Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjadi tuan rumah dalam Rapat Nasional Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (BKS Dekan FH PTN) Se-Indonesia yang diselenggarakan pada Kami-Jumat (28/29) di The Margo Hotel, Depok. Pertemuan ini bertujuan untuk merespon dan mengantisipasi perkembangan masyarakat yang kian pesat khususnya memasuki revolusi industri 4.0 serta membahas tentang perumusan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia dan rekomendasi dari berbagai elemen yang ada.Kemajuan teknologi dewasa ini membuat semua elemen berbenah mengikuti perkembangan zaman, termasuk perguruan tinggi.
Rapat Nasional ini diikuti oleh 40 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia yang terdaftar dan terdiri dari Dekan, Wakil Dekan serta Ketua Program Studi FH PTN se-Indonesia. Kegiatan dibuka oleh Ketua BKS Dekan FH PTN Se-Indonesia, Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum dengan mengatakan bahwa dirinya ingin Fakultas Hukum Se-Indonesia dapat menyesuaikan kondisi kekinian dalam tantangan revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Dua alasan tersebut merupakan alasan terkuat yang paling banyak dibahas dalam Rapat Nasional BKS 2019.
Hal serupa dikatakan oleh Prof. Dr Ade Maman Suherman S.H.,M.Sc. merupakan Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Dorongan perubahan zaman yang kian cepat perlu mendapat perhatian serius dari pemangku kepentingan seperti kampus hukum. “Masyarakat sudah berubah, menjadi kebutuhan untuk merespons tren, apakah sudah terakomodasi atau belum dalam kurikulum kita,” ujarnya sebagai salah satu anggota Steering Committee.
Anggota Steering Committee lainnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M. pun menanggapi persoalan tersebut dengan mengatakan “Seolah-olah pendidikan hukum kita tidak menyiapkan untuk terjun dalam praktik. Padahal ada banyak mata kuliah praktik,” ujarnya
Bahkan Dekan FHUI memiliki sudut pandang bahwa pendidikan tinggi hukum harus mengikuti sepenuhnya tuntutan pasar. “Tidak fair kalau begitu, bagaimana kalau market-nya yang sesat,” tambahnya. Ia menjelaskan bahwa masukan dari sektor profesi yang menyerap sarjana hukum patut dipertimbangkan. Namun tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Ahli hukum teknologi ini juga mengingatkan agar era disrupsi teknologi tidak membuat pendidikan tinggi hukum salah arah. Filosofi pendidikan yang berkontribusi pada pengembangan kebudayaan dan peradaban harus dipertahankan. Tantangan global revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 tidak membuat pendidikan hukum Indonesia kehilangan pijakan. “Teknologi tidak selalu benar, bisnis tidak selalu benar, hukum harus jadi yang utama,” tutup Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.