Saya salut dan menghormati keputusan Prabowo untuk mengundurkan diri dari pemilihan presiden. Suatu langkah rasional yang nasionalis. Untuk itu saya berterima kasih kepadanya.
Tanpa Hatta Rajasa ia berpidato menolak pelaksanaan pemilihan presiden akibat cacat hukum dan ia menarik diri. Lewat pidato itu ia “menerima” hasil kerja Komisi Pemilihan Umum dengan “tidak menerima”. Dalam sekejap, ejekan, cercaan, dan cibiran berduyun-duyun datang dari para pendukung Jokowi-JK di berbagai media sosial.
Sekejap juga orang banyak merujuk ke pasal 246 (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Sialnya, mereka tidak cermat. Pasal 246 Ayat 1 UU 48/2008 menyebutkan, setiap calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua terancam pidana.
Disebutkan di pasal tersebut, pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
Pasal ini tidak berlaku terhadap pengunduran diri Prabowo. Kenapa? Karena pemungutan suara sudah terlaksana pada 9 Juli lalu. Prabowo tidak akan kena sanksi pidana 36-72 bulan penjara dan denda Rp 50-100 miliar karena pengunduran dirinya tidak menghambat proses pemilihan presiden.
Larangan pengunduran diri pasca penetapan pasangan calon oleh KPU dari pasal 22 (2) pun tidak bisa menjeratnya. Kenapa? Karena UU alpa untuk mengatur apa sanksi tersebut. Suatu larangan tanpa sanksi adalah kebolehan. Pengunduran dirinya pun tidak mengganggu proses penetapan pasangan calon pemenang.
Publik cenderung menuding Prabowo kekanak-kanakan. Tidak legowo. Mungkin tudingan ini ada benarnya. Tidak satu kata dengan perbuatan. Ingkar dengan janjinya untuk siap menang dan siap kalah dengan cara yang demokratis dan terhormat. Mungkin pengingkaran ini terjadi juga.
Namun, pernyataan Prabowo bersifat ambigu dan kontradiktif. Di satu sisi menuntut demokrasi, tapi di sisi lain seolah menolak hasil demokrasi. Di satu sisi menyatakan menang, tapi di sisi lain mengaku kalah lewat aksi pengunduran diri. Menuding kubu lawan curang, tapi tidak mengakui kecurangan kubunya sendiri.
Dalam pidato tersebut, sejatinya Prabowo mencurahkan isi hatinya. Sebelum kita mengolok-oloknya, mari kita berlaku jujur terlebih dahulu. Apakah tudingan Prabowo tentang kecurangan proses pemilihan tidak ada mengandung kebenaran sedikit pun? Indikasi kecurangan ada di kedua kubu. Adalah hak Prabowo untuk meminta KPU memperhatikan kecurangan pihak lawan. Bukankah hal yang sama juga dimintakan oleh pihak Jokowi? Mengapa kita tidak bersikap sama dengan permintaan kubu Jokowi?
Keresahan atas kinerja KPU selalu mengemuka, paling tidak sejak pemilihan presiden tahun 2004. Pasangan calon yang kalah selalu mengutarakan adanya kecurangan. Namun, KPU tidak pernah menanggapinya secara proporsional. Sepertinya KPU selalu dikejar tenggat waktu dan memilih untuk tidak menindaklanjuti protes kubu pasangan calon. Adakah yang salah dengan mengungkap ketidakberesan? Jika ada ganjalan di hati, tidakkah sebaiknya kita ungkapkan? Apalagi jika itu menyangkut kehidupan berbangsa.
Sebagian pihak lain menyatakan bahwa Prabowo seharusnya menempuh jalur hukum. Bawa saja keberatan-keberatannya ke Mahkamah Konstitusi. Selesaikan secara hukum. Pernyataan ini ada benarnya. Namun, terpikirkah Anda bahwa jika Prabowo membawa perkara ke MK, maka akan terjadi eskalasi tensi politik nasional dan kegusaran masyarakat untuk 2-3 minggu ke depan?
Sedangkan sebagian terbesar dari bangsa kita akan merayakan Hari Kemenangan. Bukankah dengan pengunduran dirinya Prabowo telah menurunkan tensi politik nasional, sekaligus membantu kemasyukan perayaan Idul Fitri? Bukankah langkah ini terpuji?
Adalah hak Prabowo untuk meminta KPU tudingannya akan kecurangan pihak lawan. Ia memilih untuk mengeksekusi hak ini. Adalah hak Prabowo juga untuk membawa perkara ke MK. Ia memilih untuk tidak mengeksekusi hak ini. Apakah sekarang pengeksekusian hak mendatangkan cibiran? Apakah ini benar?
Dengan tidak membawa perkara ke MK, Prabowo telah melapangkan jalan Jokowi menjadi presiden terpilih. Tidak ada polemik hukum. Tidakkah ini baik?
Jangan silap. Ia tidak alpa untuk mengingatkan sebagian dari kita yang memilihnya untuk tetap tenang. Tidak menciderai hak demokrasi. Tidakkah seruan ini menyejukkan? Jika tidak ada yang mengail di air keruh, semua akan aman dan damai.
Lewat pidato itu ia menggunakan haknya untuk mencurahkan isi hati kepada publik. Sekaligus memenuhi kewajibannya untuk bersikap transparan kepada para pemilihnya dalam mempertanggungjawabkan sikap.
Pengunduran diri ini adalah alternatif exit strategy terbaik bagi Prabowo dan kita. Harga pribadi yang harus ia bayar sangatlah mahal: menjadi bahan olok-olok publik. Namun, secara tersirat ia telah menunjukkan dirinya sebagai seorang nasionalis: menunjukkan adanya ketidakberesan, tidak menghambat proses penetapan pemenang dan mengutamakan kepentingan bangsa meski ada ganjalan di hati.
Terima kasih Prabowo! Jangan berhenti di sini. Tetaplah berkarya untuk Indonesia kita.
Mandat sekarang ada di tangan Anda, Jokowi. Selamat bekerja!
Yu Un Oppusunggu
Dosen FH UI
Dari Selasar.com Rabu, 23 Juli 2014