Seminar Nasional Menyelesaikan Ambiguitas Hukum, Praktik Perkawinan Anak
Satu dari empat perempuan Indonesia menikah sebelum mencapai usia 18 Tahun (BPS dan UNICEF, 2016). Di tingkat dunia, Indonesia termasuk di antara tujuh negara dengan jumlah absolut tertinggi pernikahan anak, dan menempati peringkat kedua tertinggi jumlah kasus pernikahan anak di ASEAN (UNICEF, 2010).
Praktik pernikahan anak ini dengan mudah dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah pedesaan dan daerah dengan kerusakan alam yang parah akibat perubahan fungsi dan kepemilikaan lahan, jumlah pernikahan anak cenderung lebih tinggi, seperti daerah Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Hal ini terjadi karena akses masyarakat terhadap sumber daya alam mereka, misalnya tanah menjadi mengecil bahkan tertutup. Mereka tidak lagi memiliki penghasilan dari tanah dan lingkungan mereka tersendiri. Dalam kondisi tersebut, menikahkan anak perempuan menjadi jalan pintas untuk melepaskan tanggung jawab keluarga terhadapnya. Karena dengan pernikahan tersebut, sang anak beralih tanggung jawab dari orang tua ke dalam tanggung jawab suaminya.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab langsung pernikahan anak adalah kehamilan tak diinginkan (KTD), perjodohan paksa, dan putus sekolah karena mengambil alih pekerjaan rumah tangga, atau karena keterbatasan biaya. Pernikahan anak juga terjadi karena orang tua menghendaki anaknya segera mandiri secara ekonomi, seksualitas sang anak dipandang membahayakan sehingga seksualitasnya perlu terkontrol, atau karena menjadi korban kekerasan seksual sehingga solusinya adalah dinikahkan.
Di sisi lain, upaya pencegahan perkawinan anak telah dilakukan banyak pihak. Namun salah satu hambatan yang mengemuka dalam upaya pencegahan perkawinan anak adalah macetnya upaya-upaya legal konstitusional dalam upaya pencegahan perkawinan anak secara hukum. Kemacetan ini terjadi di tataran legislatif. Adanya praktik hukum yang dilakukan di luar koridor hukum dengan menggunakan praktik-praktik primodial memperlihatkan ambiguitas negara dan warga negara dalam menggunakan hukum. Sebagai negara hukum, praktik serupa ini memperlihatkan upaya-upaya pelemahan atas eksistensi negara.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Lembaga Kajian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama Jaringan AKSI Remaja Perempuan Indonesia, Program Studi Kajian Gender (SKSG UI), Pusat Kajian Wanita dan Gender UI dan Pusat Gender dan Seksualitas UI menyelenggarakan Seminar Nasional Menyelesaikan Ambiguitas Hukum, Praktik Perkawinan Anak pada Senin, 13 Agustus 2018 di Auditorium Djokosoetono FHUI, Kampus UI Depok.
Seminar nasional ini menghadirkan Lies Marcoes (Rumah Kita Bersama) sebagai Keynote Speakers, serta empat narasumber, yaitu Ustad Achmad Hilmi, Lc. MA (Jaringan Aksi dan Program & Advokasi Manajer Yayasan Rumah KitaB)., Dr. Nur Rofiah (Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, KUPI)., Dr. Khaerul Umam Noer (Program Studi Kajian Gender-Sekolah Kajian Stratejik & Global UI)., dan Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto (Ketua Lembaga Kajian Hukum Masyarakat dan Pembangunan FHUI dan Guru Besar Antropologi Hukum UI).
Adapun tujuan diselenggarakannya seminar ini, yaitu untuk membedah letak ambiguitas hukum dari praktik perkawinan anak, membedah argumentasi ideologis keagamaan dalam praktik perkawinan anak, serta memberikan alternatif rekomendasi bagaimana mengembalikan posisi dan peran konkret negara dan tokoh agama/budaya, praktisi, dan penggiat serta respon konkret untuk menghentikan perkawinan anak di Indonesia.