"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Secarik Catatan untuk Majelis Disiplin Dokter Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Secarik Catatan untuk Majelis Disiplin Dokter Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Sosok yang akan menjadi Anggota Majelis Disiplin Profesi (MDP) adalah sosok yang memiliki kompetensi dan kredibilitasnya mumpuni; dan memahami secara mendalam mengenai etika, hukum, dan disiplin. Kewenangannya harus diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang diharapkan materi muatannya dapat memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Disiplin merupakan intisari dari sebuah profesi. Hal ini karena disiplin mempunyai ruang lingkup pengaturan mengenai bagaimana sebuah profesi mengemban amanah profesinya dan melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Terkait dokter, disiplin mengatur mengenai bagaimana seorang dokter dapat bersikap dan bertindak secara profesional melaksanakan profesinya. Karena itu, hal yang diatur dalam disiplin dokter adalah mengenai standar kualitas melaksanakan tindakan medis dan penegakan disiplin dalam menjaga mutu profesi dokter.

Untuk mengimplementasikan dan menegakkan disiplin, dibentuklah Majelis Disiplin bagi profesi dokter. Pada awalnya, Majelis ini diatur dalam Bab VIII Pasal 55-70 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam undang-undang tersebut, Majelis ini dikenal dengan nama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan berwenang menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.

Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 2023, lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut 11 undang-undang, termasuk UU Praktik Kedokteran. Dalam UU Kesehatan ini, dikenal dengan nama “Majelis” yang diatur di dalam Bagian Kesebelas, Paragraf 1, Pasal 304-309. UU Kesehatan mengamanahkan pembentukan Peraturan Pemerintah sehingga pada tanggal 26 Juli 2024, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Dalam PP Kesehatan ini, Majelis ini diatur dalam Bagian Kedelapan Paragraf 1 Pasal 712-720 dengan nama “Majelis Disiplin Profesi.”

Pada dasarnya, Majelis dibentuk dalam rangka menegakkan disiplin profesi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perbedaannya dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terletak pada kewenangan dan ruang lingkup kewenangannya serta bentuk dari Majelis. Ditinjau dari kewenangannya Majelis berwenang memberikan sanksi disiplin dalam putusannya dan rekomendasi terhadap sanksi pidana maupun perdata (Pasal 306 jo. 308 UU Kesehatan). Sanksi disiplin berupa: peringatan tertulis; kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di penyelenggara pendidikan di bidang Kesehatan atau Rumah Sakit pendidikan terdekat yang memiliki kompetensi melakukan pelatihan tersebut; penonaktifan STR untuk sementara waktu; dan/atau rekomendasi pencabutan SIP (Pasal 306 (1) UU tentang Kesehatan).

Jadi, kewenangan Majelis lebih besar apabila dibandingkan dengan MKDKI karena Majelis ini berwenang memberikan rekomendasi terkait sanksi pidana maupun pertanggungjawaban perdata. Terkait sanksi pidana, rekomendasi Majelis berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional (Pasal 308 ayat (5) UU Kesehatan).

Kesimpulannya, terkait sanksi pidana, Majelis ini melaksanakan fungsi penyelidikan yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terkait pertanggungjawaban perdata, rekomendasi Majelis berupa rekomendasi pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional (Pasal 308 ayat (6) UU Kesehatan).

Sosok yang akan menjadi Anggota Majelis Disiplin Profesi (MDP) adalah sosok yang memiliki kompetensi dan kredibilitasnya mumpuni; dan memahami secara mendalam mengenai etika, hukum, dan disiplin. Kewenangannya harus diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang diharapkan materi muatannya dapat memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Kewenangan Majelis yang besar ini juga semakin dipertegas dalam pengaturan mengenai jangka waktu pemeriksaan di Majelis, dimana dinyatakan apabila Majelis tidak memberikan rekomendasi dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja sejak permohonan diterima, maka Majelis dianggap telah memberikan rekomendasi untuk dapat dilakukan penyidikan atas tindak pidana (Pasal 308 ayat (7) (8) UU Kesehatan).

Majelis ini memiliki ruang lingkup kewenangan atas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (Pasal 304 ayat (1) UU Kesehatan. Tenaga Medis meliputi dokter dan dokter gigi, termasuk juga spesialisnya dan subspesialisnya (Pasal 198 UU Kesehatan). Sedangkan, Tenaga Kesehatan meliputi: tenaga psikologi klinis (psikolog klinis); tenaga keperawatan (perawat vokasi, ners, dan ners spesialis); tenaga kebidanan (bidan vokasi dan bidan profesi); tenaga kefarmasian (tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis); tenaga kesehatan masyarakat (tenaga kesehatan masyarakat, epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, serta tenaga administratif dan kebijakan kesehatan);

Majelis ini memiliki ruang lingkup kewenangan atas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (Pasal 304 ayat (1) UU Kesehatan. Tenaga Medis meliputi dokter dan dokter gigi, termasuk juga spesialisnya dan subspesialisnya (Pasal 198 UU Kesehatan). Sedangkan, Tenaga Kesehatan meliputi: tenaga psikologi klinis (psikolog klinis); tenaga keperawatan (perawat vokasi, ners, dan ners spesialis); tenaga kebidanan (bidan vokasi dan bidan profesi); tenaga kefarmasian (tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis); tenaga kesehatan masyarakat (tenaga kesehatan masyarakat, epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, serta tenaga administratif dan kebijakan kesehatan);

Kemudian, tenaga kesehatan lingkungan (tenaga sanitasi lingkungan dan entomolog kesehatan); tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien); tenaga keterapian fisik (fisioterapis, terapis okupasional, terapis wicara, dan akupunktur); tenaga keteknisian medis (perekam medis dan informasi kesehatan, teknisi kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, serta audiologis); tenaga teknik biomedika (radiografer, elektromedis, tenaga teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, dan ortotik prostetik); tenaga kesehatan tradisional (tenaga kesehatan tradisional ramuan atau jamu, tenaga kesehatan tradisional pengobat tradisional, dan tenaga kesehatan tradisional interkontinental); dan tenaga kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Pasal 199 UU Kesehatan).

Ditinjau dari bentuknya Majelis ini dapat dapat bersifat permanen atau ad hoc dan dibentuk oleh Menteri Kesehatan (Pasal 304 ayat (2) (4) UU Kesehatan). Perbedaan lainnya adalah diperkenalkannya keadilan restoratif dan peninjauan kembali terkait dengan fungsi serta kewenangan Majelis. Aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif bagi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan dan terdapat dugaan tindak pidana (Pasal 306 ayat (3) UU Kesehatan).

Sedangkan, Putusan Majelis dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri Kesehatan dalam hal: ditemukan bukti baru; kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa (Pasal 307 UU Kesehatan). Subyek hukum yang dapat mengajukan pengaduan kepada Majelis juga berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Subyek hukum tersebut hanya meliputi pasien atau keluarganya (Pasal 305 ayat (1) UU Kesehatan). Jadi, subyek hukum tersebut limitatif dan berbeda dengan pengaturan terdahulu yang membuka kesempatan kepada setiap orang yaitu setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran (Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran).

Mempertimbangkan berbagai hal tersebut, Penulis memberikan beberapa catatan. Pertama, perlu diperkuat kedudukan, fungsi, dan kewenangan Komite Medis Rumah Sakit. Sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya sengketa medis, komite medis harus memantau dan memastikan bahwa Standar Prosedur Operasional (SOP) Rumah Sakit berfungsi dan berjalan dengan baik. Sebagai tindakan kuratif, Komite Medis Rumah Sakit harus diperkuat oleh Mediator dan Negosiator yang andal untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa medis antara rumah sakit dan/atau dokternya dengan pasien dan/atau keluarga pasien. Harapannya, sengketa medis dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana yang telah diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan.

Kedua, memperkuat peranan organisasi profesi, dalam hal ini adalah organisasi profesi dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan tetap eksis sepanjang BHP2A (Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota) dan MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dapat berperan dan berfungsi dengan kuat, memberikan pengayoman dan pelindungan bagi anggotanya.

Sosok yang akan menjadi Anggota Majelis Disiplin Profesi (MDP) adalah sosok yang memiliki kompetensi dan kredibilitasnya mumpuni; dan memahami secara mendalam mengenai etika, hukum, dan disiplin. Kewenangannya harus diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang diharapkan materi muatannya dapat memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Ketiga, mempertimbangkan besarnya kewenangan Majelis Disiplin Profesi (MDP), maka perlu dibentuk semacam Komisi Pengawas atau MDP Watch yang berperan sebagai partner MDP dalam menjaga profesionalitas MDP.

Keempat, sosok yang akan menjadi Anggota Majelis Disiplin Profesi (MDP) adalah sosok yang memiliki kompetensi dan kredibilitasnya mumpuni; dan memahami secara mendalam mengenai etika, hukum, dan disiplin.

Kelima, Kewenangan Majelis Disiplin Profesi (MDP) harus diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang diharapkan materi muatannya dapat memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

 

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/secarik-catatan-untuk-majelis-disiplin-dokter-lt6706b7468a97a/

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI