Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) merayakan puncak Dies Natalis Akbar ke-100 dengan menggelar Sidang Perayaan Dies Natalis Akbaryang berlangsung di Balai Sidang FHUI Depok, Senin (28/10). Acara ini menjadi momen reflektif sekaligus perayaan atas perjalanan panjang FHUI dalam dunia pendidikan hukum Indonesia.
Sidang Perayaan Dies Natalis Akbar ke-100, yang dipimpin langsung oleh Dekan FHUI, Dr. Parulian Paidi Aritonang, dihadiri oleh Para Guru Besar FHUI, Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI), Dekan Fakultas di lingkungan UI, Dekan Fakultas Hukum dari beberapa universitas di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang juga Guru Besar FHUI, serta para perwakilan lembaga hukum nasional dan internasional.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Dedi Priadi, menyampaikan rasa bangga atas pencapaian FHUI yang tetap konsisten sebagai fakultas hukum terbaik di Indonesia, bahkan diakui dunia. “Pencapaian FHUI di peringkat ke-200 dunia dan ke-150 dalam US World Ranking bidang hukum mencerminkan kualitas luar biasa fakultas ini, hasil dari kerja keras seluruh sivitas akademika, alumni, dan tenaga kependidikan FHUI,” ujar Prof. Dedi.
Ia juga menegaskan bahwa peran FHUI sebagai pilar pendidikan hukum di Indonesia perlu terus diperkuat melalui kolaborasi internasional yang lebih solid, guna membawa nama UI ke posisi yang lebih tinggi di panggung global.
Dalam rangkaian perayaan ini, FHUI melakukan refleksi sejarah berdirinya FHUI dengan menghadirkan seorang akademisi dan pemikir hukum terkemuka dari Belanda Rogier Chorus, yang dalam beberapa tahun terakhir banyak menggali pemikiran-pemikiran Paul Scholten. Seperti diketahui, Paul Scholten adalah dekan pertama Rechtshoogeschool te Batavia, pendidikan hukum pertama di Hindia Belanda, yang menjadi cikal bakal FHUI.
Menurut Chorus, Scholten adalah contoh nyata seorang pemikir hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan dalam pendekatannya terhadap hukum. Scholten, yang juga seorang profesor di Universitas Amsterdam, menganggap hukum tidak hanya sebagai seperangkat aturan, melainkan sebagai ilmu yang hidup, yang harus berinteraksi dengan konteks sosial dan budaya di mana hukum tersebut diterapkan.
Pemikiran ini, yang kelak berpengaruh besar terhadap metode pendidikan hukum di Hindia Belanda, mendapat perhatian khusus dari Chorus. Dalam pidatonya, ia menyebut Scholten sebagai “…seorang pemikir hukum yang mempertemukan teori dan realitas, membawa pemahaman hukum yang lebih manusiawi.”
Chorus juga menyatakan bahwa peran Scholten dalam mendirikan Rechtshoogeschool adalah langkah penting yang akhirnya mengarah pada pembentukan FHUI pasca kemerdekaan. “Sejak menjadi bagian dari Universiteit van Indonesië pada tahun 1950, FHUI terus berpegang pada prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Scholten, menjadikan fakultas ini sebagai pusat pendidikan hukum terdepan di Indonesia dan Asia Tenggara,” tuturnya.
Sidang Akbar ini bukan hanya menjadi puncak perayaan seabad FHUI, tetapi juga refleksi atas dedikasi panjang fakultas ini dalam memajukan hukum Indonesia. Dekan FHUI Dr. Parulian Paidi Aritonang menegaskan bahwa pencapaian seabad ini adalah bagian dari komitmen FHUI untuk terus melahirkan pemimpin hukum yang berintegritas dan siap menghadapi tantangan era baru.
“Mari kita jadikan momen 100 tahun ini sebagai landasan untuk terus mengembangkan pendidikan hukum yang tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga praktik dan semangat keadilan yang sesungguhnya,” ujar Dr. Parulian.
Sebagai bagian dari refleksi perjalanan 100 tahun pendidikan tinggi hukum di Indonesia, FHUI meluncurkan Buku 100 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia. Buku ini disusun oleh 19 tokoh hukum terkemuka dengan pengeditan oleh Guru Besar FHUI, Prof. Sulistyowati Irianto dan Prof. Topo Santoso. Prof. Sulistyowati dalam sambutannya menyebut bahwa buku ini menjadi refleksi sejarah hukum Indonesia, mencakup kontribusi praktisi, akademisi, dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak masyarakat, lingkungan, dan hak asasi manusia. Prof. Topo menambahkan bahwa buku ini merupakan dedikasi untuk memperingati momen istimewa 100 tahun FHUI. “Selama proses yang cukup panjang, kami mengajak rekan-rekan untuk berpartisipasi dalam menulis buku ini. Tujuannya adalah untuk merefleksikan 100 tahun perjalanan pendidikan hukum di Indonesia, serta hubungan antara ilmu hukum dan masyarakat,” ucap Prof. Sulistyowati. Di samping buku, pada akhir sidang juga diluncurkan Perangko 100 tahun FHUI yang diinisiasi oleh alumni FHUI Angkatan 1972.
Dalam sidang ini, FHUI juga memberikan penghargaan Dharma Justisia 2024 kepada sejumlah alumni yang telah menunjukkan pengabdian seumur hidup dalam dunia hukum. Penghargaan ini diberikan kepada tokoh-tokoh hukum seperti Prof. Dr. Supomo, Prof. Joko Sutono, Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution, dan Prof. Erman Rajagukguk, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi besar mereka dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan di Indonesia.
Selepas sidang, rangkaian acara dilanjutkan dengan peresmian Patung Prof. Dr. Mr. Raden Soepomo di depan Gedung Interdisciplinary Legal Research Center Building Bridge FHUI, Depok. Peresmian ini merupakan penghormatan atas dedikasi Prof. Soepomo sebagai salah satu bapak pendiri hukum Indonesia, yang telah meletakkan dasar bagi sistem hukum nasional. Patung ini diharapkan menjadi simbol inspirasi bagi generasi muda FHUI untuk terus memperjuangkan keadilan, integritas, dan kebangsaan.
Dekan FHUI Dr. Parulian Paidi Aritonang mengatakan, perayaan seabad FHUI adalah bukti bahwa fakultas ini tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penggerak dalam membangun hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. “Dengan pencapaian ini, FHUI diharapkan terus menjadi pelopor dalam mencetak pemimpin hukum berkelas dunia yang dapat membangun Indonesia yang lebih baik dan adil,” pungkasnya.