"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam UU Kesehatan Masih Bermasalah Oleh Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit dalam UU Kesehatan Masih Bermasalah Oleh Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Seharusnya, sifat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit tidak hanya meliputi ruang lingkup yang luas, tetapi juga bersifat terpusat, yaitu memposisikan rumah sakit sebagai pusat atau poros dalam pola pertanggungjawaban hukum.

Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar pada hari Selasa tanggal 11 Juli 2023. UU Kesehatan ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku 11 undang-undang dalam bidang kesehatan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit).

Terkait dengan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit, hal ini diatur dalam Pasal 193 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa, “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaianyang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.” Sedangkan, Pasal 46 UU Rumah Sakit menyatakan bahwa, “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.”

Hal mendasar yang dapat disimpulkan dari pola pertanggungjawaban tersebut adalah ruang lingkup pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam UU Kesehatan lebih luas dibandingkan dengan ruang lingkup pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam UU Rumah Sakit. Apakah hal ini dapat menyelesaikan permasalahan? Menurut Penulis, hal ini justru berpotensi untuk mengulang permasalahan yang pernah ditimbulkan dalam implementasi UU Rumah Sakit terkait dengan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagaimana yang mewarnai beberapa putusan pengadilan dalam tahun 2010-2022.

Pola pertanggungjawaban hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap tenaga kesehatan non dokter (non tenaga medis), tetapi berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap dokter (tenaga medis). Hal ini dikarenakan status dokter di rumah sakit beraneka ragam. Ada pihak yang membatasi pertanggungjawaban hukum rumah sakit hanya terhadap dokter tetapnya (menerapkan doktrin Respondeat Superior). Ada juga pihak yang memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap seluruh dokternya tanpa peduli status atau hubungan hukum antara dokter dan Rumah Sakit (doktrin Ostensible atau Apparent Agency).

Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh pengacara rumah sakit untuk membela rumah sakit dan membatasi pertanggungjawabannya. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Akibatnya, doktrin Respondeat Superior dan doktrin Ostensible atau Apparent Agency seringkali bertempur di pengadilan. Hal ini terlihat di dalam beberapa putusan pengadilan, di antaranya adalah: Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.BDG, Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 97/Pdt.G/2014/PN.Plg, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 312/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL, Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk, Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 256/PDT/2015/PT.BDG, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/PDT/2016/PT BDG, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3571 K/Pdt/2015, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1366 K/Pdt/2017.

Pembatasan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam implementasinya berdasarkan pada tiga hal sebagai berikut:

  1. Rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap dokter tetapnya. Rumah sakit tidak bertanggung jawab terhadap dokter tidak tetap yang melakukan tindakan medis di rumah sakit (Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352/PK/PDT/2010);
  2. Rumah sakit hanya sebagai penyedia sarana dan prasarana, bukan sebagai pengendali atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan ranah kewenangan dan perwujudan ruang lingkup profesionalitas dari dokter. (Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352/PK/PDT/2010, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI, Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 38/Pdt.G/2016/PN Bna, Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 111/PDT/2010/PT BNA);
  3. Hubungan hukum antara rumah sakit dan dokter merupakan hubungan yang berbentuk kerja sama atau kemitraan, di mana dalam hubungan tersebut tanggung jawab hukum rumah sakit sangat terbatas, yaitu rumah sakit hanya menyediakan fasilitas (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby).

Di sisi lain, perluasan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam implementasinya didasarkan pada tujuh hal, yaitu sebagai berikut:

  1. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokternya, meskipun merupakan dokter tidak tetap atau dokter visit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752 K/Pdt/2007, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352 PK/Pdt/2010, Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk);
  2. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokter yang melaksanakan tindakan medis di dalam lingkungan rumah sakit, tidak peduli apapun status pekerja atau hubungan kerja antara dokter dan rumah s Bentuk dan sifat hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit tidak relevan bagi pasien karena hal tersebut merupakan hubungan internal antara dokter dan rumah sakit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752 K/Pdt/2007, Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 352 PK/Pdt/2010);
  3. Rumah sakit mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dokter (Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 630/Pdt.G/2015/PN.Bks, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 462/Pdt/2016/PT.BDG, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1366 K/Pdt/2017, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst);
  4. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokternya karena terdapat hubungan hukum antara rumah sakit dan dokter serta Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dibuat oleh rumah sakit sebagai penjaminan mutu terhadap dokter dan tindakan medisnya. (Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI);
  5. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kompetensi dan kewenangan dokter yang bekerja di rumah sakit (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim, Putusan Pengadilan Negeri Madiun Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad);
  6. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kualitas sarana prasarana rumah sakit (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 779 K/Pdt/2014);
  7. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan dokter melalui Dewan Pengawas Rumah Sakit (Putusan Pengadilan Negeri Sangatta Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt).

Dapat disimpulkan, pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam UU Rumah Sakit dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Seharusnya, sifat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit tidak hanya meliputi ruang lingkup yang luas, tetapi juga bersifat terpusat, yaitu memposisikan rumah sakit sebagai pusat atau poros dalam pola pertanggungjawaban hukum. Seharusnya, jika peraturan diterapkan secara konsisten, gugatan pasien kepada rumah sakit hanya ditujukan kepada rumah sakit dan tidak perlu mengikutsertakan dokter yang melakukan tindakan medis karena dokter tersebut merupakan bagian dari rumah sakit serta sedang dalam melaksanakan tugas terkait dengan kepentingan dan kewajiban hukum rumah sakit (Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor 22/PDT/2020/PT PTK, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 86/Pdt.G/2020/PN Pwt, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 215 K/Pdt/2014, Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb). Pola pertanggungjawaban hukum secara terpusat dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit, yaitu agar rumah sakit mengutamakan profesionalitas dalam menjalankan operasional atau bisnisnya. Sedangkan, bagi dokter dan pasien, pola pertanggungjawaban tersebut dapat memberikan kepastian hukum (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 779 K/Pdt/2014).

Seharusnya ada dua hal yang ditegaskan di dalam UU Kesehatan mengenai pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Pertama, ruang lingkup tanggung jawab hukum rumah sakit. Kedua, sifat yang terpusat dari pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit. UU Kesehatan Pasal 193 seharusnya menyatakan bahwa, “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum dan terpusat terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.”

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/tanggung-jawab-hukum-rumah-sakit-dalam-uu-kesehatan-masih-bermasalah-lt64d45dfd60840/?page=2

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI