Selamat!!! Telah Terbentuk Asosiasi Laboratorium Hukum Indonesia
Laboratorium bukan hanya milik ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan alam. Ilmu hukum pun punya laboratorium. Namanya laboratorium (lab) hukum. Tidak ada jumlah pasti berapa fakultas hukum di seluruh Indonesia yang memiliki lab hukum. Yang jelas jumlahnya puluhan. Setidaknya, angka itu tergambar dari seminar pengembangan laboratorium hukum yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (13/11) lalu.
“Ada 55 kampus yang diundang,” kata Febby Mutiara Nelson, dosen Fakultas Hukum UI, yang menjadi tuan rumah perhelatan itu. Meskipun tak semua undangan hadir, para peserta menyampaikan uneg-uneg mereka dalam forum tanya jawab. Sebagian mengungkapkan rasa prihatin atas nasib laboratorium hukum yang terkesan vakum.
Daddy Fahmanadie, dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, termasuk yang tegas menyebut kevakuman lab hukum akan merugikan civitas akademika fakultas hukum. Lama-lama lab hukum akan ditinggalkan. Salah satu solusi yang menurut Daddy penting dilakukan adalah inovasi karena ia melihat inovasi dalam pengelolaan laboratorium hukum masih kurang. Inovasi laboratirum hukum itu konkritnya adalah menyeimbangkan teori dan praktis dalam hal pengembangan aplikasi hukum. Misalnya memperluas program yang berdana bagi masyarakat dan berkontribusi bagi melek hukum masyarakat.
Dalam pandangan Daddy, laboratorium hukum yang baik tak hanya berkontribusi membantu mahasiswa mengasah kemampuan, tetapi juga membantu masyarakat, sehingga lambat laun terbentuk masyarakat sadar hukum. “Laboratorium hukum itu jantungnya perguruan tinggi hukum,” ujarnya.
Untuk menguatkan kembali peran dan mengembangkan laboratorium hukum, dosen-dosen pengelola dari beberapa perguruan tinggi sepakat membentuk suatu wadah yang disebut Asosiasi Laboratorium Hukum Indonesia (ALHI). Pembentukannya berlangsung di kamus Fakultas Hukum UI Depok, sehari setelah penyelenggaraan seminar pengembangan laboratorium hukum.
Dijelaskan Febby Mutiara, dosen-dosen pengelola laboratorium hukum sepakat untuk mulai bangkit untuk membicarakan tentang peran laboratorium hukum dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Nah, pembentukan wadah ini salah satu wujud kebangkitan mereka. Asosiasi ini dibentuk oleh 75 orang pengelola dan penggiat laboratorium hukum yang berasal dari dari berbagai PTN dan PTS di Indonesia, antara lain dari UI, Unand Padang, Unair Surabaya, Unila Lampung, Unsri Palembang, Unhas Makassar, UIN Jakarta, UPH Banten, Trisaksi Jakarta, UMM Malang, Universitas Nasional Jakarta.
Febby Mutiara Nelson, pengelola Laboratorium dan Klinik Hukum FH UI didaulat sebagai ketua. Ia didamping Maria Ulfa dari FH Universitas Parahyangan Bandung sebagai sekretaris, dan Lisnawati Go dari Ubaya Surabaya sebagai bendahara. Dan, untuk memudahkan koordinasi ditunjuk tiga orang wakil ketua. Mewakili wilayah Indonesia Timur ditunjuk Birkah Latif dari FH Unhas, wilayah tengah diwakili Yohannes Budi Sarwo dari Unika Soegijapranata, dan wilayah barat diwakili Agus Ngadino dari Unsri Palembang. “Divisi-divisi sedang dalam pembentukan,” jelas Febby.
Daddy berharap pembentukan ALHI jadi momentum mengatasi kevakuman pengembangan laboratorium hukum sejak 1993. ‘Saya berharap selain sebagai wadah akademisi dan mahasiswa dalam pengembangan ilmu hukum teori dan praktek, ALHI juga dapat berkontribusi terhadap penegakan hukum di Indonesia melalui riset, pengabdian masyarakat, atau fungsi edukasi dan konsultasi hukum kepada masyarakat,” ujarnya kepada hukumonline.
Setelah terbentuk, ALHI akan mengadakan pertemuan rutin tahunan dalam bentuk seminar atau konperensi yang membahas perkembangan laboratorium hukum di Indonesia, membuat jurnal laboratorium hukum, memberikan rekomendasi kepada tim akreditasi laboratorium, dan standar penilaian laboratorium hukum. Ditambahkan Febby, para pengelola bersama-sama para pemangku kepentingan merumuskan standar minumum sebuah laboratorium hukum di Indonesia.
Selain itu, ALHI akan mengadakan lomba terkait laboratorium hukum, serta menjalin kerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum, seperti Mahkama Agung, Kejaksaan, Kepolisian, dan organisasi profesi hukum.
Langkah-langkah tersebut perlu dipersiapkan dengan matang karena selama ini laboratorium hukum menghadapi masalah dan tantangan riil. Misalnya, tidak adanya standar yang pasti terkait dengan kebutuhan sebuah laboratorium hukum. Ini menyebabkan riset yang hendak dilaksanakan tak mendapat dukungan dana yang memadai. Selain itu, ketiadaan wadah berkumpul para pengelola lab membuat terjadi perbedaan tafsir dan pandangan mengenai laboratorium hukum. Ada kampus yang menjadikan laboratorium dan klinik hukum sebagai mata kuliah dengan Satuan Kredit Semester tertentu, sebaliknya ada yang sekadar pilihan keahlian sehingga nilai SKS-nya nol.
Perbedaan pandangan itu seharusnya tidak menjadikan lab hukum dianggap rendah. “Laboratorium hukum juga berguna karena di sanalah mahasiswa dikenalkan tentang value to social justice,” ujar Febby.