Promosi Doktor Brian Amy Prastyo
Rabu, 10 Mei 2017 – Brian Amy Prastyo berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Hak Retaliasi di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dalam Kaitannya dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights” di hadapan Sidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., dengan anggota terdiri atas Ketua Pelaksana Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Promotor Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H., Ko-Promotor Dr. Cita Citrawinda, S.H., M.H., serta Penguji Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M., Prof. Dr. Felix Oentoeng, S.H., LL.M., Prof. Dr. Henry Soelistyo, S.H., LL.M., Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., Dr. Yetty Komalasari Dewi, S.H., M.L.I., Dr. Agus Brotosusilo, S.H., M.A., dan Dr. Edmon Makarim, S.H., S.Kom., LL.M.
Sidang Disertasi ini diselenggarakan pada hari Selasa, 09 Mei 2017 di Balai Sidang Djokosoetono FHUI, Kampus UI Depok, pukul 13.00 – 15.00 WIB.
Dalam disertasinya, Brian Amy Prastyo mengemukakan, bahwa WTO merupakan organisasi perdagangan dunia yang mengklasifikasikan negara anggotannya berdasarkan kekuatan perekonomiannya, yaitu negara maju, negara berkembang, dan negara terbelakang (least developed countries atau LDC). Dalam konteks kerjasama, negara berkembang dan negara terbelakang dapat memperoleh keuntungan dengan bergabung ke WTO, diantaranya dapat memperoleh tingkat tarif yang lebih rendah pada pasar negara maju dibandingkan dengan tingkat tarif yang dikenakan pada sesama negara maju. Tetapi dalam konteks konflik, negara berkembang dapat kesulitan untuk menghentikan tindakan negara maju yang merugikannya. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa di WTO merupakan suatu aspek yang penting untuk dicermati oleh seluruh negara berkembang, karena sebagian politik perdagangan yang dilaksanakan oleh negara maju dapat berisiko merugikan negarannya.
Menurut Brian, konflik antar negara terkait perdagangan luar negeri secara historis telah memicu pula terjadinya perang antar negara. Perang terjadi ketika pemerintah suatu negara memandang perbuatan atau politik perdagangan dari pemerintah negara lain dilandasi oleh suatu niat jahat, sehingga perbuatan tersebut akan diperlakukan sebagai ancaman dari musuh. Hal tersebut memberikan hubungan timbal balik antara politik perdagangan luar negeri dengan kebijakan dan peraturan hukum domestik suatu negara, serta dengan keamanan nasional dari suatu negara. Dengan demikian, mengoptimalkan hak retaliasi yang dimiliki negara berkembang sebagai negara anggota WTO untuk memajukan kepentingan perdagangan luar negerinya adalah suatu pilihan pragmatis yang dapat diambil.
Melalui suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan perspektif teori keadilan sosial, Brian menyimpulkan, bahwa aturan retaliasi di WTO belum memenuhi prinsip keadilan, terutama karena tidak memberikan pembedaan terhadap negara berkembang yang secara faktual baik dari segi ekonomi maupun politik merupakan pihak yang lemah dalam konteks pelaksanaan retaliasi HKI merupakan bentuk retaliasi yang paling sulit untuk diberlakukan, tetapi secara teoritis dapat berguna bagi negara berkembang untuk meningkatkan prospek keberhasilannya dalam meretalisasi negara maju. Oleh karena itu, selama negara berkembang masih menjadi anggota WTO disarankan agar negara berkembang di tingkat domestiknya membentuk Undang-Undang tentang Pelaksanaan Suspensi Kewajiban atau Konsensi WTO agar dapat mengoptimalisasikan hak retaliasi dalam mengefektifkan pelaksanaan retaliasi ke negara maju.
Setelah memaparkan disertasinya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dewan penguji, Brian Amy Prastyo ditetapkan sebagai Doktor Ilmu Hukum dengan predikat sangat memuaskan.