Revisi Undang Undang (RUU) Kejaksaan yang saat ini menuai polemik di masyarakat, juga disorot oleh banyak kalangan pakar. Salah satunya Guru Besar Hukum Pidana Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji.
Terkait RUU Kejaksaan itu, Indriyanto berpendapat, adanya revisi yang saat ini menuai polemik justru dapat mencegah penegak hukum menjadi alat politik. Karena dalam RUU tersebut, penegakan hukum akan mengutamakan Sistem Pengawasan Kewenangan sehingga terwujud sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System/ICJS).
“Sesuai harapan masyarakat dan bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadillan, melindungi dan menjaga demokrasi. Ini mencegah penegak hukum jadi alat politik,” kata Indriyanto dalam keterangannya, Jumat (11/9).
Diketahui, DPR saat ini tengah merevisi UU Kejaksaan, namun revisi itu menuai polemik. Karena dikhawatirkan Kejaksaan Agung semakin powerfull dengan kewenangan dari hulu hingga hilir.
Revisi pasal yang dimaksud yaitu pasal 30 ayat 5 yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi, kewenangan selaku intelijen penegakan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum.
Selain itu, pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.
Menurut Indriyanto, pasal-pasal dalam revisi UU Kejaksaan masih dalam batas linear sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).
“Revisi UU tersebut, filosofis, yuridis dan juga sisi segi hukum tata negara dan hukum pidana memiliki dua aspek yg tidak menyimpangi prinsip due process of law, dan masih dalam batas koridor linear ICJS,” katanya.
Menurut Indriyanto, sistem hubungan wewenang penyidikan-penuntutan dalam revisi UU itu justru berkarakter hukum pidana modern yang mengakui adanya pemisahan, separation Institution of Sharing Powers (Distribution of Powers) antara Polisi dan Kejaksaan, termasuk bentuk tugas dan fungsi kewenangan pro justitia.
Selain itu, kata dia, pemahaman relasi wewenang sistem penyidikan dan penuntutan yang terpisah secara absolut sebaga model separation of power sudah ditinggalkan karena dianggap sebagai definisi tirani dan menyesatkan.
“Karena itu distribusi kewenangan pada ICJS adalah legitimatif terhadap prinsip koordinasi dan kooperasi antara dua pilar penegak hukum, polisi dan jaksa. Model ini bsia meminimalisasi ego sektoral antara dua lembaga,” katanya.
Terkait polemik ada tidaknya perluasan wewenang projustitia kejaksaan, menurut Indriyanto adalah sesuatu yang wajar. Selama wewenang itu tetap dalam sistem pengawasan dari lembaga hakim pemeriksa pendahuluan sebagai garda pengawasan justisial.
“Karena itu RUU Kejaksaan harus menyesuaikan dan tidak menyimpang dari RKUHAP,” katanya.
Indriyanto juga menambahkan, andaikata benar ada perluasan wewenang pro justitia, model distribution of powers ini harus tetap berbasis checks and balances system. “Sehingga prinsip equal arms antara Polisi dan Jaksa tetap terjaga, misalnya model koordinasi yang baik antara pilar penegak hukum,” pungkasnya.