"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia Oleh: Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia Oleh: Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Jevry Chrisian Harsa (24) warga Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, melaporkan sebuah rumah sakit (RS) di Semarang ke Polda Jateng terkait dugaan malpraktik. Jevry berupaya mencari keadilan atas kelumpuhan sang istri, yaitu Ningrum Santi (23), usai melahirkan anak pertama mereka. Ningrum, pada hari Jum’at tanggal 29 Mei 2020 koma dan tidak sadarkan diri di ICU. Kondisi itu berlangsung selama tiga bulan hingga akhirnya Ningrum sadar, tapi kondisinya lumpuh. Sedangkan sang bayi meninggal dunia. Jevry berusaha mencari keadilan dengan mengadukan ke Polda Jawa Tengah atas dugaan malapraktik dan mengajukan gugatan. Hal itu dilakukan karena mediasi tidak menghasilkan titik temu.

Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam praktik layanan kesehatan dan praktik kedokteran di rumah sakit sebaiknya diaplikasikan tidak menyimpang dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Hal ini disebabkan, pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam menyelesaikan sengketa layanan medis di Indonesia membutuhkan kemanfaatan sesuai asas.  

Dalam praktiknya, beberapa kali tanggung jawab hukum rumah sakit dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini nampak dari kualitas pelayanan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit yang tidak dapat berjalan secara prima. Unit Gawat Darurat Rumah Sakit adalah bagian terdepan atau ujung tombak dari rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan, sehingga baik atau buruknya kualitas pelayanan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit dapat menjadi cermin terhadap kualitas pelayanan rumah sakit.

Dalam beberapa kali kejadian, pelayanan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit tidak dapat berjalan secara baik karena ketiadaan penanggung jawab biaya terhadap pasien. (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 381/Pid/2014/PN.Tk). Padahal, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanahkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, untuk mengutamakan penyelamatan nyawa pasien dan mencegah kecacatan serta mengesampingkan uang muka pada saat memberikan pertolongan pasien dalam keadaan darurat.

Tanggung jawab hukum rumah sakit seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena masih kuatnya pola hubungan paternalistik antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Pola hubungan paternalistik merupakan pola hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam pola hubungan paternalistik ini, dokter diposisikan sebagai atasan dan pasien diposisikan sebagai bawahan. Pasien belum menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat hak, termasuk juga hak atas informasi sehingga seringkali dokter melakukan tindakan medis tanpa memberikan informasi yang memadai kepada pasien.

Pola hubungan paternalistik antara pasien dan dokter di Indonesia, sebenarnya secara berangsur-angsur mulai berubah dan mengarah kepada pola hubungan partnership setelah terjadinya Kasus Dokter S di Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah (Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 8/1980/Pid.B/PN.Pt jo Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 203/1981/Pid/PT.Smg jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 600 K/Pid/1983) dan Kasus M di Sukabumi (Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi Nomor 1/Pdt/G/1988/PN.Smi). Namun, hingga saat ini belum terwujud pola hubungan partnership yang ideal dalam hubungan antara pasien dan dokter di Indonesia.

J Guwandi dalam bukunya yang berjudul “Dokter dan Rumah Sakit” menyatakan bahwa, pada dasarnya, rumah sakit bertanggung jawab terhadap tiga hal yaitu; tanggung jawab yang berhubungan dengan duty of care (kewajiban memberikan pelayanan yang baik); tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan; dan tanggung jawab terhadap personalia.

Duty of care dapat diartikan sebagai kewajiban memberikan pelayanan yang baik dan wajar. Terlaksananya kewajiban memberikan pelayanan yang baik terkait dengan berbagai hal antara lain berkaitan dengan personalianya, karena rumah sakit sebagai suatu organisasi hanya dapat bertindak melalui tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Pelayanan yang diberikan oleh personalia rumah sakit, khususnya tenaga kesehatan, harus sesuai dengan ukuran standar profesi. Rumah sakit seharusnya bertanggung jawab apabila ada pemberian pelayanan kesehatan di bawah standar yang dilakukan oleh personalianya sehingga menimbulkan akibat yang tidak diinginkan bagi pasien.

Peraturan yang terkait dengan kewajiban ini, di antaranya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, yang mendefinisikan keselamatan pasien sebagai suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Beberapa kelalaian rumah sakit yang terkait dengan pelaksanaan duty of care terlihat dalam putusan pengadilan di antaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 381/Pid.B/2014/PN.Tk, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 577/Pdt/G/2011/PN/Jkt.Bar, Putusan Pengadilan Tiniggi Jakarta Nomor 08/PDT/2013/PT.DKI, dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 779K/Pdt/2014.

