MASYARAKAT ADAT & KEINDONESIAAN
NKRI bukan satu-satunya “nation”, karena di Nusantara ini terdapat “nation” lain yang kecil, tua, berbasis kesukubangsaan. “Nation” kecil itulah masyarakat adat dengan kebudayaannya sendiri. Mereka pemangku pengelolaan sumberdaya alam dan pengetahuan lokal tentang obat-obatan dan pangan, yang menjadi kebutuhan dasar kita bersama. Namun justru sejak Indonesia merdeka 1945, terjadi pembiaran dan peminggiran terhadap masyarakat adat. Mereka mengalami ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, dan kehilangan keragaman hayati. Jika kondisi ini dibiarkan, besar kemungkinan penguasaan sumber kekayaan alam oleh asing tinggal tunggu waktu (Kompas, 25/5/2016). Masyarakat adat adalah Indonesia, kehancuran mereka dengan pengetahuan dan kekayaannya adalah kehilangan Indonesia.
Sungguhpun masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke memiliki budaya beragam, tetapi terdapat kesamaan pola peminggiran terhadap mereka. Pertama, inkonsistensi hukum. Di satu sisi terdapat sejumlah instrumen hukum termasuk Konstitusi, yang mengakui keberadaan mereka. Namun sejumlah kebijakan dan produk hukum lain menyangkal keberadaan mereka.
Kedua, ketiadaan identitas hukum sebagai penghayat. Kebudayaan masyarakat adat berkelindan dengan kepercayaan/agama asli, tetapi justru itulah mereka dipolitisasi sebagai “liyan”. Agama mereka di KTP dikosongkan; negara menolak mencatatkan perkawinan mereka dan tidak mengeluarkan surat kawin. Anak-anak mereka tidak memiliki akta lahir, kalaupun mengurusnya untuk keperluan sekolah, maka statusnya ditulis “anak luar kawin”. Di sekolah anak-anak mendapat stigma sebagai anak “aliran sesat”, dikeluarkan dari kelas pelajaran agama, atau tidak mendapat penilaian yang obyektif.
Ketiga, kehilangan hak sipil. Bila ada yang menjadi pegawai negeri, meskipun menikah tetapi statusnya lajang, karena ketiadaan surat kawin. Apabila menjadi saksi di pengadilan, biasanya dalam sengketa mempertahankan tanah ulayat, maka kesaksian warga adat bisa diabaikan oleh hakim. Sebagai penghayat, tidak termasuk agama resmi negara, tidak bisa disumpah sebagai saksi, dan mereka dianggap tidak memiliki legalitas hukum. Tidak mengherankan jika mereka banyak dikalahkan dalam sengketa tanah ulayat.
Keempat, kehilangan ruang hidup demi pembangunan. Tanah ulayat bersifat kepemilikan komunal, dan tidak mengenal pewarisan individual. Tanah tidak boleh dipindahtangankan demi keberlangsungan hidup bersama, sungguhpun boleh dikelola untuk kesejahteraan warga. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah komunal adalah batas-batas alam yang saling diakui dan dihormati sesama komunitas adat. Karakter hukum adat ini tidak diakui negara karena atributnya berbeda dengan hukum negara (hukum Barat) yang legal formal. Akibatnya, atas nama pembangunan dan modernisasi negara bisa mengubah tanah ulayat menjadi hutan lindung, hutan negara, hutan komersial dan pertambangan. Warga adat yang ratusan tahun hidup di tanah leluhur mendadak berstatus sebagai perambah hutan; karena ruang hidupnya berubah menjadi kebun sawit atau wilayah komersial. Anak perempuan terpaksa menyingkir dari kampungnya menjadi penyintas kemiskinan sebagai buruh migran atau menjadi korban perdagangan perempuan.
Dalam negara hukum (rule of law), memiliki identitas hukum adalah hak asasi. Tidak memberikan identitas hukum kepada warganegara atas dasar apapun adalah pelanggaran hak asasi manusia. Validitas statistik kependudukan yang dibuat negara dengan ini dapat dipertanyakan karena dengan sengaja menghilangkan catatan atas keberadaan mereka. Padahal semua program dan kebijakan pemerintah didasarkan pada data statistik tersebut. Jumlah mereka tidak kecil, setidaknya dari kategori kepercayaan saja, Kemendikbud mencatat ada 1035 organisasi penghayat (2014), tetapi ada banyak lagi yang tidak berorganisasi.
Persinggungan masyarakat adat dan kaum penghayat dinyatakan oleh pendiri bangsa kita seperti Mr. Soepomo. Masyarakat adat memiliki sifat magis relijius, kebersamaan, tunai dan konkrit. Sifat magis-relijius mengacu pada keberadaan mereka yang erat dengan keyakinan tentang kesatuan diri dengan Sang Pencipta dan alam semesta (agama asli); yang adalah bagian dari kebudayaan. Mengapa generasi setelah kemerdekaan justru menegasikan kebudayaan masyarakat adat ?
Perebutan Ruang Hidup.
Konflik tanah ulayat berkelindan dengan konflik agraria yang begitu masif, dan berpotensi menjadi konflik laten di kemudian hari. Selama 2015 saja terdapat 252 konflik agraria meliputi 108.714 hektar dan melibatkan 400.430 kepala keluarga. Konflik tertinggi yaitu 127 ada di sektor perkebunan, kemudian pembangunan infrastruktur, kehutanan, pertambangan, pertanian, dan pesisir kelautan (KPA, 2016). Tidak banyak sengketa tanah ulayat yang dibawa ke pengadilan. Budaya menghindari sengketa, ketiadaan kekuasaan, stigma sebagai “liyan”; menyebabkan banyak sengketa tidak diselesaikan, dibiarkan, menjadi konflik yang kronis.
Dari sedikit yang dibawa ke pengadilan, gambarannya adalah sengketa tanah ulayat Akur Urang di Cigugur Kuningan, yang sebagian besar warganya penghayat Sunda Wiwitan. Mereka mempertahankan tanah ulayat dari korporasi yang mengincar kekayaan alam gunung Ciremai, dan berbagai pihak yang bertujuan menghapuskan masyarakat adat. Dalam proses persidangan terlihat isu sengketa tanah ulayat dipolitisasi menjadi isu “ aliran sesat”, yang dialamatkan kepada masyarakat adat. Organisasi masa intoleran didatangkan untuk menekan hakim. Masyarakat adat dikalahkan. Hakim lebih memperhatikan bukti secarik kertas dari mantan sekretaris desa, dibandingkan dengan bukti yang tertulis dalam naskah kuno yang menyatakan bahwa tanah adat tidak bisa diwariskan dan dipindahtangankan.
Rekomendasi
Banyaknya sengketa tanah yang mengalahkan bahkan mengkriminalisasi warga adat, berimplikasi pada hilangnya ruang hidup. Tanah ulayat adalah tempat hidup menurut filosofi, hukum dan pengetahuan lokal warga adat. Meniadakan pengakuan terhadap teritori mereka sama dengan meniadakan mereka. Merampas teritori dan sumberdaya alam mereka atas nama pembangunan dengan menggunakan hukum, adalah a-historis dan sangat tidak adil.
Para penegak hukum terutama para hakim di republik ini sangat penting untuk memiliki pengetahuan hukum tentang sejarah bangsa yang berakar pada masyarakat adat. Menerapkan hukum secara tekstual dan prosedural, tanpa memperhitungkan pengalaman dan realitas masyarakat, sama dengan menjauhkan keadilan dari mereka. Para hakim memiliki kesempatan emas untuk menciptakan hukum baru yang menjamin keadilan substanstif melalui putusannya.
Para pengambil kebijakan hendaknya memiliki sifat kenegarawanan ketika berhadapan dengan masyarakat adat. Vox Populi, Vox Dei. Telah terbukti bahwa pembangunan bertujuan pertumbuhan ekonomi telah gagal menyejahterakan rakyat. Paradigma pembangunan yang melintasi wilayah adat seharusnya memanusiakan masyarakatnya. Perencanaan pembangunan harus didasarkan pada penelitian akademik yang berkualitas, yang menangkap suara warga adat. Setiap tahap kegiatan harus diuji dampaknya, dan selalu mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Demi ke-Indonesiaan kita.
Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dari Kompas Cetak Jum’at, 10 Juni 2016.