Risiko medis bukan faktor atau alasan menghapuskan tanggung jawab hukum dokter dalam tindakan medis. Justru, risiko medis memunculkan tanggung jawab hukum dokter. Tindakan medis harus memperhatikan kebutuhan medis pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Dokter berkewajiban menyelamatkan pasien dengan upaya terbaiknya berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
Prof. HJJ. Leenen di dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie” dan Brigjen Pol. Drs. Alfred Ameln, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Hukum Kedokteran” menyatakan pada dasarnya, hubungan antara dokter dan pasien didasari oleh landasan kepercayaan yang memiliki 2 aspek. Pertama, pasien percaya terhadap kemampuan dokter. Kedua, pasien percaya bahwa dokter akan menjaga rahasia medis (termasuk juga rahasia kesehatan) pasien. Landasan kepercayaan merupakan landasan fundamental dalam hubungan antara pasien dan dokter.
Tingkat kepercayaan dan kepasrahan dari pasien kepada dokter terhadap kemampuannya, dalam implementasinya terwujud dalam bentuk pola hubungan yang bersifat inspanningsverbintennis antara dokter dan pasien. Dalam pola hubungan inspanningsverbintennis ini, dokter diposisikan sebagai subyek hukum yang dibebani dengan kewajiban untuk melaksanakan tindakan medis berdasarkan upaya semaksimal mungkin (upaya terbaik). Tolok ukur dari upaya maksimal ini adalah tindakan medis yang dilakukan dokter harus sesuai dengan standar (baik standar pelayanan medis, standar profesi maupun Standar Operasional Prosedur – SOP) dan selaras dengan kebutuhan medis pasien. Artinya, tindakan medis oleh dokter harus sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis serta ditujukan untuk tujuan medis yang sifatnya adalah konkrit yaitu sesuai dengan Doktrin Life Saving dari Prof. van der Mijn.
Dalam praktiknya, meskipun tindakan yang dilakukan oleh dokter telah memenuhi upaya maksimal berdasarkan standar dan kebutuhan medis pasien, tetapi potensi kegagalan tindakan medis tetap ada. Ada beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan hal tersebut yaitu kecelakaan medis, contributory of negligence dari pasien, dan risiko medis.
Kecelakaan medis terjadi karena faktor eksternal yang tidak berasal dari dalam diri pasien. Misalnya, disebabkan karena peralatan medis tidak berfungsi optimal atau adanya keterbatasan sarana prasarana rumah sakit. Di Amerika Serikat, pada tahun 1961, terjadi kecelakaan medis di sebuah rumah sakit dimana pasien (bayi) terbakar akibat bola lampu inkubator yang tidak tertutup (model lama) tanpa termostat atau mekanisme kontrol panas otomatis. Kasus ini diproses oleh Georgia Appellate Court. Di Indonesia, pernah terjadi kecelakaan medis di sebuah rumah sakit di Bengkulu, dimana gas O2 tertukar dengan gas CO2 di kamar operasi. Akibatnya, pasien meninggal dunia.
Penyebab kegagalan tindakan medis lainnya adalah karena kontribusi kesalahan pasien, atau biasanya dikenal dengan istilah contributory of negligence. Beberapa putusan pengadilan menunjukkan adanya kontribusi kesalahan pasien (contributory of negligence) yang menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis yaitu Putusan Pengadilan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI, pasien hanya sekali melakukan konsultasi medis setelah dilakukan tindakan medis; Putusan Pengadilan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM, pasien tidak mematuhi rujukan dari dokter; Putusan Pengadilan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG, pasien berobat ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan dokter yang menanganinya; Putusan Pengadilan Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg, pasien tidak mengikuti program fisioterapi; Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad, pasien ditangani oleh banyak pihak, termasuk klinik dan pengobatan tradisional.
Kemudian, Putusan Pengadilan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt, pasien mengalami pembengkakan mata karena tangan pasien menusuk-nusuk matanya dan tidak melakukan kontrol medis; Putusan Pengadilan Nomor 152/PDT/2019/PT SMR pasien tidak melakukan kontrol medis dan tidak menjaga kebersihan; Putusan Pengadilan Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb, terdapat informasi yang tidak disampaikan oleh orang tua pasien kepada dokter; Putusan Pengadilan Nomor 514/Pdt.G/2013/PN.Bdg, pasien tidak tertib dalam menjalankan pengobatan di rumah sakit dan berobat juga di beberapa tempat lainnya serta melakukan pengobatan herbal; Putusan Pengadilan Nomor 145/Pdt.G/2021/PN.Jmb, pasien tidak pernah kontrol medis ke dokter pasca dilakukannya tindakan operasi.
Risiko medis merupakan faktor internal yang berasal dalam diri atau tubuh pasien yang menyebabkan tindakan medis mengalami kegagalan. Meskipun tindakan medis telah sesuai dengan standar, potensi munculnya risiko medis tetap ada. Dalam setiap tindakan medis, selalu terkandung risiko medis. Risiko medis tidak dapat dihilangkan. Namun, risiko medis dapat diupayakan untuk diminimalisir kehadirannya dan diupayakan pertolongan darurat untuk mengatasi risiko medis.
Risiko medis yang beberapa kali muncul dalam tindakan medis adalah Steven Jhonson Syndrome (SJS). Dalam Putusan Pengadilan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI, dokter telah menanyakan riwayat alergi terhadap pasien sebelum dilakukan tindakan medis. Selain itu, obat-obatan yang diberikan kepada pasien tidak ada perubahan, sama seperti obat-obatan yang sebelumnya telah diberikan kepada pasien saat berobat di rumah sakit tersebut. Pasien rutin berobat di rumah sakit itu dan diberikan obat yang sama dan tidak pernah terjadi risiko medis. Namun, dalam kunjungan terakhir, pasien mengalami Steven Jhonson Syndrome (SJS).
Selain Steven Jhonson Syndrome (SJS), terjadinya pendarahan pada batang otak merupakan kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus karena secara medis sangat berisiko. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk jo. Putusan Pengadilan Nomor 22/PDT/2020/PT.Ptk, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan dokter sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kegagalan tindakan medis merupakan akibat dari terjadinya risiko medis, dimana pasien mengalami pendarahan di batang otak.
Risiko medis juga dapat terjadi karena kondisi kanker yang telah menyebarluas sehingga diperlukan tindakan perluasan operasi untuk menyelamatkan pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt, dokter menyatakan bahwa telah terjadi risiko medis terhadap pasien yaitu kanker telah menyebar dan 2 indung telur (ovarium) pasien juga terkena kanker, sehingga 2 indung telur (ovarium) pasien harus diangkat untuk meminimalisir dampak dari terjadinya risiko medis. Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan Dokter Spesialis Patologi Anatomi yang menyatakan bahwa 2 indung telur (ovarium) pasien telah terkena kanker.
Salah satu tindakan medis yang mengandung risiko medis tinggi dalam tindakan pembedahan (operasi) adalah tindakan medis yang berupa anestesi. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng, terjadi risiko medis saat tindakan anestesi spinal, sehingga kemudian rumah sakit merujuk pasien ke rumah sakit lain untuk mengatasi risiko medis yang muncul setelah dilakukan anestesi spinal. Risiko medis ini disebabkan karena adanya tumor yang tidak terdeteksi. Sebelum dilakukan tindakan anestesi, dokter melakukan anamnese terhadap pasien dan tidak menemukan keluhan serta gejala klinis terkait dengan adanya gejala tumor. Pasien tidak menjelaskan adanya trauma, berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tidak ada keluhan serta gejala klinis.
Risiko medis dapat terjadi karena kondisi pasien mengalami pendarahan dan komplikasi. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb, pasien mengalami risiko medis berupa pendarahan (Suspect Disseminated Intravascular Coagulation) dan komplikasi. Selain itu, keluarga pasien menolak pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan dan minta agar pasien dirujuk ke rumah sakit lain sesuai dengan keinginan keluarga pasien. Kondisi ini menyebabkan waktu terbuang sekitar 2 jam karena rumah sakit yang sesuai dengan keinginan pasien, saat itu kondisinya sedang penuh dan tidak tersedia bed untuk pasien dalam kondisi tersebut. Akhirnya, pasien kondisinya dropp dan meninggal dunia, meskipun pihak rumah sakit telah melakukan upaya pertolongan untuk mengatasi kondisi gawat darurat semaksimal mungkin.
Risiko medis dapat terjadi karena tindakan medis yang tergolong sederhana yaitu pemasangan infus. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 13/Pdt.G/2020/PN Mrt, majelis hakim menyatakan bahwa kondisi pembengkakan di tangan kanan pasien disebabkan karena risiko medis akibat pemasangan infus. Majelis hakim mempertimbangkan pendapat ahli yang dihadirkan dalam persidangan oleh pihak tergugat. Ahli menjelaskan mengenai kriteria risiko medis dalam pemasangan infus yaitu: kondisi tubuh setiap orang berbeda-beda, orang yang terlalu gemuk, terlalu kurus, dan faktor usia bisa menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya pemasangan infus; terhadap pasien yang demam dan menggigil bisa juga menjadi kendala untuk pemasangan infus, risikonya bisa menyebabkan pendarahan dan terjadinya pembengkakan. Dalam kasus ini, terjadinya pembengkakan akibat pemasangan infus yang gagal, merupakan risiko medis dan bukan merupakan malpraktik medis.
Usia pasien dapat mempengaruhi timbulnya risiko medis. Risiko medis dapat timbul karena usia pasien yang terlalu tua pada saat dilakukan tindakan medis. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Sby jo. Putusan Pengadilan Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY, ahli dari Perdami (Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia) Cabang Jawa Timur yang dihadirkan dalam persidangan oleh pihak tergugat menyatakan bahwa ada 6% (enam persen) operasi katarak mengalami capsule belakang robek karena usia tua. Robeknya capsule belakang saat operasi katarak merupakan risiko medis yang terjadi akibat faktor usia yang terlalu tua dari pasien.
Beberapa risiko medis yang terjadi, disebabkan oleh berbagai faktor yaitu kondisi fisik pasien (misalnya: usia pasien yang terlalu tua), kondisi permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pasien (misalnya; kondisi kanker yang telah menyebar sehingga perlu dilakukan tindakan perluasan operasi – termasuk pengangkatan organ atau jaringan tubuh – untuk melokalisir persebaran kanker); kondisi pendarahan yang telah menyerang organ vital dalam kehidupan, misalnya pendarahan di batang otak, sehingga dokter dihadapkan dengan berbagai risiko medis dan harus memilih risiko medis yang dampak negatifnya terkecil bagi pasien. Risiko medis terdapat dalam setiap tindakan medis, bahkan untuk tindakan medis yang tergolong sederhana (misalnya adalah pemasangan infus) juga mengandung risiko medis.
Menurut penulis, risiko medis bukan merupakan faktor atau alasan yang menghapuskan tanggung jawab hukum dokter dalam tindakan medis. Justru, risiko medis memunculkan tanggung jawab hukum dokter. Tanggung jawab hukum seorang dokter apabila dihadapkan dengan risiko medis adalah meliputi 2 hal yaitu meminimalisir terjadinya risiko medis (artinya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tetap harus selaras dengan standar dan kebutuhan medis pasien) dan melakukan upaya pertolongan darurat semaksimal mungkin untuk mengatasi kegawatdaruratan akibat terjadinya risiko medis.
Hal ini selaras dengan Doktrin Life Saving sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Van der Mijn yang pada intinya menyatakan bahwa tindakan medis harus memperhatikan kebutuhan medis pasien dan mengutamakan keselamatan pasien (patient safety). Dokter berkewajiban untuk menyelamatkan pasien dengan upaya dan usaha terbaiknya berdasarkan ilmu pengetahuan serta pengalaman dalam bidang medis.
Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/risiko-medis-dalam-pertanggungjawaban-hukum-dokter-lt686bfe91540fb/

