"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

The Hague Conference On Private International Law dan Kepentingan Indonesia oleh Dr. Priskila Pratita Penasthika, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > The Hague Conference On Private International Law dan Kepentingan Indonesia oleh Dr. Priskila Pratita Penasthika, S.H., M.H.

Indonesia diharapkan tidak lagi sebatas sebagai connected party di HCCH, tapi juga menjadi negara anggota HCCH.

Belum lama ini ada tiga acara bertaraf internasional yang diselenggarakan secara berturut-turut pada 8-10 Agustus 2023 mengajak komunitas hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang Hukum Perdata Internasional (HPI), mengenal lebih dekat Hague Conference on Private International Law atau dikenal dengan nama singkat HCCH. Meski HCCH adalah sebuah organisasi internasional antarpemerintah setara Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), namanya tidak sepopuler PBB setidaknya di Indonesia. Indonesia pun belum menjadi negara anggota dari HCCH. Tak jarang pula terjadi kebingungan dengan penyebutan ‘Hague Conference’ dan ‘Hague Conventions’ di kalangan komunitas hukum di Indonesia,

Pertama, The 9th Biennial Conference of the Asian Society of International Law 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Ahmad Yani. Dr. Christophe Bernasconi, Sekretaris Jenderal HCCH, menyampaikan presentasinya “The HCCH and Its Relevant for Asia”. Kedua, Dr. Bernasconi membahas mengenai “The Role of the Hague Conference on Private International Law (HCCH) in the Private International Development in Indonesia” dalam konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan Asosiasi Pengajar dan Pemerhati Indonesia untuk Hukum Perdata Internasional (APPIHPI).

Terakhir, seminar internasional bertopik “Dissemination of Apostille Services as an Efforts to Simplify the Public Documents Legalisation Process” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Dr. Bernasconi mendiskusikan salah satu instrumen HCCH, yaitu 1961 Apostille Convention yang Indonesia menjadi salah satu negara pesertanya. Tulisan ini pada dasarnya ingin memperkenalkan HCCH sebagai organisasi antarpemerintah kepada khalayak hukum yang lebih luas di Indonesia.

Hague Conference on Private International Law – Conférence de La Haye de droit international privé’ sebenarnya adalah nama resmi dari HCCH dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Dua huruf pertama dari kata ‘Hague Conference’ dan ‘Conférence de La Haye’ diambil dan digabung untuk menjadi nama singkat HCCH. Sejarah organisasi ini berawal di tahun 1893 atas prakarsa Tobias Michael Carel Asser (Nobel Peace Prize 1911). Delegasi dari 13 negara diajak berkumpul di Den Haag untuk membahas mengenai hukum acara perdata dan yurisdiksi dalam konteks HPI. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai ‘First Session of the Hague Conference’ mengenai HPI. First Session of the Hague Conference ini menghasilkan 1896 Civil Procedure Convention yang ditandatangani pada 14 November 1896 sebagai ‘Hague Convention’ pertama.

Pada tahun-tahun berikutnya, Hague Conference merundingkan dan menghasilkan konvensi-konvensi mengenai berbagai topik dalam HPI. Pada Sesi Ketujuh dari Hague Conference di tahun 1951, ada 16 negara peserta konferensi (15 negara dari benua Eropa serta Jepang sebagai satu-satunya negara dari benua Asia) menyepakati sebuah statuta, yaitu Statute of the Hague Conferece on Private International Law yang mulai berlaku pada tahun 1955. Statuta inilah yang menetapkan pembentukan sebuah organisasi antar pemerintah permanen dalam bidang HPI yaitu ‘Hague Conference on Private International Law – Conférence de La Haye de droit international privé’ (HCCH). Merujuk asal-usul sejak tahun 1893, HCCH jelas merupakan organisasi antarpemerintah tertua yang bermarkas di Den Haag, Belanda.

Tujuan dan Kerja HCCH

Seiring perkembangan waktu dan teknologi membuat dunia semakin terhubung. Namun, tiap negara tetap masih memiliki aturan hukum yang berbeda untuk interaksi antarindividu dan transaksi komersial lintas batas negara. Perbedaan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai (i) otoritas mana yang memiliki yurisdiksi, (ii) hukum mana yang berlaku, (iii) bagaimana suatu putusan pengadilan asing dapat diakui dan dilaksanakan di suatu negara, dan (iv) bagaimana mekanisme kerja sama untuk mengatasi kendala prosedur dan administrasi yudisial dalam interaksi dan transaksi lintas batas negara.

