SUDAH enam bulan pandemi covid-19 melanda Indonesia. Hampir semua sendi kehidupan masyarakat terdampak, namun tingkat kerawanan dan tindak pidana di laut cenderung meningkat. Berbagai tindak kejahatan terjadi di wilayah laut Indonesia seperti perdagangan obat terlarang, penyelundupan dan perdagangan manusia, perampokan terhadap kapal, dan kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Kesemuanya nyata terjadi dan belum semuanya dapat diproses aparat hukum berwenang. Terkait hal ini, pembahasan dan penelitian tata kelola keamanan laut Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh para akademisi maupun praktisi.
Garis besar temuan adalah fragmentasi aturan hukum di wilayah laut, lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum di laut, dan keluhan pengguna laut atas banyaknya instansi penegakan hukum di laut. Perlu diingat bahwa pengaturan wilayah laut sesuai sektor tertentu memang diperlukan. Ini mengingat sektor-sektor tersebut memiliki kepentingan khusus dan kompetensi pengaturan tersendiri. Sebagai konsekuensi, terdapat pengaturan aparat penegak hukum dari tiap sektor. Namun kenyataanya menunjukkan. ketika pelaksanaan patroli, muncul masalah koordinasi di antara instansi yang melakukan penjagaan di wilayah laut yang sama.
Kombinasi tingkat kerawanan dan masalahan kelembagaan keamanan laut nasional inilah yang makin mengkhawatirkan jika tidak diselesaikan segera. Indonesia harus segera bangkit dan bersatu untuk mengatasi semua isu tersebut, sehingga wilayah laut Indonesia aman bagi seluruh pengguna laut dari dalam dan luar negeri. Arahan Presiden Jokowi Sebuah harapan besar datang dalam arahan Presiden Joko Widodo, saat pelantikan Laksamana Madya Aan Kurnia sebagai Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada awal Februari 2020. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ke depannya, aparat penegak hukum yang ada di laut adalah Bakamla.
Oleh karena itu Bakamla sebagai institus harus diperkuat. Arahan Presiden ini merupakan sebuah direktif yang harus dilaksanakan. Kegagalan dalam pelaksanaan pasti menimbulkan konsekuensi. Sehingga perlu dianalisis bagaimana sisi tataran regulasi memungkinkan dilaksanakan secara baik dan benar. Sebagai regulasi nasional, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) merupakan aturan terbaru dan komprehensif. Sisi substantif UU Kelautan ini menyiratkan pengakuan bagaimana isu kelautan bersifat lintas sektor dan kompleks. Khusus mengenai bidang pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut, diatur pada Bab Sembilan UU Kelautan.
Dalam bagian ini, jelas dibedakan antara kepentingan pertahanan keutuhan negara atas ancaman dari luar melalui laut dan penegakan hukum nasional di wilayah laut Indonesia. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diberikan mandat atas bidang pertahanan. Sedangkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) memiliki mandat untuk menegakkan hukum nasional di wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan. Dengan demikian, hal ini menjadi pembeda Bakamla dengan para penegak hukum lainnya di laut yang terbatas yurisdiksinya pada bidang atau sektor tertentu.
Sinergi patroli
Terkait patroli keamanan dan keselamatan di laut, UU Kelautan dengan tegas memberi mandat Bakamla mensinergikan dan memonitor kegiatan dengan instansi-instansi terkait. Namun, pada saat yang sama, UU Kelautan tidak mengharmonisasikan kewenangan dan kompentensi instansi lain yang terkait dan tidak memberikan kewenangan penyidikan kepada Bakamla. Hal ini menegaskan bahwa kompetensi kementerian dan/atau lembaga terkait tetap ada dan tetap berlanjut serta memperjelas fokus mandat patroli.
Dengan demikian, melalui UU Kelautan ini Bakamla berperan mensinergikan semua potensi penegak hukum dari instansi terkait yang ada di laut. Diharapkan dengan pola sinergi yang dikomandoi Bakamla, segala potensi tindak pidana dan tindak pidana yang terjadi dapat tertangani di seluruh wilayah laut Indonesia. Hal ini penting untuk sekaligus mengatasi keluhan berulang-ulangnya pemeriksaan terhadap pelaku usaha di laut. Dalam sinergi patroli ini, UU Kelautan membentuk sebuah istilah yang disebut single agency, multy-doors. Berdasarkan hal ini, pembuat UU Kelautan sudah memberikan visi bahwa kedepannnya hanya akan ada satu lembaga penegak hukum yang melakukan patroli di laut, yaitu Bakamla.
Pilihan perbaikan tata regulasi
Hingga saat ini sinergi potensi patroli keamanan laut sebagaimana amanat UU Kelautan belum terwujud. Hal ini karena belum adanya aturan pelaksana terkait UU Kelautan. Aturan turunan sebagai pelaksanaan UU Kelautan sangat penting untuk memperjelas mandat dan memberikan panduan kewenangan selanjutnya kepada Bakamla, khususnya dalam hubungan dengan instansi lainnya. Aturan pelaksana UU Kelautan yang perlu segera dibuat adalah pelaksanaan integrasi sistem informasi dan sinergi patrol dengan instansi terkait.
Pilihan bentuk dan tingkat aturan bisa dalam tingkat Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, atau Revisi Peraturan Presiden Nomor 178 tentang Badan Keamanan Laut. Integrasi sistem informasi keamanan dan keselamatan di laut yang dimiliki instansi terkait akan menjadikannya sebagai sebuah pusat informasi yang komprehensif. Keberadaan pusat informasi ini di Bakamla akan menciptakan layanan satu pintu bagi siapapun yang memerlukan infomasi tersebut.
Hal ini juga sekaligus memastikan data yang ada di Bakamla adalah data resmi dan dapat dipertanggung jawabkan. Terkait dengan upaya penyerderhanaan kelembagaan di laut, Pemerintah juga perlu memulai secara bertahap menggabungkan beberapa unit-unit patroli di instansi terkait kepada Bakamla. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, dimungkinkan bahwa direktorat Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan bergabung dengan Bakamla.
Hal ini mengingat bahwa dasar hukum pembentukan KPLP hanya peraturan Menteri Perhubungan. Di sisi lain, pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (PLP) menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) tidak mungkin dilakukan. Itu karena pemerintah telah membentuk Bakamla yang pada dasarnya mengemban fungsi coast guard. Hal tersebut penting dilakukan paling tidak atas dua alasan; pertama, wilayah kerja dan lingkup patroli KPLP hampir sama dengan Bakamla.
Namun perlu dicatat Bakamla lebih luas wilayah kerjanya dan lebih umum lingkup penegakan hukumnya. Kedua, penggabungan ini akan menghilangkan ‘dualisme’ atas lembaga pelaksana peran coast guard yang dikenal dengan kapal armada berlambung putih dan dua strip merah secara internasional. Akhirnya, perlu dipahami bersama sinergi pengamanan wilayah laut Indonesia adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Kompleksitas permasalahan harus segera diatasi dengan modal saling percaya (trust) antara instansi, dengan niat bahwa sinergi patroli pengamanan laut adalah untuk menciptakan tata kelola keamanan laut Indonesia yang lebih baik.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/345426-sinergi-kelembagaan-dalam-tata-kelola-keamanan-laut