, Pro dan Kontra RUU Cipta Lapangan Kerja” di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (6/2/2020) kemarin. Hadir sebagai narasumber diantaranya tiga guru besar yakni Prof Maria Sriwulani (SW) Sumardjono, Prof Maria Farida Indrati, Prof Satya Arinanto.
Dalam paparannya, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Maria Sriwulani (SW) Sumardjono melihat salah satu tujuan pemerintah menggulirkan omnibus law yaitu mendorong investasi. Kebijakan ini untuk mengejar visi Indonesia 2045 untuk menjadi 5 kekuatan besar ekonomi dunia. Termasuk target 2040 agar menjadi negara berpendapatan tinggi melalui sarana peningkatan investasi.
Namun, Maria mengingatkan ada 5 prasyarat yang harus dipenuhi untuk omnibus law ini. Pertama, stabilitas politik dan keamanan. Kedua, efisiensi pasar (kebijakan, aspek legal, pajak, akses ke sumber daya alam). Ketiga, pasar domestik yang besar. Keempat, kondisi dan stabilitas ekonomi makro. Kelima, infrastruktur, tenaga kerja, dan pasar keuangan.
Maria melihat gagasan pemerintah menerbitkan omnibus law untuk menyederhanakan dan harmonisasi regulasi serta perizinan. Omnibus law merupakan metode mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU. Atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU. Tercatat, pemerintah akan menyasar sekitar 80-an UU dalam omnibus law RUU Cipta Kerja.
Selain penyederhanaan regulasi, Maria menekankan harmonisasi UU sektoral juga penting karena berkaitan dengan investasi. Misalnya, sektor sumber daya alam (SDA), hampir seluruh investasi akan membutuhkan ketersediaan tanah dan SDA. Investasi yang dimaksud antara lain bidang pembangunan, pariwisata, tambang, transportasi, perkebunan, produk, dan lain-lain.
“Mendorong investasi dengan menyederhanakan regulasi dan perizinan jika tidak ditempuh bersamaan dengan harmonisasi UU sektoral sama saja menambah potensi konflik dan ketidakadilan dalam akses penguasaan dan pemanfaatan SDA bagi kelompok masyarakat di luar korporasi,” kata Maria ketika dikonfirmasi, Selasa (11/2/2020).
Hal ini juga berpotensi mengakibatkan eksplorasi SDA berlebihan dan memperparah kerusakan lingkungan. Harmonisasi regulasi sektor SDA ini, menurut Maria telah tertuang dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
TAP MPR ini menjabarkan ada UU sektoral yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain, sehingga dibutuhkan harmonisasi UU sektoral. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah dan DPR belum melaksanakan amanat TAP MPR tersebut.
Terkait SDA sebagai obyek investasi, Maria meminta program reforma agraria harus tetap terjamin pelaksanaannya secara serius. Salah satu wujudnya, RUU Hak Masyarakat Hukum Adat harus dituntaskan. Penyelesaian konflik agraria sejak era orde baru harus diselesaikan menyeluruh dengan membentuk lembaga independen penyelesaian konflik agraria yang bertanggung jawab kepada presiden.
Terakhir, Maria mengingatkan investasi yang perlu didukung yakni investasi yang adil, demokratis, berkepastian hukum, dan berkelanjutan. RUU Cipta Lapangan Kerja – saat ini disebut RUU Cipta Kerja – berpotensi menimbulkan masalah secara teoritis dan implementasi, khususnya bidang pertanahan.
“Substansinya perlu dikaji kembali agar tidak menimbulkan kesan isunya sudah ditolak dalam RUU Pertanahan. Kemudian ‘disalurkan’ melalui RUU Cipta Kerja,” kata wanita yang kini tercatat sebagai salah satu Dewan Penasihat Senior Kantor Staf Kepresidenan ini. Baca Juga: 7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja
Sementara Guru Besar Hukum Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Maria Farida Indrati dalam bahan paparannya menerangkan tradisi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini menggunakan sistem civil law (eropa kontinental). Ada keterikatan pada sumber hukum tertinggi yaitu Pancasila dan UUD RI 1945.
“Pembentukan peraturan ini diatur lebih lanjut dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan omnibus law berkembang dalam tradisi hukum common law,” tulis Maria.
Lalu, bagaimana posisi omnibus law dengan UU lainnya? Farida menyebut dalam peraturan yang ada hanya menyebut satu istilah UU yakni peraturan yang dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR atau sebaliknya yang bisa disebut UU payung (raamwet, basiswet, moederwet)?
Farida menjabarkan UU payung merupakan “induk” dari UU lainnya, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari UU “anak.” Selain itu, UU payung atau induk lebih dulu ada daripada UU “anak.”
Sedangkan UU omnibus yang bergulir saat ini, menurut Farida dimaknai sebagai UU baru yang mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk penyederhanaan berbagai UU yang masih berlaku. Menurutnya, omnibus law berbeda dengan kodifikasi yang merupakan penyusunan dan penetapan peraturan-peraturan hukum dalam kitab UU secara sistematis mengenai bidang hukum yang lebih luas. Misalnya hukum perdata, pidana, dan dagang.
Farida mencatat sedikitnya 5 hal yang perlu diperhatikan terkait rencana omnibus law. Pertama, adanya pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat. Kedua, diperlukan sosialisasi yang lebih luas, terutama untuk pejabat dan pihak terkait substansi RUU, profesi hukum, dan akademisi.
Ketiga, pembahasan di DPR harus transparan dan memperhatikan masukan dari pihak terkait RUU, dan tidak tergesa-gesa. Keempat, mempertimbangkan jangka waktu yang efektif berlakunya UU. Kelima, mempertimbangkan keberlakuan UU yang terdampak.
Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Satya Arinanto menilai omnibus law sebagai metode dalam menyusun berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia bukan hal baru. Hal ini telah dimuat dalam artikelnya berjudul “Reviving omnibus law: Legal option for better coherence” di The Jakarta Post pada 27 November 2019 lalu.“Saya telah menyebutkan contoh beberapa peraturan perundang-undangan yang proses penyusunannya mempergunakan metode omnibus law,” kata dia.
Dia memberi contoh sampai akhir rezim orde lama (1965), pemerintah telah menerbitkan 83 peraturan perundang-undangan yang mencabut 199 peraturan yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, peraturan Hindia Belanda dalam Daftar Prolegnas) yang disusun BPHN tahun 1990.
Dari hasil penelitian ini dapat dicatat sampai dengan tahun 1992 masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda (lebih kurang 400 peraturan) masih berlaku atau belum dicabut dan diganti dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Namun, dia mengingatkan dalam penyusunan omnibus law, pembentuk UU harus memperhatikan berbagai asas hukum nasional. Seperti, asas konsistensi terhadap Pancasila dan UUD 1945, konstitusionalisme, pembangunan hukum terencana dan terpadu, keterbukaan, liberalisasi, deregulasi, swastanisasi, globalisasi, kerja sama internasional, perlindungan, pelestarian, dan pengembangan. “Termasuk asas persatuan dan kesatuan, kebangsaan, kemitraan, non-diskriminasi.”