Misalnya, suami istri warga negara Amerika yang menikah di New York dan tinggal di Vietnam hendak bercerai. Pengadilan mana yang memiliki yurisdiksi untuk perceraian tersebut? Lalu, ada dua mobil bertabrakan di Singapura melukai semua penumpangnya yang ternyata warga negara Kamboja. Apakah hukum Singapura atau Kamboja berlaku dalam memutuskan ganti rugi? Jika pasangan Portugis-Brazil berkediaman di Brasilia berpisah dan sang suami membawa anak-anak mereka ke Portugal, apakah istri dapat melakukan upaya hukum jika hak asuhnya diabaikan? Contoh lain, sebuah ijazah diterbitkan di Jerman untuk dipergunakan di Filipina. Apakah ada mekanisme untuk menghindari formalitas legalisasi yang rumit di Filipina? Kemudian, bagaimana proses memanggil tergugat dan menghadirkan alat bukti yang berada di Jepang terhadap suatu sengketa kontrak komersial yang berlangsung di hadapan pengadilan Indonesia?

Tujuan utama dari HCCH adalah memberikan solusi yang disepakati secara internasional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Caranya melalui pembentukan instrumen-instrumen hukum multilateral yang—terlepas dari perbedaan berbagai sistem hukum antar negara—akan memungkinkan baik individu maupun perusahaan untuk mendapatkan perlindungan hukum yang baik.

Instrumen-instrumen hukum yang dihasilkan HCCH adalah konvensi-konvensi internasional (dikenal dengan sebutan HCCH Conventions’ atau ‘Hague Conventions’) dengan entitas negara-negara sebagai pesertanya. Selain itu, HCCH juga menghasilkan instrumen hukum dalam bentuk soft law sebagai panduan bagi negara-negara untuk mengembangkan hukum nasionalnya. Contoh dari instrumen hukum soft law yang dihasilkan oleh HCCH adalah 2015 Principles on Choice of Law in International Commercial Contracts. Instrumen ini telah menjadi sumber referensi dalam pengembangan hukum nasional dan regional di berbagai negara mengenai pilihan hukum dalam kontrak komersial internasional. Negara yang memanfaatkannya antara lain Paraguay, Uruguay, dan negara-negara di benua Amerika melalui Guide on the Law Applicable to International Commercial Contracts in the Americas (OAS Guide).

Kerja HCCH terbagi menjadi dua bagian utama Untuk mencapai tujuannnya yaitu secara normatif dan non-normatif. Pekerjaan normatif HCCH terdiri dari perundingan, pembentukan, dan penyetujuan konvensi-konvensi, protokol, serta instrumen hukum dalam bentuk soft law seperti principles yang merespon kebutuhan global.

Kerja HCCH yang bersifat non-normatif adalah melakukan usaha-usaha yang ekstensif untuk memastikan implementasi yang efektif dari instrumen-instrumen hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, HCCH terlibat dalam berbagai kegiatan setelah disetujuinya suatu instrumen hukum. Kegiatan tersebut antara lain penyelenggaraan dan partisipasi dalam berbagai konferensi dan seminar, termasuk pembentukan Komisi Khusus (Special Commission) tentang implementasi praktis dari instrumen-instrumen hukum yang dihasilkan HCCH. Bisa juga berupa publikasi mengenai penjelasan dan panduan dari instrumen-instrumen hukum yang dihasilkan HCCH. Kerja lainnya adalah menyediakan pelatihan dan bantuan teknis untuk pelaksanaan instrumen-instrumen hukum HCCH di negara-negara pesertanya.

HCCH telah menghasilkan lebih dari 40 instrumen hukum. Instrumen-instrumen hukum tersebut memberikan panduan dalam hubungan lintas batas negara untuk tiga bidang utama, yaitu (i) hukum keluarga internasional dan perlindungan anak, (ii) litigasi transnasional dan Apostille, dan (iii) hukum komersial, digital, dan keuangan internasional.

