Undang-Undang No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tanpa terasa memasuki usia satu dasawarsa pada 2021 ini. Sebelumnya, UU yang berlaku adalah UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Regulasi ini di satu sisi amat memberikan penguatan dan kepastian hukum bagi institusionalisasi ekosistem zakat oleh negara. Namun, saat bersamaan memarginalkan ekosistem zakat berbasis tradisional dan komunal yang berakar di masyarakat umum.
Telah tercipta penguatan kelembagaan dan kewenangan luar biasa bagi amil zakat berbasis negara dalam mengelola zakat. Namun di sisi lain, pengelola zakat nonnegara mengalami penyempitan akses dan ketidaksetaraan posisi dalam mengadministrasikan zakat.
Ada sejumlah masalah yang lahir dari UU No 23 tahun 2011 dan peraturan pelaksananya yaitu PP No 14 tahun 2014 dan peraturan turunan lainnya, seperti instruksi presiden, peraturan/keputusan menteri agama dan peraturan Baznas.
Ada pula kriminalisasi bagi amil zakat tidak berizin dan pembatasan jumlah LAZ nasional di provinsi dan LAZ provinsi di kabupaten/ kota.
Di antaranya, sentralisasi pengelolaan zakat nasional melalui Baznas, pembentukan UPZ pada instansi pemerintah, BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional, perguruan tinggi, sekolah/ madrasah, masjid, musala.
Selain itu, posisi LAZ yang sekadar membantu Baznas, syarat pendirian LAZ yang mengharuskan mendapatkan rekomendasi Baznas padahal Baznas juga operator zakat, dan kewajiban pelaporan LAZ ke Baznas.
Ada pula kriminalisasi bagi amil zakat tidak berizin dan pembatasan jumlah LAZ nasional di provinsi dan LAZ provinsi di kabupaten/ kota.
Pelembagaan zakat ke dalam hukum nasional adalah inisiatif baik, karena pengelolaan zakat memang memerlukan kepastian hukum, keteraturan agar pengumpulan dan pengelolaan zakat maksimal serta memberdayakan kelompok yang berhak atas zakat.
Namun, ketika institusionalisasi zakat ini malah memarginalkan peran masyarakat dengan menciptakan arena bermain yang tak sama dan tak adil serta memunculkan konflik kepentingan, maka inisiatif baik dan mulia saja tidak cukup.
Konflik kepentingan nyata terlihat ketika pihak Baznas selaku operator utama perzakatan di tingkat nasional juga regulator dengan melahirkan peraturan/ keputusan yang mengatur baik internal maupun eksternal.
Termasuk mengatur tata cara permohonan rekomendasi izin pembentukan LAZ dalam Perbaznas No 2 tahun 2014) dan pembukaan dan perwakilan LAZ dalam Perbaznas No 3 tahun 2019.
Konflik kepentingan nyata terlihat ketika pihak Baznas selaku operator utama perzakatan di tingkat nasional juga regulator dengan melahirkan peraturan/ keputusan yang mengatur baik internal maupun eksternal.
Baznas juga mengeluarkan pedoman pengelolaan Unit Pengumpul Zakat melalui Keputusan Ketua Umum BAZNAS No 13 tahun 2012 dan pembentukan dan tata kerja Unit Pengumpul Zakat (UPZ) lewat Perbaznas No 2 tahun 2016.
Pendirian UPZ ini tak terbatas pada lembaga negara tetapi juga BUMN/ BUMD, perusahaan swasta nasional, perguruan tinggi, sekolah menengah, masjid, mushala. Namun, hal yang sama tidak dimiliki LAZ. Sebab, ketatnya syarat pendirian LAZ dan ancaman kriminalisasi pada pasal 38 jo pasal 41 UU No 23 tahun 2011.
Adanya relasi kuasa antara negara dan masyarakat, ancaman kriminalisasi, dan rezim perizinan serta rekomendasi yang berpusat di Kemenag dan Baznas membuat sering kali LAZ yang sudah lama eksis tak punya pilihan lain selain menjadi bagian dari UPZ.
Maka, di usia satu dekade ini, penting menelaah kembali UU ini, utamanya menciptakan tata kelola perzakatan yang optimal dan maksimal, serta menjamin keadilan dan kesamaan aksesibilitas masyarakat umum dalam mengelola zakat.
Urgensi revisi
Demi menciptakan keadilan dan kepastian hukum pengelolaan zakat, mengakhiri konflik kepentingan antara regulator dan operator zakat, serta mencegah damages berkelanjutan terhadap pengelolaan zakat, revisi UU Pengelolaan Zakat No 23 tahun 2011 mendesak.
Amelia Fauzia (2012)mengungkapkan, praktik zakat penuh keragaman justru menguatkan negara bangsa ini dan berkonstribusi untuk penguatan civil society karenanya tak boleh dipaksa dipersatukan hanya untuk alasan potensi keuangan yang tata kelola pemanfaatannya masih dipertanyakan.
Selanjutnya, ketentuan tentang kriminalisasi pada UU Pengelolaan Zakat perlu ditinjau, baik rumusannya maupun penegakannya. Wajar jika pelaku manipulasi dan penggelapan dana zakat dipidana
Sejarah kedermawanan Islam di Indonesia memperlihatkan zakat, sedekah, dan wakaf menjadi pendorong gerakan sosial kemasyarakatan dan yang membiayai pendidikan Islam. Fenomena ini cukup menguat sejak abad ke 16 dan berkembang sampai saat ini.
Abdul Ghofur (2021) menyitir, dinamika dan perkembangan terkini membuka peluang pembahasan revisi UU No 23 Tahun 2011, yang harus dilandasi semangat bergerak lebih maju. Relasi LAZ dan BAZ harus selesai dan mulai menuju hubungan kolaboratif.
Selanjutnya, ketentuan tentang kriminalisasi pada UU Pengelolaan Zakat perlu ditinjau, baik rumusannya maupun penegakannya. Wajar jika pelaku manipulasi dan penggelapan dana zakat dipidana.
Namun perlu ditinjau kembali jika amil tak berizin yang amat banyak terutama saat Ramadhan, harus dipidana dengan denda atau kurungan sebagaimana termaktub dalam UU No 23 tahun 2011. Penegakan hukumnya pun sulit.
Sebab, aparat penegak hukum akan kesulitan menangkap, menyidik dan memidana orang-orang baik tersebut, yang mengumpulkan zakat secara tradisional lebih karena alasan tradisi dan kepercayaan masyarakat serta banyak yang tidak memahami sanksi pidana.
Sumber: https://www.republika.id/posts/21277/sepuluh-tahun-uu-zakat