PSHTN FHUI Soroti Urgensi Reformasi Sistem Politik dalam Webinar Ngoprek 27 Juli 2025

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > PSHTN FHUI Soroti Urgensi Reformasi Sistem Politik dalam Webinar Ngoprek 27 Juli 2025

Depok, 27 Juli 2025 – Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah menuai sorotan kritis dalam webinar Ngoprek (Ngobrol Perihal Negara dan Konstitusi) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Putusan tersebut menegaskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan Presiden, DPR, dan DPD akan dilakukan terpisah dari pemilihan kepala daerah dan DPRD. Implikasi konstitusional dari keputusan ini dinilai sangat besar –terutama karena akan menimbulkan jeda waktu yang cukup panjang antara dua rezim pemilu. Hal ini memunculkan pertanyaan krusial: Siapa yang akan mengisi kekuasaan selama masa transisi? Dan bagaimana menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan dalam periode tersebut?

Menjawab pertanyaan tersebut, Webinar menghadirkan Narasumber Dr. Bima Arya Sugiarto, Wakil Menteri Dalam Negeri; Dr. Phil. Panju Anugerah Permana, Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI; dan Titi Anggraini , S.H., M.H., Dewan Pembina Perludem dan saat ini juga bergabung sebagai pengajar HTN di FHUI.

Dalam paparannya, Titi menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat dan berdampak langsung terhadap peraturan pelaksanaan pemilu, sehingga perlu dipatuhi dan ditindaklanjuti pemerintah dan DPR. Pemerintah diminta segera untuk membahas RUU Pemilu. Ia menyampaikan bahwa perlu segera melakukan pembahasan RUU Pemilu yang mencakup pengaturan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan penyelenggaran pemilu. Perubahan tersebut tentunya harus di ikuti dengan sinkronisasi pengaturan antara pemilu DPRD dan pilkada, serta penganggaran sebab sebelumnya pemilu DPRD dibiayai APBN dan pilkada dibiayai APBD.

Sementara itu, Dr. Panju Anugrah Permana, Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI, menyebut putusan MK ini sebagai bentuk “judicial overreach” yang berpotensi mengganggu stabilitas kelembagaan politik, “Putusan ini masuk terlalu jauh ke ranah kebijakan teknis. Dampaknya bukan hanya administratif, tapi menyentuh jantung demokrasi lokal: mulai dari meningkatnya politik uang, hingga populisme dan fragmentasi elit,” ungkap Panju. Ia memperkenalkan kerangka A-E Theory (access to power dan exercising of power) untuk menganalisis bagaimana pemisahan pemilu ini dapat melemahkan akuntabilitas pemerintahan daerah dan memperkuat pola patronase yang sudah mengakar.

Dr. Bima Arya pada kesempatan tersebut menegaskan bahwa Revisi UU Pemilu didasarkan pada kerangka, sistem dan pelembagaan politik. Sistem pemilu yang dikembangkan saat reformasi didasarkan pada keinginan tingkat partisipasi daerah yang tinggi. Revisi RUU Pemilu harus  mempertimbangkan kepentingan nasional (Indonesia emas 2045) dan kondisi global. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana meracik pengembangan sistem untuk jangka panjang dengan tetap menjaga integritas bangsa.

Webinar ini menegaskan bahwa Indonesia tengah berada di titik kritis reformasi sistem politik. Pemisahan pemilu mungkin dimaksudkan untuk memperkuat demokrasi lokal, tetapi jika tidak diikuti regulasi yang kuat, bisa membuka ruang kekacauan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. PSHTN FHUI menyerukan agar ruang dialog publik seperti Ngoprek terus digelar secara terbuka dan inklusif. Perubahan besar seperti ini, menurut para narasumber, harus melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat sipil, partai politik, dan akademisi agar arah reformasi tidak kehilangan legitimasi.

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148