SWAG, Agar Menulis Menjadi Produktif
Isu hoaks kian marak di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang berpotensi merusak pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda. Masyarakat dituntut memiliki pemikiran yang kritis, cerdas, dan terbuka. Tak hanya itu, generasi muda juga dapat ikut andil dalam membangun pola pikir tersebut melalui tulisan.
Atas dasar pemikiran itulah, Student Care menggelar acara Creative Writing Talkshow bertajuk “SWAG! Smart Writing to Aid Our Generation” di Aula Universitas Paramadina. Sabtu [9/9). Talkshow yang menyasar pelajar dan anak muda tersebut menghadirkan beberapa penulis dan blogger, seperti Darwis. Tere Liye. Muthia Zahra Feriani, dan Irfan Aulia Syaiful.
Direktur Student Care Teguh Gumilar mengatakan, kegiatan itu bertujuan memfasilitasi para pelajar yang hobi menulis agar makin produktif. Acara juga mengandung misi untuk memicu anak-anak muda agar terus menggali ide-ide menulis yang kritis, kreatif, dan berani mengungkapkan gagasan-gagasan yang dimiliki. Diharapkan, dari komunitas itu muncul konten-konten positif lewat blog, artikel, ataupun buku-buku.
Teguh berharap, talkshow kepenulisan tersebut juga mampu meningkatkan kemampuan para penulis. Tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tulisan-tulisan yang diproduksi juga dapat menginspirasi orang lain. Sebelum talkshow SWAG. Teguh menjelaskan, sudah dilakukan kelas mentoring online. Peserta mentoring berkisar 120-150 orang dengan rentang usia mulai dari siswa SMP sampai bangku kuliah.
“Kita mungkin punya passion dan tujuan berbeda dalam menulis, ada yang sekadar curhat, ada yang reflektif, tapi harapannya dari tulisan kita bisa menginspirasi orang lain.” kata Teguh Gumilar kepada Republika di Jakarta.
Tidak berhenti sampai di sini. Teguh melanjutkan. Student Care akan memfasilitasi peserta lewat mentoring online ataupun pertemuan langsung dengan menggandeng para penulis dan blogger yang sudah berpengalaman. Pihaknya juga akan membantu menghubungkan penulis dengan penerbit. Menurut Teguh, dari profil peserta, beberapa orang sudah menjadi blogger aktif ataupun mempunyai naskah buku.
“Kami ada mentoring online untuk menunjang apa yang mereka butuhkan, kemudian yang kedua kami ada field trip ke media untuk melihat proses penulisan kreatif,” kata Teguh. Hal itu dimaksudkan untuk membuat suatu komunitas menulis yang berkesinambungan.
Blogger Muthia Zahra Feriani menceritakan pengalamannya menerbitkan buku secara indie. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) itu menceritakan, pada 2014 lalu karyanya sempat ditolak oleh tiga penerbit besar di Indonesia. Padahal, dia sangat ingin mempunyai buku. Menerbitkan buku lewat jalur indie, kata Muthia adalah solusi.
“Tahun 2014, saya menulis buku kumpulan cerpen berisi 20 cerpen tentang percaya dan tidak percaya cinta, saya terbitkan secara indie. Saya menulis sendiri dan menerbitkan sendiri,” kata Muthia.
Menurut dia, banyak penulis yang menjadi malas menulis ketika ditolak penerbit.Tetapi, bagi Founder Logika Rasa itu, momen penolakannya justru menjadi titik balik dalam dunia kepenulisan. Muthia meyakini, setiap tulisan akan bertemu dengan pembacanya. Karena itu, dia memotivasi para pelajar untuk tetap semangat menulis.
“Kekuatan industri kreatif harus dimaksimalkan.”
Setelah mempromosikan tulisan-tulisan awalnya lewat blog, Muthia melanjutkan, dia mengikat pembacanya dengan film pendek dan soundtrack. Hasilnya, 200 eksemplar buku terjual dalam empat hari ketika ia membuka pre-order untuk kumpulan cerpen perdananya. Bukunya bahkan terjual 1.000 eksemplar dalam tiga bulan.
Salah satu peserta, Nisa Amalia (17 tahun), mengatakan, dia ingin mengembangkan bakat kepenulisan dan belajar dari penulis-penulis yang sudah berpengalaman lewat acara ini.
“Jadi, tambah semangat nulis, percaya diri, nggak berhenti menulis,” kata siswi kelas XII SMA Alquran Al Ihsan Jakarta Selatan yang akrab disapa Icha. lcha mengaku kerap merasa tidak percaya diri dalam menulis.
Siswa SMA PGRI 4 Jakarta Timur Panji Kusworo (18) mengaku tertarik dengan materi tentang karakter kepenulisan dan emosi pembaca. Menurut dia, pemahaman tentang emosi pembaca bermanfaat untuk survei pasar sebelum penulis menerbitkan buku. “Kalau kita tahu emosi pembaca, tentu bisa menarik perhatian para pembaca juga agar buku kita laku di pasaran,” kata Panji.
Sumber: Republika