Pada hari Jumat, 7 Maret 2014 yang lalu, bertempat di Ruang Video Conference Program Pascasarjana, Kampus FHUI Salemba, telah diadakan seminar ilmu hukum dengan tema “Pengambilan Kebijakan Publik Patutkah Dipidana?“.
Seminar ini berlangsung sebagai tindak lanjut diskursus mengenai kontroversi RUU Administrasi Pemerintahan yang memungkinkan implikasi pemidanaan terhadap sebuah kebijakan publik. Berlaku sebagau narasumber adalah Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D dan Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D, keduanya adalah Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Narasumber berikutnya adalah Dr. Dian Puji Simatupang, S.H., M.H. selaku pakar dan pengajar Hukum Administrasi Negara FHUI. Moderator seminar ini adalah Sdr. M. Yahdi Salampessy, S.H., M.H.
Sebagai pemapar pertama, Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa salah atau benarnya sebuah kebijakan harus dilihat secara post factum atau pada saat telah terjadinya kebijakan yang dimaksud. Penelaahan salah atau benarnya sebuah kebijakan secara post factum tidak serta merta menyebabkan kebijakan tersebut bisa dipidana apabila dinilai salah. Perlu dibuktikan adanya niat yang melatarbelakangi kebijakan yang salah tersebut. Apabila niatnya (mens rea) terbukti untuk melanggar undang-undang, maka, apabila terdapat impilikasi pidananya, kebijakan tersebut dapat dipidana.
Pemapar kedua, Dian Puji Simatupang, membuka pemaparannya dengan mengritisi undang-undang di Indonesia yang memungkinkan kebijakan yang dinilai salah untuk dipidana. Kesalahan dalam pengambilan kebijakan adalah ranah administrasi dan akan aneh apabila dimasukkan ke dalam ranah pidana. Pengambilan kebijakan, tambah Simatupang, tidak dapat dipidana karena pejabat negara yang mengambil kebijakan mempunyai wewenang atributif dan perlu juga dilihat manfaat dari kebijakan publik tersebut.
Pemapar terakhir, Erman Rajagukguk, menegaskan kembali pendapatnya ketika didaulat menjadi ahli dalam kasus Bank Century. Rajagukguk menegaskan bahwa keuangan lembaga negara seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus dianggap terpisah dari kas negara.
Dengan menganalogikan kasus Bank Century, Rajagukguk menganggap penentuan bank gagal yang berdampak sistemik atau tidak sistemik ditentukan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI). Keputusan untuk menyelematkan bank gagal yang di awal diramal akan berdampak sistemik merupakan antisipasi terburuk. Upaya penyelamatan bank gagal tersebut tidak dapat dipidana meskipun pada akhirnya eksistensi bank gagal tersebut tidak berdampak sistemik dan harusnya tidak perlu diselamatkan. Dengan menimbang kasus Bank Century dan tesis mengenai pemisahan keuangan lembaga negara dari kas negara, Rajagukguk menegaskan kembali bahwa kebijakan tidak dapat begitu saja dipidana.