I. Pendahuluan
Pada tanggal 12 Mei 2016 Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara Nomor: 33/PUU-XIV/2016 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amar Putusan MK Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tersebut:
- Mengabulkan Permohonan Pemohon:
- Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara tersurat dalam norma a quo.
- Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara tersurat dalam norma a quo.
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tersebut maka di kemudian hari semakin jelas bahwa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. Kenapa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tersebut dikatakan semakin jelas bahwa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana, karena secara eksplisit Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.
Kaedah yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah sebegai berikut:
- Permintaan PK dapat diajukan hanya terhadap putusan pemidanaan saja.
- Permintaan PK dapat diajukan hanya terhadap putusan yang telah kerkekuatan hukum tetap.
- Permintaan PK dapat diajukan hanya oleh terpidana atau ahli warisnya saja.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut sangat jelas, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi (sesuai dengan adagium interpretatio cecat in claris). Namun pada kenyataannya peradilan kita kita menerima permintaan PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Maka dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 33/PUU-XIV/2016 bukan membatalkan kaedah/norma perundang-undangan yang lama, atau membuat kaedah/norma baru, melainkan memberikan penafisiran konstitusional terhadap kaedah yang terdapat di Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Berdasarkan uraian yuridis yang singkat di atas, timbul pertanyaan:
- Apa implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tersebut?
- Apakah putusan MK tersebut berlaku prospektif atau bisa retrokatif?
- Bagaimana dengan putusan PK yang mengabulkan permintaan PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada waktu yang lalu (sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 ) yang bersifat merugikan terdakwa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan dasar bagi Lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sitem Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar dengan tema “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIV/2016 terkait Hak Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana”.
II. Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Seminar.
- Waktu : Rabu, tanggal 10 Agustus 2016.
- Jam : 08.00 – selesai
- Tempat Penyelenggaraan : Ruang S & T, Gedung C Lantai I, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok.