Restorative Justice Sebagai Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Medis Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Opini > Restorative Justice Sebagai Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Medis Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Restorative Justice tentunya ada batasannya dalam penyelesaian sengketa medis. Seharusnya, RJ tidak diterapkan untuk kasus yang bersifat culpa lata (kelalaian berat atau gross negligence) dan dolus (kesengajaan). Semoga, implementasi RJ dalam penyelesaian sengketa medis dalam UU Kesehatan dapat menciptakan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mendorong penyelesaian sengketa medis berdasarkan pendekatan Restorative Justice (RJ) agar dapat mewujudkan keadilan restoratif. Hal ini disebabkan, penyelesaian sengketa medis melalui jalur tradisional yaitu jalur litigasi, baik perdata maupun pidana, seringkali tidak dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Penyelesaian sengketa medis melalui jalur litigasi, secara fundamental merusak pola hubungan hukum antara pasien dan dokter, yang sebelumnya berdasarkan atas kepercayaan, berubah menjadi permusuhan.

Profesor. HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie menyatakan bahwa hubungan kepercayaan ini mempunyai 2 aspek yaitu pasien percaya dengan kemampuan dokter dan pasien percaya bahwa dokter akan menjaga rahasia kesehatan pasien (termasuk rahasia medis pasien). Inilah landasan filosofis dari hubungan pasien dan dokter yang runtuh dan hancur berkeping-keping pada saat sengketa medis diselesaikan melalui jalur litigasi.

Implikasi jalur litigasi lainnya adalah menghadirkan fenomena defensive medicine yang menghilangkan aspek proporsionalitas dan keseimbangan antara tindakan medis dengan tujuan tindakan medis. Dalam defensive medicine, dokter berpotensi mengambil tindakan medis secara berlebihan dan tidak perlu terhadap sebuah kasus karena meminimalisir potensi risiko medis. Ada kekhawatiran berlebihan dari dokter bahwa tindakan medisnya akan berujung pada proses hukum di pengadilan. Tentunya, hal ini berimbas terhadap peningkatan biaya dalam pelayanan dan tindakan medis. Selain itu, jalur litigasi akan menghadirkan sebuah proses penyelesaian sengketa medis yang berlarut (berpotensi panjang tanpa batas akhir), berbiaya tinggi, dan menguras emosi.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), landasan hukum utama bagi hubungan dokter-pasien dan penyelesaian sengketa medis adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Pradok). Meskipun UU Pradok bertujuan untuk melindungi pasien dan memastikan kualitas praktik kedokteran (khususnya tindakan dan pelayanan medis), mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur di dalam UU ini memiliki kecenderungan untuk mendorong penyelesaian sengketa medis melalui jalur litigasi. UU Pradok sebenarnya telah memperkenalkan mekanisme non-litigasi, khususnya melalui mediasi, sebagai upaya penyelesaian sengketa medis secara perdata. Namun, UU ini membuka lebar peluang jalur litigasi secara perdata, jika mediasi gagal mencapai kesepakatan terhadap ganti rugi. Seolah-olah, mediasi hanya sebagai formalitas atau pemanasan sebelum “pertempuran” sesungguhnya di jalur litigasi (di pengadilan).

Restorative Justice (RJ) adalah pendekatan yang lebih humanis dan fokus pada pemulihan, bukan pada penghukuman, sehingga seharusnya cocok dengan karakteristik sengketa medis. Dalam RJ, dapat dipulihkan kerugian sesungguhnya (emotional healing) yang diderita oleh pasien. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kerugian yang diderita oleh pasien bukan hanya fisik dan biaya, tetapi jauh melampaui hal itu yaitu kerugian emosional, psikologis, dan hilangnya kepercayaan. Jalur litigasi tidak mungkin dapat menampung emotional healing ini. RJ memberikan ruang bagi dokter untuk menjelaskan tindakan medis dan mengambil tanggung jawab tersebut.

RJ juga memberikan kesempatan emas kepada rumah sakit untuk belajar dari insiden, menganalisis permasalahan, dan memperbaiki Standar Prosedur Operasional (SOP). Artinya, akuntabilitas  dapat dicapai melalui tanggung jawab moral dan perbaikan sistem, bukan melalui penghukuman. RJ dapat memperbaiki hubungan yang retak antara pasien dan dokter karena penyelesaian melalui RJ mengutamakan dialog yang partisipatif, melibatkan para pihak yang terdampak (pasien, keluarga pasien, dokter, rumah sakit) untuk duduk bersama mengatasi permasalahan dan membangun empati. Dialog ini diwujudkan dalam bentuk mediasi. Ganti rugi tidak harus berupa uang, tetapi bisa berupa janji untuk menanggung perawatan lanjutan, dukungan psikologis, atau bahkan perbaikan fasilitas rumah sakit agar insiden serupa tidak terulang. Ringkasnya, UU Kesehatan menyatakan bahwa sengketa medis adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi kompleks, berfokus pada pasien dan dokter serta sistem layanan medis. Tegsnya, RJ bukan mencari pihak yang pantas untuk dihukum.

Beberapa pasal dalam UU Kesehatan menjadi fondasi penerapan RJ dalam penyelesaian sengketa medis. Bab IX UU Kesehatan mengatur mengenai tanggung jawab hukum dan penyelesaian perselisihan, menempatkan RJ sebagai prioritas. Pasal 306 ayat (3) UU Kesehatan mengamanahkan kepada aparat penegak hukum agar mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan frasa “mengutamakan” merupakan mandat hukum yang tegas dan menempatkan RJ sebagai filter wajib yang harus ditempuh sebelum proses penyidikan. Kontras dengan UU Pradok, dimana aparat penegak hukum dapat langsung memproses kasus secara pidana berdasarkan laporan pasien, tanpa menunggu atau menghiraukan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

UU Kesehatan memberikan wewenang yang vital bagi Majelis Disiplin Profesi (MDP) sebagai gerbang pertama dan utama (gatekeeper) RJ. Rekomendasi dari MDP tentang apakah insiden yang terjadi merupakan murni kelalaian profesional, pelanggaran disiplin, atau mengandung unsur pidana yang tidak dapat direstorasi akan menentukan kelanjutan proses hukum. RJ dipertegas dalam Pasal 310 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa, “Dalam hal Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada Pasien, perselisihan yang timbul akibat kesalahan tersebut diselesaikan terlebih dahulu melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.” Ketentuan ini menjadikan mediasi sebagai ujung tombak RJ. Penempatan MDP sebagai gatekeeper RJ dan mediasi sebagai ujung tombak RJ merupakan wujud pergeseran paradigma serta filosofis dari keadilan retributif ke keadilan restoratif, dari penghukuman ke pemulihan sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Kesehatan.

Mempertimbangkan kewenangan MDP yang besar, maka penulis memberikan beberapa catatan:

Pertama, independensi MDP harus dijaga dari berbagai kepentingan, termasuk intervensi politik. Keberhasilan sistem penegakan disiplin ini bergantung pada kapabilitas MDP dalam menjalankan tugasnya secara objektif, adil, dan bebas dari tekanan atau intervensi, baik dari pihak internal maupun eksternal. Meskipun MDP diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan, seharusnya MDP bukan merupakan bawahan dari Menteri Kesehatan. Untuk mewujudkan independensi ini, seharusnya Permenkes Nomor 3 tahun 2025 diperkuat dengan aturan yang jelas mengenai transparansi dalam seleksi anggota MDP, kode etik dan kode perilaku bagi anggota MDP, mekanisme penanganan konflik kepentingan, dan perlindungan hukum bagi anggota MDP dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, sosok yang menjadi Anggota MDP adalah sosok yang kompetensi dan kredibilitasnya mumpuni; serta memahami secara mendalam mengenai etika, hukum dan disiplin. Sosok tersebut harus didukung dengan anggaran dan infrastruktur yang memadai untuk menjalankan tugasnya secara efektif.

Ketiga, perkuat peranan organisasi profesi dan posisikan organisasi profesi sebagai mitra MDP dalam proses penegakan disiplin. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, harus segera dibentuk peraturan perundang-undangan mengenai organisasi profesi tenaga kesehatan dan tenaga medis (khususnya organisasi profesi dokter) secara meaningful participation untuk menjaga marwah organisasi profesi. Ikatan Dokter Indonesia akan tetap eksis sepanjang BHP2A (Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota) dan MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dapat berperan dan berfungsi dengan kuat, memberikan pengayoman serta pelindungan bagi anggotanya.

Keempat, mempertimbangkan besarnya kewenangan MDP maka perlu dibentuk semacam Komisi Pengawas atau MDP Watch yang berperan sebagai partner MDP dalam menjaga profesionalitas MDP.

Kelima, terkait dengan RJ perlu diperkuat kedudukan, fungsi dan kewenangan Komite Medis Rumah Sakit. Sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya sengketa medis, komite medis harus memantau dan memastikan bahwa Standar Prosedur Operasional (SOP) Rumah Sakit berfungsi dan berjalan dengan baik. Sebagai tindakan kuratif, Komite Medis Rumah Sakit harus diperkuat oleh mediator dan negosiator yang andal untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa medis antara rumah sakit dan/atau dokternya dengan pasien dan/atau keluarga pasien. Harapannya, sengketa medis dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana yang telah diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan.

RJ menjadikan mediasi sebagai ujung tombak dalam penyelesaian sengketa medis. Kebutuhan mediator yang memahami Hukum Kesehatan adalah mutlak. Mediasi dapat diselenggarakan secara efektif apabila para pihak memiliki kemauan untuk menyelesaikan sengketa (khususnya kemauan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi). Apabila salah satu pihak menginginkan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan pihak lawan tidak menginginkan penyelesaian sengketa melalui mediasi, maka mediasi tidak akan efektif. Dalam hal ini, pihak yang tidak beriktikad baik dapat memanfaatkan mediasi sebagai taktik untuk mengulur waktu dalam penyelesaian perselisihan. Hambatan yang sering terjadi dalam proses mediasi adalah nilai ganti rugi yang tidak realistis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan di luar para pihak yang bersengketa (misalnya: keluarga pasien yang ingin mendapatkan keuntungan, pengacara atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang ingin mencari kepentingan dari proses mediasi atau memberikan kesan negatif terhadap proses mediasi dan menginginkan perkaranya diselesaikan melalui jalur litigasi).

Penulis menawarkan 2 buah solusi terhadap kekurangan dan hambatan dalam proses mediasi di bidang kesehatan. Pertama, mewujudkan mediator yang profesional dan memiliki pengetahuan serta pemahaman (kompetensi) terhadap penyelesaian perselisihan di bidang kesehatan. Hal ini dapat diwujudkan melalui Lembaga Sertifikasi Mediator yang kredibel. Kedua, mewujudkan kepastian hukum dalam pengaturan maupun penyelenggaraan mediasi di bidang kesehatan.

Restorative Justice tentunya ada batasannya dalam penyelesaian sengketa medis. Seharusnya, RJ tidak diterapkan untuk kasus yang bersifat culpa lata (kelalaian berat atau gross negligence) dan dolus (kesengajaan). Semoga, implementasi RJ dalam penyelesaian sengketa medis sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Kesehatan dapat menciptakan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/restorative-justice-sebagai-ujung-tombak-penyelesaian-sengketa-medis-lt68e8d425640c9/

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148