"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Talasemia Mayor dan Tindakan Penghentian Kehamilan, Sebuah Dilema Oleh Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Talasemia Mayor dan Tindakan Penghentian Kehamilan, Sebuah Dilema Oleh Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Pada 8 Mei 2023 lalu, dunia (termasuk Indonesia) memperingati Hari Talasemia. Tema Hari Talasemia Sedunia tahun 2023 adalah “Be Aware, Share, Care: Strengthening Education to Bridge the Thalasemia Care Gap”. Salah satu makna yang terkandung di dalam tema tersebut adalah mengenai pentingnya edukasi dan deteksi dini untuk meminimalisir kejadian talasemia (khususnya talasemia mayor) dan mewujudkan generasi yang bebas talasemia.

Talasemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah genetik yang cukup banyak diderita oleh masyarakat di dunia. Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk talasemia dunia, artinya negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) talasemia yang tinggi. Eijkman Institute for Molecular Biology membedakan talasemia menjadi talasemia mayor, talasemia intermedia dan talasemia minor.

Talasemia mayor merupakan manifestasi klinis talasemia yang paling berat. Penderita talasemia mayor membutuhkan transfusi darah pada rentang usia 6-24 bulan dan berkelanjutan sampai seumur hidupnya. Rutinitas transfusi darah talasemia mayor berkisar antara 2 minggu sekali sampai 4 minggu sekali selama seumur hidup.

Gejala talasemia mayor secara umum muncul pada usia 3 sampai 6 bulan awal pertumbuhan bayi atau setidaknya pada bayi di bawah tiga tahun (batita). Gejala awalnya adalah keadaan pucat di kulitnya terlihat pada bagian telapak tangan, mata bagian kelopak mata sebelah dalam, daerah perut, dan semua permukaan kulit. Lambat laun bayi akan terlihat lebih lemas, tidak begitu aktif, dan tidak bergairah menyusu. Bayi akan mengalami kegagalan untuk berkembang secara normal dan menjadi semakin pucat.

Penyebab kematian tertinggi pada penderita talasemia mayor adalah gangguan jantung yang termasuk didalamnya adalah kardiomiopati (penyakit akibat kelainan di otot jantung yang ditandai dengan melemahnya kemampuan jantung untuk memompa darah). Tercatat bahwa 70% kematian pasien talasemia mayor disebabkan karena defek pada otot dan gangguan irama jantung, heart dysfunction, aritmia, atau gabungan hal tersebut.

Talasemia intermedia terjadi akibat kelainan pada 2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibunya. Gejala awal dari talasemia intermedia bisa terjadi pada usia belasan tahun, atau bahkan pada usia dewasa. Secara klinis, talasemia intermedia menunjukkan gejala dan tanda yang sama dengan talasemia mayor, tetapi lebih ringan dari talasemia mayor.

Penderita talasemia intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi darahnya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Namun, pada keadaan tertentu, keadaan intermedia dapat jatuh ke keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang cukup banyak, atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi seperti keadaan infeksi yang menahun, kanker atau keadaan klinis lain yang melemahkan sistem fisiologis hematologi atau sistem darah. Dalam kondisi seperti ini, talasemia intermedia berpotensi menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal, pankreas, dan limpa

Penderita talasemia minor tidak memerlukan perawatan khusus dan hanya mendapatkan sejumlah obat penambah hemoglobin. Namun, penderita talasemia minor merupakan pembawa sifat dengan fenotipe asimtomatik (asimtomatik = suatu kondisi penyakit yang sudah positif diderita, tetapi tidak memberikan gejala klinis apapun terhadap orang tersebut) yang memiliki gen mutan dan berpotensi menurunkannya kepada keturunannya. Oleh karena itu, talasemia minor dapat juga disebut sebagai pembawa sifat, traits, atau karier talasemia.

Karier talasemia tidak memperlihatkan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini dikarenakan abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua kromosom yang dikandungnya, sedangkan satu gen yang normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses sistem hematopoiesis (hematopoiesis = produksi, perkembangan, diferensiasi, dan pematangan semua sel darah dalam tubuh) yang cukup baik.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kasus talasemia (khususnya adalah talasemia mayor) di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2012 terdapat 4.896 kasus talasemia mayor. Jumlah tersebut kemudian naik secara signifikan di tahun 2019 dan menjadi 10.555 kasus talasemia mayor. Pada tahun 2020, jumlah kasus talasemia mayor di Indonesia bertambah lagi menjadi 10.955 kasus dan pada tahun 2021, kasus talasemia mayor di Indonesia meningkat lagi menjadi 10.973 kasus.

Diperkirakan, 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia mayor setiap tahunnya di Indonesia. Pada tahun 2019-2020, Propinsi Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar kasus talasemia mayor di Indonesia dengan 3.636 kasus, kemudian disusul oleh Propinsi DKI Jakarta dengan 2.200 kasus dan Propinsi Jawa Tengah dengan 937 kasus. Rerata, 3-10 persen populasi Indonesia membawa sifat talasemia.

Beberapa catatan yang dapat diberikan dalam hari peringatan Talasemia Sedunia adalah sebagai berikut:

  1. Mewujudkan Pemerataan Akses Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Diagnosis kasus talasemia di wilayah Indonesia timur masih rendah. Hal ini disebabkan karena sebaran dokter yang terbatas, khususnya dokter spesialis anak. Hingga saat ini, Pemerintah sedang dan terus mempersiapkan dokter untuk ditugaskan ke sejumlah daerah pelosok di Indonesia. Kasus talasemia yang terdeteksi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara, misalnya, hanya 11-16 kasus pada tahun 2020. Hal ini disebabkan karena jumlah dokter yang terbatas, baik dokter umum maupun dokter spesialis anak, dan tidak memadainya fasilitas kesehatan untuk mendiagnosis talasemia.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, saat ini rasio dokter per 1.000 penduduk di Indonesia mencapai 0,4. Kondisi ini masih jauh dari rasio di negara-negara Asia yang reratanya mencapai 1,2 per 1000 penduduk dan negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan 3,2 dokter tersedia untuk tiap 1.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia memiliki rerata 1,18 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk, sementara rerata di negara-negara Asia memiliki rasio 3,3 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk, rerata negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mencapai 4,8 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk.

Dari sekitar 27.700 fasilitas kesehatan primer yang ada di Indonesia, sebanyak 22.764 fasilitas kesehatan primer telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan pada Juli 2021, dan terdapat 23.430 fasilitas kesehatan primer yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di akhir tahun 2021. Total jumlah Puskesmas di Indonesia sampai dengan bulan Desember 2019 adalah 10.134 Puskesmas, terdiri dari 6.086 Puskesmas rawat inap dan 4.048 Puskesmas non rawat inap. Rerata dalam tiap tahun, jumlah Puskesmas bertambah 70 Puskesmas.

Rasio Puskesmas berbanding kecamatan pada tahun 2019 secara nasional adalah 1,4. Artinya, rata-rata dalam 10 kecamatan terdapat 14 Puskesmas. Namun, 16 dari 34 provinsi memiliki rasio di bawah rerata nasional. Rasio Puskesmas per kecamatan di Provinsi DKI Jakarta 7,16 sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki tantangan geografis yang sulit untuk dijangkau, akses informasi yang amat terbatas, rendahnya infrastruktur dasar, serta keterbatasan sumber daya lainnya dan isu sosial ekonomi. Demikian pula Provinsi Kalimantan Utara yang merupakan wilayah pedalaman dengan keterbatasan sarana dan prasarana termasuk listrik, air, hingga ketersediaan obat-obatan. Ada 118 kecamatan di Propinsi Papua, 44 Kecamatan di Propinsi Papua Barat, 4 Kecamatan di Provinsi Sumatera Selatan, 3 Kecamatan di Propinsi Kalimantan Utara, 2 Kecamatan di Provinsi Sulawesi Utara, dan masing-masing 1 Kecamatan di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak memiliki Puskesmas. Dari 7.252 kecamatan di seluruh Indonesia, masih ada 171 kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.

  1. Implementasi Hukum yang Menimbulkan Dilema

Pasal 75-77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), pada intinya mengatur mengenai tindakan penghentian kehamilan atau aborsi. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan tindakan penghentian kehamilan atau aborsi. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 75 UU Kesehatan. Namun, dalam beberapa hal, tindakan penghentian kehamilan atau aborsi diperkenankan. Salah satunya adalah apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Ketentuan ini dipertegas di dalam Pasal 32 (b) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kesehatan Reproduksi) yang pada dasarnya menyatakan bahwa salah satu kriteria untuk menentukan indikasi kedaruratan medis adalah kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Talasemia mayor merupakan manifestasi klinis talasemia yang paling berat. Penderita talasemia mayor membutuhkan transfusi darah pada rentang usia 6-24 bulan dan berkelanjutan sampai seumur hidupnya. Apakah talasemia mayor merupakan salah satu indikasi kedaruratan medis sebagaimana yang dimaksud di dalam UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi? Ternyata, kedua peraturan tersebut tidak menyatakannya secara tegas dan menyerahkannya kepada tim kelayakan aborsi untuk menentukannya. Tim kelayakan aborsi ini paling sedikit terdiri dari dua orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.

Peraturan tersebut dilematis bagi dokter karena bertentangan dengan etika kedokteran. Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia secara tegas menyatakan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani. Butir ke-6 dari Sumpah Dokter, secara tegas menyatakan bahwa, Demi Allah saya bersumpah, bahwa: …………… Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan. Dokter wajib untuk mematuhi sumpahya, sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa, “Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter.”

Dilematis antara etika dan hukum dalam profesi dokter ini, merupakan suatu hal yang terus terjadi hingga saat ini, tak lekang oleh waktu.

  1. Promotif (Edukasi) dan Preventif (Skrining) sebagai Garda Depan Penanggulangan Talasemia

Edukasi masyarakat tentang penyakit talasemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan. Penyakit tersebut, terutama adalah talasemia yang mempunyai frekuensi karier cukup tinggi. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal talasemia. Media massa dapat berperan lebih aktif menyebarluaskan informasi tentang talasemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.

Skrining pembawa sifat atau karier talasemia dilakukan sebelum menikah atau disebut dengan pre-marital screening. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta skrining bila mereka teridentifikasi karier talasemia serta implikasinya.

*)Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/talasemia-mayor-dan-tindakan-penghentian-kehamilan–sebuah-dilema-lt64996237791aa/?page=all

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI