“Quo Vadis” Satgas Saber Pungli
Aradila Caesar Ifmaini Idris
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI
Kompas pada edisi 4 Januari 2018 menurunkan tulisan berjudul “Beban Tugas Polri Semakin Besar.” Selain menyoroti persoalan dan tantangan yang harus dihadapi kepolisian, tulisan tersebut juga menyoroti kinerja Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Tulisan tersebut menarik dicermati mengingat kerja-kerja yang dilakukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgs Saber Pungli) menyentuh hajat masyarakat luas, dalam hal ini pelayanan publik. Masyarakat sering kali harus berhadapan pada realitas pelayanan publik yang buruk karena tumbuh suburnya praktik pungli. Praktik ini seolah telah mendarah daging dan terjadi hampir di setiap bentuk layanan publik yang diberikan.
Kondisi di atas menempatkan Satgas Saber Pungli dalam posisi sulit dan harus mengemban tanggung jawab yang tak ringan. Sebuah misi yang mustahil berhasil dilakukan dalam proses singkat. Perlu proses panjang untuk mengubak karakter pelayanan publik yang semula korup menjadi profesional dan berintegritas. Pun, dibentuknya Satgas Saber Pungli sendiri bukan jaminan pungli akan lenyap. Harus ada evaluasi berkelanjutan dan mendalam guna melihat capaian Satgas Saber Pungli dan perumusan arah kebijakan pemberantasan pungli.
Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 87 Tahun 2016 memberikan empat fungi utama kepada Satgas Saber Pungli, diantaranya fungsi intelejen, penindakan, pencegahan dan yustisi. Sayangnya, Perpes No 87/2016 tidak memberikan rambu-rambu yang cukup jelas ihwal kewenangan yang merupakan turunan dari masing-masing fungsi yang dmiliki satgas.
Padahal, itu penting guna nantinya dapat mengukur sejauh mana satgas menjalankan keempat fungsinya melalui kewenangan yang diberikan Perpres. Yang muncul justu pertanyaan problematik, misalnya, apakah kewenangan operasi tangkap tangan (OTT) yang dimiliki satgas merupakan bentuk fungsi penindakan atau fungsi yustisi? Atau, apakah fungsi penindakan yang dimiliki satgas merupakan fungsi penindakan dalam pengertian pro justitia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki implikasi serius terhadap legalitas tindakan yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli. Dalam menjalankan kewenangan apa yang dimaksud OTT. Apakah OTT tersebut sama dengan istilah OTT yang populer dipakai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Ataukah OTT yang dimaksud merujuk pada definisi “tertangkap tangan” dalam KUHP? Jika iya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku saaat di-OTT tentu dapak diklasifikasikan sebagai perbuaan pidana yang harus mendapatkan treatment pidana dan tidak dapat dikenai bentuk pelanggaran administratif.
Kinerja Satgas
Dari data yang disajikan Kompas, Satgas Saber Pungli telah melakukan sedikitnya 1.340 kegiatan OTT dan telah menangkap 2.719 tersangka yang berasal dari berbagai institusi. Dari jumlah tersebut, 491 pelaku sedang menjalani proses penyelidika, 59 pelaku sudah dijatuhi vonis oleh pengadilan, 12 orang dihentikan perkaranya, dan 484 pelaku hanya dikembalikan ke institusi asalnya.
Selain itu, satgas juga berhasil mengumpulkan barang bukti uang sejumlah Rp. 315,62 miliar. Dari total tesebut, sekitar Rp. 298,62 miliar diperoleh dari UPP Kalimantan Timur.
Jika ditelusuri lebih jauh, angka OTT yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli terbilang kecil jika dibandingkan laporan pengaduan masyarakat yang masuk. Hingga akhir 2017 setidaknya ada 32.000-an laporan pengaduan masyarakat yang masuk. Hal ini tentu tak dapat dianggap sebagai prestasi yang menggembirakan. Satgas Saber Pungli harus mampu menjelaskan tindak lanjut dari laporan pengaduan masyarakat tersebut. Apakah memang tidak ditemukan bukti yang cukup atau hal yang dilaporkan tidak terkait dengan pungli.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah ihwal penghentian perkara. Penyidik harus menjelaskan alasan perkara pungli dihentikan secara lebih transparan. Publik berhak mendapatkan penjelasan atas keputusan menghentikan sebuah perkara pungli. Apalagi perkara ini dimulai melalui proses OTT, yang sepatutnya sudah terdapat keyakinan dengan diperkuat bukti atau petunjuk tentang ada tidaknya praktik pungli. Sebab, ada 484 pelaku hasil OTT dikembalikan ke institusi asal. Hal ini mengindikasikan para pelaku hanya akan ditindak melalui jalur sanksi administratif, bukan jalur pidana. Hal ini menunjukan adanya dualisme perlakuan bagi pelaku pungli.
Jika dikaitkan dalam penggunaan pungli dikualifikasikan sebagai pemerasan dalam jabatan dan dikenai pasal 12 huruf e dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Atau dapat pula dikenai dengan pasal-pasal dalam KUHP sehingga sepatutnya pungli dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana bukan hanya pelanggaran administratif.
Barang bukti yang dikumpulkan juga tergolong kecil. Sebagian besar merupakan barang bukti OTT yang dilakukan UPP Kalimantan Timur. Hal ini secara umum mengidentifikasikan besaran pungli yang dikutip oleh para pelaku bukanlah nominal yang besar, padahal jumlah pelakunya sangat banyak. Kondisi demikian dikhawatirkan akan membebani lembaga peradilan, banjir perkara pungli dengan nominal yang kecil. Padahal, proses penyelesaiian perkara pidana umumnya memerlukan sumber daya dan memakan waktu yang tidak sedikit. Perlu ada alternatif penanganan perkara pungli dengan nilai kecil yang efektif dan efisien tanpa harus menjadi beban tambahan bagi pengadilan.
Keberadaan Satgas Saber Pungli yang adalah realisisai dari semangat paket kebijakan hukum pemerintah haruslah segera dievaluasi jika tak ingin dianggap sebagai kebijakan tanpa arah yang minus komitmen.
Opini ini dimuat pada Harian Kompas (11 Januari 2018)