Penting untuk digarisbawahi bahwa instrumen-instrumen hukum yang dihasilkan HCCH tidak hanya memfasilitasi hubungan antar negara per se, tetapi juga memfasilitasi kebutuhan personal dan komersial warga negara dari negara-negara peserta instrumen. Karakteristik inilah yang membuat HCCH unik dan membedakannya dengan organisasi antar pemerintah lainnya seperti PBB.

Kembali pada kebingungan peristilahan sebagaimana dinyatakan di awal tulisan ini. Penyebutan “Hague Conference” merujuk pada organisasinya yang juga dikenal sebagai ‘HCCH’, sedangkan penyebutan ‘Hague Conventions’ atau ‘HCCH Conventions’ merujuk pada instrumen-instrumen hukum yang dihasilkan oleh Hague Conference/HCCH.

HCCH sebagai Organisasi Antarpemerintah

HCCH memiliki 91 anggota yang terdiri dari Uni Eropa dan 90 negara yang mewakili semua kawasan di dunia. Selain itu, terdapat pula negara-negara yang belum menjadi anggota HCCH tetapi merupakan negara peserta dari konvensi yang dihasilkan oleh HCCH. Negara-negara seperti ini disebut dengan istilah ‘connected parties’. Jangkauan kerja HCCH dengan jumlah anggota HCCH dan connected parties itu meliputi lebih dari 150 negara.

HCCH diatur dan didanai oleh anggotanya yang menjalankan wewenang melalui dua organ. Pertama adalah Council on General Affairs and Policy yang bertemu setiap tahun untuk meninjau kemajuan dan menetapkan program kerja HCCH di tahun berikutnya. Kedua adalah Council of Diplomatic Representatives yang bertemu setiap tahun untuk menyetujui anggaran dan pembagian biaya HCCH di antara para anggota.

Selain itu ada Permanent Bureau (Biro Permanen) yang dikenal dengan inisal ‘PB’ sebagai sekretariat dari HCCH yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda. Dr. Christophe Bernasconi saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal pada HCCH PB. PB bertanggung jawab antara lain atas penyelenggaraan berbagai pertemuan kerja HCCH, pelaksanaan penelitian persiapan dan perundingan, dan mendukung pengoperasian yang tepat dari instrumen-instrumen hukum HCCH. Selain berkantor pusat di Den Haag, HCCH juga memiliki Kantor Regional untuk Amerika Latin dan Karibia di Buenos Aires, Argentina dan Kantor Regional untuk Asia dan Pasifik di Hong Kong, Cina.

Bahasa Prancis adalah satu-satunya bahasa resmi yang digunakan HCCH saat awal berdiri sampai dengan tahun 1964. Lalu bahasa Inggris diadopsi sebagai bahasa resmi kedua setelah tahun 1964. Pengadopsian bahasa Inggris bertujuan untuk memfasilitasi negara-negara anggota dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang berbahasa Inggris—seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. HCCH berusaha untuk menjembatani kepentingan negara-negara dengan tradisi hukum Kontinental dan negara-negara dengan tradisi hukum Anglo Saxon. Terkini, pertemuan Council on General Affairs and Policy pada Maret 2023 memutuskan bahwa bahasa Spanyol akan menjadi bahasa resmi HCCH yang ketiga terhitung sejak 1 Juli 2024.

Indonesia belum menjadi negara anggota HCCH sampai saat ini. Namun, Indonesia adalah salah satu ‘connected parties’ di HCCH untu 1961 Apostille Convention. Konvensi ini telah berlaku untuk Indonesia sejak 4 Juni 2022.

Diskusi antara HCCH dan Pemerintah Indonesia masih terus berlangsung untuk mempererat hubungan keduanya. Indonesia diharapkan tidak lagi sebatas sebagai ‘connected party’ di HCCH. Diskusi-diskusi tersebut menjajaki peluang Indonesia untuk menjadi negara anggota HCCH termasuk juga menjadi negara peserta dari 1965 Service Convention dan 1970 Evidence Convention.

*)Priskila Pratita Penasthika, Dosen Hukum Perdata Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/the-hague-conference-on-private-international-law-dan-kepentingan-indonesia-lt64e8146302c40?page=1
About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI