Depok, 16 Oktober 2024 – Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UI bekerja sama dengan KEMITRAAN dan Indonesian Center for Legislation Drafting (ICLD) mengadakan seminar dengan tema “Urgensi Reformasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok. Acara ini menindaklanjuti salah satu rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk Kemenkopolhukam tahun 2023 sekaligus memperingati Dies Natalis FHUI ke-100.
Ada beberapa isu pokok yang menjadi benang merah yang disorot mayoritas pembicara dalam seminar ini, yakni masalah praktek penyusunan peraturan perundang-undangan yang kerap dilakukan secara kilat, “tertutup” (rancangan aturannya sulit diakses publik), dan sangat minim melibatkan publik.
Direktur Eksekutif KEMITRAAN Dr. Laode M. Syarif, misalnya, menyitir pengalaman revisi UU KPK tahun 2019 dan menyatakan “Revisi UU KPK dilakukan dengan sangat cepat, hanya dua minggu. KPK sama sekali tidak mengetahui apa saja yang menjadi materi dalam draft revisi sebelum dilakukan pembahasan di DPR. Jadi jangankan melibatkan publik, KPK, sebagai obyek yang akan diatur, pun tidak dilibatkan”.
Lebih lanjut, Dr. Laode Syarif menegaskan pentingnya pemerintahan Prabowo untuk memprioritaskan revisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta peraturan pelaksana terkait, yakni Peraturan Presiden No. 87/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 12/2011. “Revisi UU 12/2011 dan Perpres 87/2014 sangat penting untuk memastikan seluruh peraturan perundang-undangan yang akan mengikat seluruh masyarakat dan menentukan arah kebijakan negara dilakukan melalui partisipasi publik yang bermakna sebagai perwujudkan dari negara hukum yang demokratis. Dan salah satu syarat adanya partisipasi yang bermakna adalah seluruh rancangan peraturan harus disebarluaskan kepada publik sebelum proses pembahasan dilakukan.
Hal senada disampaikan oleh Profesor Maria F. Indrati. Guru besar FHUI, yang sebelumnya menjabat sebagai Hakim Konstitusi ini, menyampaikan bahwa beberapa tahun belakangan terjadi kemunduran dalam proses pembentukan peraturan perundang-undanganan. “Sebagian asas-asas penting tidak dipatuhi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk asas keterbukaan. Tidak sedikit UU dibentuk dalam proses yang sangat cepat. Misalnya UU MK dibahas hanya dalam waktu 3 hari. UU Minerba 3 bulan. Bahkan UU Cipta Kerja, yang substansi pengaturannya sangat luas, mengubah beberapa ketentuan dari 79 UU, hanya dibahas dalam waktu 167 hari. Ini sangat memilukan”. Selain itu, Prof Maria mengajak para akademisi untuk mengkaji ketepatan metode penyusunan peraturan melalui mekanisme omnibus. Menurut Prof Maria, penggunaan metode ini perlu dibatasi karena hanya tepat digunakan untuk menyusun aturan yang memiliki kesamaan tema khusus dan kesamaan pihak yang akan mengimplementasikan aturan tersebut sehingga tidak selalu dapat menjadi solusi dalam upaya mengurangi inflasi peraturan.
Pembicara lain, Dr. Fitriani Ahlan, dosen ilmu perundang-undangan FHUI yang juga Direktur Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD) menegaskan urgensi revisi UU 12/2011 dan Perpres 87/2014. Ada banyak isu terkait proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang perlu segera dibenahi, termasuk mekanisme pemantauan, peninjauan dan evaluasi peraturan, mekanisme harmonisasi peraturan (termasuk Perda), mekanisme partisipasi publik dalam penyusunan peraturan, serta mekanisme pengundangan dan publikasi peraturan. Terkait partisipasi publik dalam penyusunan peraturan, Dr. Fitri menyampaikan bahwa “Revisi UU 12/2011 dan Perpres 87/2014 perlu mengatur secara tegas dan rinci bagaimana proses dan mekanisme partisipasi yang bermakna tersebut harus dilakukan untuk memastikan pemenuhan tiga hak publik sesuai Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, yakni hak untuk didengar pendapatnya dalam proses penyusunan aturan, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya serta hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Perlu pula ditegaskan instrumen-instrumen yang perlu disiapkan untuk memastikan partisipasi bermakna tersebut berjalan optimal, misalnya dengan pembuatan portal untuk menyebarluaskan rancangan peraturan sekaligus mendapatkan dan merespon input dari masyarakat”.
Lebih lanjut, Dr. Fitri berpandangan bahwa idealnya yang dilakukan terlebih dahulu adalah landasan utama pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni UU 12/2011. Namun demikian, mengingat proses pembentukan UU tidak cepat, ia menawarkan solusi jangka pendek. “Sambil menunggu revisi UU 12/2011, pemerintah dapat mengisi kekosongan hukum dengan segera merevisi Perpres 87/2014”.