"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Refleksi Seabad Pendidikan Tinggi Hukum

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Opini > Refleksi Seabad Pendidikan Tinggi Hukum

Jangan sampai negara hukum Indonesia beralih menjadi negara kekuasaan karena para intelektualnya berdiam diri. Perayaan 100 tahun pendidikan hukum di Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya Rechtshogeschool atau RHS pada 1924 di Batavia, merupakan saat refleksi yang tepat. Bagaimanakah dialektika antara pendidikan hukum dan praktik hukum di masyarakat?

Saat ini, sayangnya, kita justru menyaksikan hukum dijadikan sebagai alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan dan nepotisme. Kelihatannya sah secara hukum, tetapi sebenarnya hal itu cacat etika dan melukai rasa keadilan publik.

Padahal, selama kuliah hukum, kita belajar bahwa hukum bertujuan menjaga masyarakat dari kejahatan, keserakahan, dan penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara negara. Ajaran Roscoe Pound yang diteruskan Mochtar Kusumaatmadja tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk tujuan perubahan dan keadilan tampaknya telah mendapat tafsiran baru di Indonesia.

Pertanyaan pentingnya, bagaimana hubungan antara pendidikan hukum dan praktik hukum dapat menghasilkan kerangka dasar bagi reformasi hukum.

Bagaimana memastikan pendidikan hukum telah melahirkan para sarjana, intelektual hukum, dan berbagai profesi hukum yang mengisi jabatan publik, yang adalah manusia berkarakter, yang mencintai kebenaran, serta mengabdi pada tanah airnya?

Namun, akan selalu ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dan hukum dalam praktik.

Apakah mereka terlibat mengupayakan keadilan dalam arti menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, dan independensi pengadilan seperti yang diamanatkan dalam prinsip negara hukum?

Atau sebaliknya, memuluskan kejahatan melalui produk hukum atau bahkan putusan hakim di tingkat paling tinggi sekalipun, seperti kasus Ronald Tannur di Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini atau banyak kasus lain yang tidak terdeteksi publik.

Secara substansi akademik, sejauh mana fakultas hukum berhasil memainkan perannya sebagai pengembang ilmu hukum? Berbagai hal terkait pendidikan hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah serta kebijakan yang mencerminkan struktur politik, ekonomi, sosial, dan kultural di Indonesia.

Seharusnya hukum juga terkait dengan perkembangan teknologi digital dan sains, yang sangat mengubah dunia. Apakah ada perhatian yang cukup dalam merespons perkembangan ilmu pengetahuan global yang saat ini berkarakter lintas disiplin? Atau, seberapa jauh kurikulum pendidikan hukum mau terbuka terhadap pendekatan interdisiplin dan transdisiplin itu?

Ranah pendidikan hukum

Menurut epistemologinya, ilmu hukum terdiri atas dua ranah. Pertama, domain yang mempelajari hukum sebagai doktrin/dogma. Hukum dipelajari sebagai norma yang mengatur tentang apa yang boleh dan tak boleh. Tujuan hukum dipercaya sebagai menjaga masyarakat dari kejahatan dan keserakahan.

Kedua, studi hukum interdisiplin dikenal sebagai ”hukum dan masyarakat” atau socio-legal studies. Itu sebabnya fakultasnya diberi nama fakultas hukum, bukan fakultas undang-undang.

Mengapa rezim pemerintahan bisa memolitisasi hukum? Jangan-jangan elite penguasa tersebut tidak hanya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa kekuasaan, tetapi juga menyalahgunakan paradigma atau school of thought ilmu hukum yang ada.

Positivisme hukum adalah paradigma paling dominan dan sangat kuat diajarkan di Indonesia serta tampak mewujud dalam banyak praktik hukum.

Hukum diposisikan sebagai fakta, dasar argumentasi, berupa perintah, keputusan. Eksistensi hukum diletakkan pada teksnya, distandarkan sebagai otoritas resmi yang diakui, melalui produk legislatif dan putusan yudisial.

Aliran ini memisahkan eksistensi hukum dari substansinya. Sepanjang sudah disetujui untuk tertulis demikian, tidak dipandang penting apakah substansinya adil atau tidak adil.

Jangan sampai negara hukum Indonesia beralih menjadi negara kekuasaan karena para intelektualnya berdiam diri.

Padahal, bagaimana hukum berbunyi dan diterapkan akan sangat bergantung pada a man behind the gun. Kaum kritikal mendalilkan bahwa hukum dibuat untuk mendefinisikan kekuasaan dari elite penguasa. Jumlah mereka kecil, tetapi memiliki kekuasaan besar dan menguasai mayoritas rakyat yang hampir tanpa kuasa dengan cara menerbitkan hukum.

Mereka menggunakan hukum dalam suatu siklus untuk mendapatkan privilese (hak-hak istimewa) agar semakin berkuasa dan, dengan kekuasaan itu, bisa mengakses sumber daya kesejahteraan. Kemudian, siklusnya bekerja: semakin kaya, semakin punya hak istimewa dan semakin berkuasa.

Sementara itu, domain kedua ilmu hukum, yaitu studi hukum interdisiplin, mempelajari permasalahan dan pertanyaan hukum, hanya saja berbeda dalam karakter pendekatannya.

Karakter inter/transdisiplinnya terletak pada luasnya ruang teori serta metode penelitian dari beragam ilmu sosial dan humaniora yang dapat digunakan.

Hasil kajian hukum inter/transdisiplin seperti ini dapat membangun argumentasi dan menunjukkan logical fallacy dari pasal undang-undang dan putusan hakim berdasarkan realitas dan pengalaman masyarakat pencari keadilan.

Pendekatan inter dan transdisiplin ini dibutuhkan untuk bisa merespons perubahan masyarakat yang cepat.

Namun, sayangnya, ranah hukum kedua ini tidak mudah diterima karena para ilmuwan hukum khawatir kehilangan karakter paradigmatiknya dan kurang melihat kebutuhan masyarakat akan reformasi hukum.

Sejarah pendidikan hukum

Sistem hukum Indonesia dan Belanda memiliki akar hukum yang sama karena sejarah kolonial dan sejarah panjang kerja sama hukum di antara kedua negara.

Paul Scholten adalah rektor pertama RHS, yang pembentukannya diawali oleh perdebatan panjang dari Pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Tampaknya lebih mudah memutuskan untuk mendirikan Technische Hogeschool (sekolah teknik) di Bandung dan Geneeskundige Hogeschool (sekolah kedokteran) di Jakarta daripada sekolah hukum.

Ada persoalan politik dan sosial di dalamnya. Misal, apakah lulusan RHS di Batavia akan disetarakan dengan di Belanda dan bisa dipekerjakan di lembaga pemerintah ketika itu (Chorus, 2024).

Setelah satu abad, tampak jelas bahwa hukum di kedua negara telah berkembang ke arah yang berbeda. Barangkali karena teks hukum Belanda berhenti diterjemahkan sejak lama sehingga perkembangannya tidak dapat diikuti.

Sementara itu, berbagai aliran pemikiran dan konsep penting hukum Belanda masih digunakan karena memang sistem hukum Indonesia adalah warisan Belanda. Dalam situasi itu, kemungkinan terjadi distorsi dalam memahami dan menerjemahkan konsep atau istilah hukum Belanda, baik di universitas maupun dalam praktik.

Di Indonesia, ’yurisprudensi’ belum mencapai status yang sama seperti yurisprudensi Belanda.

Di Belanda, putusan hakim (jurisprudentie) memainkan peran penting sebagai sumber hukum, tidak hanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh undang-undang. Putusan hakim juga berfungsi menilai peraturan dan kebijakan pemerintah yang ada dengan mempertimbangkan prinsip kesetaraan, keadilan, dan proporsionalitas.

Dengan demikian, di Belanda ada upaya untuk mengawinkan kepastian hukum dengan keadilan sosial. Fakultas hukum di Belanda memainkan peran penting dalam penciptaan yurisprudensi dengan mendiskusikan dan mengevaluasi putusan baru yang penting.

Di Indonesia, ”yurisprudensi” belum mencapai status yang sama seperti yurisprudensi Belanda. Sebab, para akademisi dan praktisi hukum masih sangat berpusat pada undang-undang dalam analisis dan penalaran hukum mereka.

Putusan pengadilan atau yurisprudensi jarang sekali mencapai status norma yang mengikat. Sebagian besar yurisprudensi dapat (dan sering kali) dikesampingkan oleh para hakim yang mengadili kasus-kasus yang kompleks sesudahnya. Akibatnya terjadi ketidakkonsistenan dan ketidakpastian hukum.

Melalui pendidikan di fakultas hukum, para praktisi hukum telah terlatih untuk memosisikan diri sebagai ”corong undang-undang” saja dan itulah penyebab terjadinya kekosongan hukum.

Fakultas hukum di Belanda tidak hanya mengajarkan para mahasiswanya konsep dan dogma hukum dasar, tetapi juga bagaimana penerapannya oleh para hakim dalam kasus nyata. Mahasiswa tidak dilatih untuk menghafal hukum secara hitam putih, tetapi untuk memecahkan kasus-kasus hukum.

Oleh karena itu, semakin banyak kurikulum hukum di Belanda yang mengadopsi mata pelajaran yang menghubungkan masalah hukum dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik sehingga membuat hukum menjadi hidup.

Analisis kasus juga merupakan alat yang penting bagi mahasiswa Indonesia.

Benar, pemahaman yang baik tentang undang-undang itu penting karena teks-teks hukum ini memberikan norma-norma hukum yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan keserakahan serta untuk menyelesaikan perselisihan hukum antarsubyek hukum.

Namun, akan selalu ada kesenjangan antara hukum yang tertulis dan hukum dalam praktik. Norma-norma hukum hanya menjadi hidup ketika diterapkan pada kasus yang muncul di masyarakat.

Mahasiswa tidak dilatih untuk menghafal hukum secara hitam putih, tetapi untuk memecahkan kasus-kasus hukum.

Akan tetapi, ada perkembangan positif di fakultas-fakultas hukum di Indonesia dalam dua dekade terakhir ketika beberapa profesor hukum semakin banyak menggunakan analisis kasus dalam metode pengajaran mereka.

Selain itu, semakin banyak kampus yang menawarkan mata kuliah yang didasarkan pada pendekatan multidisiplin atau interdisiplin terhadap hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum dan masyarakat, juga dengan perspektif keadilan jender.

Terlepas dari masih adanya resistensi terhadap perubahan yang ada saat ini, upaya meningkatkan studi hukum dalam praktik yang memperhitungkan keadilan masyarakat sudah semakin menguat.

Kendala birokrasi

Kesulitan mengembangkan paradigma baru atau studi hukum interdisiplin terletak pada kendala besar yang dihadapi, yaitu birokratisasi dan regulasi berlebihan dari pemerintah.

Hal itu juga dihadapi dunia pendidikan tinggi secara keseluruhan. Pemerintah menargetkan universitas mencapai world class universityranking, yang kemudian diterjemahkan dalam visi hampir semua universitas di Indonesia, yaitu ”menjadi universitas dunia”.

Namun, kenyataannya, universitas kita tak pernah menjadi universitas kelas dunia secara mengesankan, bahkan di tingkat Asia Tenggara sekalipun.

Bandingkanlah dengan Universitas Leiden, misalnya, yang mempromosikan tagline: Bij ons leer je de wereld kennen. Universitas menyediakan dirinya bagi mahasiswa untuk mengenal atau menemukan dunia. Tampak sederhana dan rendah hati.

Demi target menjadi kelas dunia, para dosen dipaksa menerbitkan artikel di jurnal terakreditasi Scopus, tanpa disertai dana penelitian yang memadai.

Para profesor wajib menerbitkan buku, tidak penting kualitas dan manfaatnya, sampai Indonesia kekurangan International Standard Book Number (ISBN). Bandingkanlah dengan negara maju yang ISBN-nya belum habis dalam satu dekade. Penilaian ini dilekatkan dengan tunjangan dosen.

Penderitaan dosen belum cukup karena aksesor penilainya bisa jadi orang yang tidak paham soal interdisiplinaritas keilmuan, tidak memahami esensi pendidikan tinggi pada umumnya, bisa juga soal like and dislike.

Setelah 100 tahun, akan ke mana kita? Memastikan pendidikan hukum bertanggung jawab melahirkan para intelektual hukum yang memperjuangkan keadilan tertinggi, yaitu keadilan bagi kelompok rentan, miskin, dan tak punya kuasa. Jangan sampai negara hukum Indonesia beralih menjadi negara kekuasaan karena para intelektualnya berdiam diri.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/29/refleksi-seabad-pendidikan-tinggi-hukum

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI