Refleksi Tokoh Pemikir Transformasi Keuangan Negara
Hampir tepat 93 tahun silam, tepatnya 14 Februari 1925, lahir seorang pemikir sekaligus akademisi dalam ilmu hukum anggaran negara dan keuangan publik di Indonesia. Dia adalah Prof Arifin Prijatna Soeria Atmadja. Sumbangan pemikirannya memberi warna dalam disiplin pengembangan teori hukum keuangan negara.
Salah satu sumbangsih gagasan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini adalah pembentukan suatu badan yang langsung di bawah Presiden untuk mengawasi keuangan dan pelaksanaan pembangunan. Ide tersebut dituangkannya dalam disertasi di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Jawa Barat.
Siapa sangka, karya ilmiah tersebut mendapat apresiasi dari Wakil Presiden Republik Indonesia (1983-1988), Umar Wirahadikusuma kalau itu. Sehingga, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Prof Arifin pun ditunjuk sebagai Kepala Biro Hukum BPKP yang pertama. BPKP merupakan transformasi dari Direktur Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN) yang berada di bawah Departemen Keuangan.
Pemikiran-pemikiran Prof Arifin mengenai pengelolaan dan pengawasan keuangan negara terus berperan bagi negara. Pada era reformasi, Arifin menggagas otonomi perguruan tinggi negeri yang diharapkan memberi keleluasaan bagi kampus mengelola keuangan negara. Hasilnya, terbentuklah konsep badan hukum milik negara (BHMN) bagi empat perguruan tinggi negeri yang ditetapkan oleh Presiden RI (1999-2001), Abdurrahman Wahid.
Ide Prof Arifin terus berlanjut. Sejak 2000, ia mengemukakan teori transformasi hukum keuangan negara alias perubahan status keuangan negara yang menimbulkan pro-kontra dari berbagai kalangan. Teori tersebut hakikatnya perubahan status hukum keuangan dari keuangan negara menjadi keuangan badan hukum.
Penolakan terhadap teori tersebut karena ada anggapan keuangan negara memiliki ruang lingkup tidak terbatas yang justru menyebabkan implikasi hukum dalam pengelolaan keuangan menjadi tidak konsisten. Hal ini dinilai memperumit perkembangan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan hukum lain dalam meningkatkan kinerja keuangannya.
Alhasil, teori pemisahan keuangan negara dengan badan usaha (BUMN/Perseroan) akhirnya diterapkan oleh pemerintah pada 2016. Penerapan teori tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas.
Hal tersebut tertuang dalam pasal 2A ayat (3) dan (4) PP Nomor 72 Tahun 2016. Dalam ayat (3) disebutkan, “Kekayaan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.” Kemudian ayat (4) disebutkan, “Kekayaan negara yang bertransformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.”
Ketua Dewan Pengurus Center for Law and Good Governance Studies FH UI, Dian Puji Nugraha Simatupang menjelaskan kedua ayat tersebut menyatakan uang negara ketika sudah diberikan (disetor) kepada BUMN atau PT dalam bentuk penyertaan modal negara, maka tidak dihitung (dianggap) lagi sebagai uang negara, tetapi modal badan usaha di BUMN/Perseroan.
“Ketika negara melakukan penyertaan modal ke BUMN, maka menjadi kekayaan BUMN bukan lagi kekayaan negara,” kata Dian dalam acara Diskusi Pemikiran Prof Arifin Prijatna Soeria Atmadja (14 Februari 1925-22 Agustus 2013) di Gedung FH UI Depok, Selasa (13/2/2018). Baca Juga: Kembali Mempersoalkan Peran Negara dalam UU BUMN
Penerapan aturan tersebut memiliki implikasi atau berdampak luas. Bagi kalangan yang menganggap penyertaan modal negara kepada BUMN masih terhitung/dianggap sebagai kekayaan negara, maka saat BUMN tersebut merugi dapat dikatakan sebagai kerugian negara (korupsi). Sedangkan, kalangan yang menganggap penyertaan modal negara kepada BUMN tidak lagi terhitung sebagai kekayaan negara, maka tanggung jawabnya tunduk pada prinsip perusahaan yang sehat, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, peraturan perusahaan dan peraturan di bidang perseroan terbatas dan sektor usaha terkait.
Dalam paparannya, Dian mengakui secara prinsip hukum PP No. 72 Tahun 2016 mengesampingkan Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebut keuangan BUMN juga merupakan keuangan negara. Dan Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyebut keuangan BUMN termasuk keuangan negara.
Untuk itu, dia mengusulkan agar PP No. 72 Tahun 2016 mesti diselaraskan terlebih dahulu dengan perubahan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara. Meskipun menjadi perdebatan, Dian mengatakan setidaknya penerbitan PP No. 72 Tahun 2016 tersebut merupakan bukti pemikiran Prof Arifin masih relevan meski sudah wafat.
“Pemikiran Prof Arifin sangat diapresiasi pemerintah, salah satunya adalah teori transformasi keuangan negara yang kemudian diadopsi dalam PP Nomor 72 Tahun 2016,” papar pria yang juga dosen FH UI ini.
Pengawasan keuangan negara
Tidak hanya Dian, seorang dosen Fakultas Hukum UI, Yuli Indrawati juga menyampaikan kesannya saat berinteraksi langsung dengan Prof Arifin saat masih menjadi mahasiswa dan asisten dosennya. Menurut Yuli, Prof Arifin merupakan sosok yang memiliki pandangan luas dan tegas dalam aturan.
“Kalau pribadi beliau (Prof Arifin) sangat jujur dan terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru. Beliau sangat maju ke depan pemikirannya, beliau juga tidak punya kepentingan politik semuanya murni demi keilmuan,” kata Yuli yang menjadi pemateri dalam acara tersebut.
Yuli juga mengagumi konsep pengawasan keuangan negara yang digagas oleh Prof Arifin. Ia menilai Prof Arifin berhasil menciptakan sistem pengawasan/pemeriksaan berjenjang dengan menghilangkan segala bentuk inefesiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaan pengawasan/pemeriksaan nasional.
Penjenjangan tersebut dampak dari perbedaan kedudukan dan posisi lembaga pengawas/pemeriksa dalam struktur pemerintahan yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Kedua lembaga tersebut memiliki posisi berbeda, BPK berstatus sebagai lembaga negara. Sedangkan BPKP berstatus lembaga pemerintah non-departemen di luar dari fungsi Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga sebagai unit kerja dalam Kementerian/Lembaga, dan Inspektorat Daerah sebagai unit kerja dalam pemerintah daerah. Sifat pengawasan kedua lembaga tersebut juga berbeda.
BPK melakukan pemeriksaan yang bersifat makro-strategis. Di sisi lain, BPK sebagai pengawas internal pemerintah melakukan pengawasan yang bersifat mikro-strategis. Pengawasan BPK ditujukan pada akuntabilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang terakhir erat dengan kredibilitas dan kebijakan keuangan negara oleh pemerintah. Semakin rendah posisi dan kedudukan suatu lembaga pengawas/pemeriksa keuangan, maka sifat pengawasan/pemeriksaaan semakin teknis. Konsep ini yang digagas Prof Arifin hingga saat ini masih diterapkan kedua lembaga pemeriksa/pengawas tersebut.
Sampai akhir hayatnya, Prof Arifin masih mendedikasikan ilmunya dengan mengajukan uji materiil Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi, yang putusannya ditetapkan pada 18 September 2013. Namun, sebelum putusan tersebut dibacakan pada 22 Agustus 2013 pada pukul 15.00 WIB sore, Prof Arifin sudah terlebih dahulu menghembuskan nafas terakhirnya usai melaksanakan sholat dzuhur di Mushola Hotel Borobudur, Jakarta. Hingga kini, Prof Arifin dikenal satu-satunya sebagai Guru Besar Hukum Keuangan Publik di Indonesia.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a82bf4a6ff87/refleksi-tokoh-pemikir-transformasi-keuangan-negara