Ragam Sebab Pelanggaran Hukum di Laut, Ini Solusinya
Risiko pelanggaran hukum seperti pencemaran, penangkapan ikan ilegal, hingga kejahatan berat seperti perbudakan dan penyelundupan narkotika antar negara masih rentan terjadi di wilayah laut Indonesia. Luasnya perairan nasional menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya pengamanan wilayah laut dari tindakan pelanggaran hukum.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan yaitu peningkatan pengawasan secara ketat pemerintah dengan cara meningkatkan keamanan sekaligus menyusun aturan yang tepat agar bisa mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Sebab, lemahnya pengawasan wilayah laut berdampak hilangnya potensi kekayaan laut nasional yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Persoalan ini disampaikan ahli hukum lingkungan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Melda Kamil Ariadno saat menjadi pembicara dalam diskusi ilmiah bertemakan “Gerakan Global Pemangku Kepentingan dalam Penyelamatan dan Penyehatan Laut” di FH UI, Depok, Selasa (23/10/2018).
“Masalah kemaritiman sudah krusial terutama Indonesia. Semua orang berpikir bagaimana kegunaan dari laut, tapi tidak memikirkan bagaimana laut itu bisa aman dilayari dan terjaga kelestariannya,” kata Melda kepada Hukumonline di sela-sela acara tersebut.
Dia menjelaskan permasalahan keamanan dan kelestarian laut sebenarnya sudah menjadi perhatian global. Peningkatan keamanan dan kelestarian laut merupakan salah satu isi dalam kesepakatan Sustainable Development Goals (SDGs) 2017-2030 milik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang terbit pada 2017.
Sayangnya, kesepakatan global tersebut tidak cukup tanpa adanya keterlibatan pemerintah yang selama ini masih belum maksimal menjaga keamanan dan kelestarian laut. Khususnya, dia menyoroti lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, sehingga penjagaan laut tidak optimal.
“Semua ini (SDGs) useless karena ini hanya peraturan, apalagi hukum internasional. Percuma kalau negara komitmen, tetapi rakyat dan pemda tidak komitmen, maka enggak ada artinya,” kata Melda.
Melda menilai kesadaran masyarakat menjaga keamanan dan kelestarian laut juga sangat rendah. Tak hanya individu, bahkan korporasi juga seringkali terlibat dalam pelanggaran hukum di laut. Dia mencontohkan korporasi seringkali beroperasi dengan alat-alat yang tidak ramah lingkungan, yang mengakibatkan merusak ekosistem laut.
Belum lagi, kata dia, kebiasaan masyarakat pesisir yang masih membuang limbah ke laut. Dia menyayangkan masih banyak individu dan korporasi yang bergantung terhadap laut justru melakukan perusakan terhadap ekosistem. “Selama ini aktivitas manusia tidak terkontrol dengan baik, misalnya masih ada nelayan menangkap ikan memakai trol (jaring), peledak hingga racun yang dapat merusak dasar laut dan terumbu karang,” kata Melda.
Tak hanya nelayan, kerusakan laut dapat disebabkan kapal dagang yang melewati perairan nasional. Melda menjelaskan banyak kapal dagang berukuran besar beroperasi tidak mematuhi ketentuan seperti penerapan sistem ballast water atau air ballast yang digunakan sebagai pemberat dan penyeimbang kapal saat berlayar.
Melda menjelaskan meski air ballast ini berfungsi menyeimbangkan kapal, namun sistem ini berdampak serius terhadap ekologi. Kerusakan ini dapat terjadi karena banyak spesies laut akan terganggu saat sistem air ballast ini beroperasi. “Terkadang air ballast ini bercampur dengan limbah minyak yang ada di dalam kapal. Sehingga, saat air ballast ini dikeluarkan kapal bisa mencemari laut,” kata Melda.
Ketentuan mengenai manajemen air ballast kapal juga sudah disepakati dalam Ballasting Water Management Convention (BWM Convention) International Maritime Organization (IMO). Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Dengan begitu, seluruh kapal di perairan Indonesia wajib menerapkan sistem air ballast dan manajemen ramah laut.
Namun faktanya, kata Melda, tidak semua kapal menerapkan sistem air ballast ramah laut karena tingginya biaya. “Teknologi air ballast yang ramah laut tidak mudah dan butuh dana besar, sehingga mereka (industri) tidak memperhatikan air ballast dengan baik dan jadinya mencemari lingkungan,” jelasnya.
Selain pelanggaran tersebut, Hukumonline mencoba merangkum beberapa pelanggaran hukum laut di Indonesia yang mencuat ke publik. Misalnya, penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing yang tercatat sudah sebanyak 363 kapal ditenggelamkan Kementerian Kelautan dan Perikanan selama 2014-2017. Ada juga peristiwa tumpahan minyak PT Pertamina (Persero) di Balikpapan yang merenggut korban jiwa dan mencemari lingkungan.
Perhatian terhadap peningkatan keamanan dan kelestarian laut juga disampaikan Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115), Mas Achmad Santosa. Dia mengatakan dengan penegakkan hukum di laut nasional, maka pemanfaatan sumber daya alam dapat dimaksimalkan.
Dia memperikrakan Indonesia memiliki kekayaan laut sebanyak 4 persen dari total global sebesar US$ 24 triliun. Seharusnya, pemanfaatan kekayaan laut tersebut terhambat akibat pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah laut nasional. “Transhipment berdampak buruk terhadap perikanan hingga HAM (hak asasi manusia). Karena transhipment tidak ada pendataan dari ikan yang ditangkap. Selain itu, ABK (anak buah kapal) juga jauh lebih lama di laut dan menyebabkan terjadinya modern slavery (perbudakan). Ini banyak terjadi di wilayah Timur Indonesia,” kata Santosa.
Karenanya, dia meminta kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai pentingnya keberadaan laut perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum. “Sehingga, laut ini dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak,” harapnya.