Rumah sakit harus menjamin bahwa sarana prasarana yang ada berfungsi dengan baik dan kontinu. Secara garis besar sarana yang ada di rumah sakit dapat dibagi menjadi sarana non medis dan sarana medis. Sarana non medis misalnya penyediaan kamar-kamar lengkap dengan tempat tidur, kasur, penerangan, air, listrik, serta fasilitas lainnya. Sifat dan fungsi sarana non medis sangat penting karena tidak berfungsinya sarana non medis mengakibatkan terhambatnya fungsi pelayanan di rumah sakit. Sarana medis meliputi semua perlengkapan dan peralatan medis yang diperlukan di rumah sakit. Mengingat rumah sakit adalah suatu institusi yang padat sarana dan peralatan serta merupakan konsentrasi peralatan kedokteran mulai dari yang sederhana hingga yang berteknologi tinggi. Macam dan jumlah penyediaannya tergantung pada tipe rumah sakit, kecuali untuk peralatan dasar minimum yang harus tersedia di setiap rumah sakit seperti peralatan dan perlengkapan di ruang unit gawat darurat. Di Indonesia, kasus terkait dengan tanggung jawab rumah sakit terhadap sarana prasarana yang pernah menjadi perhatian masyarakat di antaranya adalah: kasus hilangnya bayi di sebuhan rumah sakit di Bandung tahun 1987, kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan operasi di sebuah rumah sakit di Bengkulu tahun 2001, kasus bayi D yang meninggal dunia karena tidak mendapatkan penanganan yang memadai Unit Gawat Darurat sebuah RS Jakarta Barat tahun 2017.

Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatannya mengandung pengertian bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dari tenaga kesehatan yang bekerja. Hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter pada dasarnya terbagi menjadi dua pola, yaitu pola hubungan perburuhan di mana dokter menjadi karyawan atau pegawai tetap dari rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter in) dan pola hubungan perjanjian atau kemitraan di mana dokter bekerja secara mandiri dan berperan sebagai mitra rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter out). Perwujudan pola hubungan kemitraan ini di antaranya adalah Dokter Part TimerVisiting Dokter atau Dokter Tamu; Dokter yang bekerja secara full timer di suatu rumah sakit, tetapi bukan merupakan pegawai tetap rumah sakit. Apapun bentuk pola hubungan antara dokter dan rumah sakit, dokter merupakan profesi yang mempunyai kemandirian dan independensi dalam melaksanakan profesi serta menerapkan keilmuannya.

Mayoritas masyarakat Indonesia mengasumsikan bahwa kegagalan tindakan medis merupakan malpraktik dan bahkan mempersamakan kegagalan tindakan medis dengan tindak pidana. Hal ini tidak sepenuhnya tepat karena dalam tindak pidana, yang dititikberatkan adalah akibat dari tindak pidana. Sedangkan di dalam tindakan medis, yang menjadi titik berat adalah proses. Oleh karena itu, karakteristik dari tindakan medis adalah inspanningsverbintennis (perikatan yang menitikberatkkan pada upaya maksimal) dan bukan resultaatsverbintennis (perikatan yang menitikberatkan pada hasil). Meskipun demikian, dalam menerapkan upaya maksimal, terdapat parameter yang harus dipatuhi, yaitu Standar Profesi Kedokteran.

Alfred Ameln dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Hukum Kedokteran” dan HJJ Leenen dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie” menjelaskan unsur Standar Profesi Kedokteran yang meliputi: Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama); Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis); Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama); Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama); Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut). Kegagalan dalam tindakan medis dapat diproses secara pidana apabila memenuhi unsur: menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran; mengandung culpa lata (kelalaian berat); dan menimbulkan akibat yang fatal atau serius. Hal tersebut juga dapat diproses secara perdata apabila memenuhi unsur: menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran; mengandung culpa, meskipun hanya culpa levis (kelalaian ringan); ada kerugian; ada hubungan kausal antara kegagalan tindakan medis dengan kerugian.

Tanggung jawab rumah sakit di Indonesia diatur dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Ada dua makna yang terkandung di dalam pengaturan ini. Pertama, rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap kesalahan yang bersifat kelalaian dan bukan kesalahan yang bersifat kesengajaan. Hal ini dikarenakan, kesalahan yang bersifat kesengajaan merupakan perbuatan yang digolongkan sebagai kriminal karena terdapat mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana).

Kedua, kelalaian tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan pada saat atau dalam rangka melaksanakan tugas yang diberikan oleh rumah sakit. Pertanggungjawaban yang terpusat kepada rumah sakit juga dipertegas di dalam Pasal 32 (q) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak, salah satunya adalah menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.

Pola pertanggungjawaban hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap tenaga kesehatan non dokter, tetapi berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap dokter. Hal ini dikarenakan status dokter di rumah sakit beraneka ragam. Akibatnya adalah beberapa kali terjadi ketidakkonsistenan dalam putusan pengadilan dalam menyikapi pola tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap dokternya, misalnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 614/PDT/2016/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonensia Nomor 42 K/Pdt/2018 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia 352/PK/PDT/2010. Pengaturan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.

Pada dasarnya, rumah sakit secara hukum bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Hal ini sejalan dengan Doktrin Vicarious Liability.  Dalam perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability bercabang menjadi Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency. Doktrin Respondeat Superior membatasi pertanggungjawaban rumah sakit hanya terhadap dokter in. Sedangkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency memperluas pertanggungjawaban rumah sakit terhadap dokternya, baik dokter in maupun dokter out. Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh pengacara rumah sakit untuk membela rumah sakit dan membatasi pertanggungjawabannya. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit.

Munculnya berbagai penafsiran mengenai pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan perkembangan Doktrin Vicarious Liability, dalam beberapa hal menyebabkan ketidakkonsistenan pada putusan pengadilan. Tentunya, hal ini menjadi beban, khususnya bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI